INI SERABI AROMA PANDAN, KAWAN

IMPERIUM OF ME



Minggu, 17 Juni 2012

CINTA DALAM SEPOTONG AYAM TEPUNG


Emak terkantuk-kantuk diatas ambin bambu, tiduran dengan posisi miring, tangan kanannya menopang berat kepalanya, sedang tangan kirinya menepuk-nepuk pantat si kecil rohim, anak bungsunya yang umurnya belum genap dua tahun. Sebelah payudaranya dikeluarkan menggelantung, sedang putingnya membelesak kedalam bibir mungil si bocah. Didalam hati emak merasa kesal, sudah hampir sejam Rohim mengisap dan menguras air susunya, tapi anak itu belum jua terlelap nyenyak, padahal puting susunya sudah terasa bengkak dan ngilu. Mungkin karena cuaca diluar terik dan panas, sehingga udara dalam rumahpun terasa panas dan gerah, terbukti dari banyaknya keringat yang bercucuran disela-sela tubuhnya, begitupun pada tubuh mungil disampingnya. Bocah itu sedikit gelisah, meski matanya terpejam, tapi tangan dan kakinya kerap bergerak-gerak. Sesekali emakpun mengipas-ngipas berusaha menangkap udara dengan ujung kain gendongan yang sebagian masih melilit ditubuhnya.
Tiba-tiba sayup terdengar suara derap langkah kaki bergegas mendekat, kian lama kian terasa dekat, lalu kemudian terdengar suara pintu depan dibuka dengan keras dan serampangan.
“Mak….mak….” suara serempak berbarengan menyeruak masuk dengan keras.
Ssttt….sssttt….emak menangkupkan jari telunjuknya dibibir, matanya sedikit melotot kearah dua pemilik suara itu. Nur dan soleh, anak pertama dan keduanya itu seketika terdiam, mengerti. Namun dengan tersenyum-senyum simpul, soleh mengacung-acungkan sebuah bungkusan ditangannya, Nur pun tak kalah sumringahnya. Lalu keduanya berjingkat-jingkat menuju kursi kayu disebelahnya, dan meletakkan bungkusan yang dibawanya diatas meja. Kedua kakak beradik itu duduk saling berhadapan, mata mereka tak lepas dari bungkusan didepannya. Bungkusan itu berupa sebuah tas kresek bening transparan, yang didalamnya berisi kotak kardus kecil warna merah, seperti kotak nasi pengajian tapi lebih kecil.
“tunggu emak dulu…” kata Nur dengan suara pelan, sang adik menganggukkan kepala masih dengan senyum mengembang penuh dibibirnya. Tak lama, terdengar suara ambin berderit dibelakang, akhirnya emak berhasil juga menidurkan si kecil, emak beringsut turun dari ambin sambil menjejalkan sebelah payudaranya kedalam kutang hitam buluknya, lalu mengancingkan bajunya. Dengan langkah sedikit terhuyung karena efek dari terlalu lama tidur miring, emak menghampiri kedua anaknya yang masih juga lekat menatap bungkusan didepannya.
“apa yang kalian bawa itu??”
“ga tau mak, bu Edi yang ngasih, katanya mbak Vina yang bawa tadi malam sepulang kerja, dan katanya juga, dirumah bu Edi sudah ga ada yang mau memakannya, bosan” sahut Nur.
Emak mendekat lalu menghempaskan tubuhnya dikursi kayu disamping Nur, ikut menatap lekat bungkusan itu.
“Emak, saja yang buka….cepetan mak, itu pasti makanan” soleh sudah tak sabar ingin mengetahui apa gerangan isi dalam kotak merah itu.
Suara pintu terbuka, bersamaan dengan dikeluarkannya kotak merah itu dari dalam tas kresek, serentak ketiganya menoleh, ah rupanya bapak pulang. Seorang laki-laki paruh baya hitam legam dengan baju yang basah oleh keringat, masuk sambil mengucapkan salam perlahan.
“sedang apa kalian?” Tanya laki-laki itu
“sini pak, duduk dekat soleh, yang dimeja itu makanan pak….makanan orang kaya”. Bapak tak segera duduk, melainkan membuka baju lusuhnya lalu menggantungkan bajunya pada paku yang tertancap didinding dekat pintu kamar. Sekilas dilihatnya rohim anak bungsunya tertidur pulas diatas ambin. Ruangan itu memang tak bersekat, dibagian depan terdapat kursi-kursi kayu yang ditata sedemikian rupa, dan dibagian belakangnya sebuah ambin bambu diletakkan menempel kedinding yang juga terbuat dari bambu. Disamping ambin diletakkan sebuah meja kecil, dan diatas meja itu ada sebuah kendi air minum yang terbuat dari tanah liat, air dalam kendi itu selalu terasa sejuk terutama ketika cuaca sedang panas.
Bagi keluarga miskin itu, ruangan tak bersekat berlantai tanah dan berdinding bambu ini, memiliki arti tersendiri dan memiliki banyak fungsi.  Sebagai tempat menerima tamu saat lebaran, karena pada hari-hari biasa tak ada orang yang mau bertandang ke rumah reot itu, mungkin takut jika tiba-tiba saja rumah itu ambruk dikarenakan posisinya yang memang agak doyong. Kedua sebagai ruang makan, karena selain dapur mereka sempit, juga karena satu-satunya meja dan kursi yang mereka miliki ya diruang tamu itu. Ketiga sebagai tempat berkumpulnya keluarga, tempat Nur dan soleh belajar, tempat bapak membersihkan arit dan cangkulnya, tempat emak mengeroki punggung bapak ketika masuk angin dll. Hampir seluruh aktivitas keluarga itu dilakukan diatas kursi-kursi kayu lapuk dan ambin bambu di ruangan itu. Rumah itu hanya memiliki satu kamar saja, yang didalamnya terdapat sebuah ambin bambu cukup besar, tempat  emak, Nur, Soleh, dan Rohim tidur, sedang bapak tidur di ambin luar.
                Akhirnya bapak duduk disamping Soleh, tangannya sibuk melinting tembakau. Nur dan Soleh dari tadi bergerak-gerak gelisah, tak sabar ingin segera melihat isi bungkusan. Dan akhirnya emak membukanya juga, semua kepala merubung mendekat. Dalam kotak merah itu terdapat satu potong utuh penganan dan yang satunya lagi hanya separuh. Mungkin sisa bu Edi yang tak habis memakannya karena bosan. Emak mencuil kulit penganan itu, Nur dan Solehpun ikut-ikutan.
“ini tepung, tapi rasanya enak dan gurih” ujar emak, Nur dan soleh mengiyakan. Lalu emak mencuil bagian dalamnya, Nur dan Solehpun ikut-ikutan.
“ayam mak…ini ayam…”Soleh terlonjak sambil berseru keras, matanya nyata sekali berbinar-binar
“sstt….pelankan suaramu, nanti Rohim bangun” Nur mengingatkan adiknya itu, yang saking girangnya sampai lupa bahwa ada Rohim yang sedang tertidur di ambin belakang.
“wah…rejeki nomplok, kebetulan sekali hari ini emak hanya masak oseng genjer sebagai pauk”
“tapi jangan dihabiskan semua ya mak….yang utuh kita bagi berempat, dan yang separuh untuk Soleh nanti malam ya mak…” ujar Soleh sedikit merengek
“iya mak, Nur juga mau..” Nur menimpali, emak mengangguk dan tersenyum. Kemudian mata emak bersiborok dengan mata bapak, ada cakap bahasa yang hanya mereka pahami berdua saja, bapak menghisap rokok lintingnya dalam-dalam, dan emak kemudian berlalu ke dapur untuk menyiapkan hidangan, Nur mengekor dibelakangnya untuk membantu. Sejurus kemudian, didalam piring seng keempat orang itu, ada menu tambahan istimewa yang biasanya hanya mereka dapatkan pada hari-hari tertentu---lebaran misalnya---itupun hasil dari pemberian tetangga. Ayam adalah lauk istimewa buat mereka, dan sekarang mereka sedang menikmati lauk istimewa itu---bukan di hari Lebaran--- meski masing – masing hanya mendapat bagian yang ukurannya tak sampai dua kali ukuran jempol orang dewasa. Bahkan Emak dan bapak, porsi kulit tepungnya lebih besar dari isi dagingnya. Ah…tak apalah yang penting daging untuk Nur dan Soleh cukup. Melihat kedua anaknya lahap menyantap makanan siang itu, mata emak langsung berkaca-kaca, dadanya sesak dan serasa tak mampu mengunyah makanan dimulutnya. Bapak menangkap gundah itu, dengan isyarat matanya seakan bapak ingin berkata:  “sudahlah…tak perlu bersedih, nikmati dan syukuri saja apa yang diberikan Tuhan hari ini”.
                Hari hampir petang, sebentar lagi matahari terhisap batas langit di sebelah timur. Di sebelah timur pula awan-awan berwarna oranye mengambang sempurna. Semburat cahaya membilah-bilah langit dengan indahnya, dan burung-burung plekok membuat formasi anak panah hilir mudik untuk kembali kesarang, menambah sempurnyanya tampilan cakrawala. Emak menimba air di perigi, meski terpisah tapi letaknya hanya sepelemparan pandangan dari rumah. Suara timba ditarik berderit keras, ini karena kumparannya jarang diminyaki. Emak mengisi air ke dalam gentong lumutan yang bagian samping bawahnya sudah dilubangi, lubang kecil itu disumpal dengan potongan kayu yang tentunya disesuaikan dengan ukuran lubang, agar air tak mancur keluar. Dan gentong itu sendiri diletakkan disebuah batang kayu yang dipasang berdiri sebagai penopang, kira-kira tingginya setengah badan orang dewasa. Sehari-hari gentong itu dijadikan tempat menampung air untuk berwudhu.
“Nuurrr….Leeehhh….cepetan ambil wudhu, gentongnya sudah mak isi…” dengan sedikit berteriak emak memanggil kedua anaknya itu. Lalu tak lama dari pintu belakang rumah, muncullah Nur dan soleh. Nur yang menggendong Rohim adiknya, segera mengangsurkan bocah kecil itu kepada emaknya kembali. Setelah mengambil air wudhu, kedua anak itu kembali memasuki rumah, melewati dapur yang kecil dan berjelaga disana-sini. Sampai di ruangan utama, Soleh menyempatkan diri menengok ayam tepung “separuhnya” yang emak sisihkan diatas meja kecil dekat ambin. “Ayam tepung” itu berada dalam piring seng, berdampingan dengan kendi air minum. Mata Soleh mengerjap riang, terbayang olehnya nanti sepulang dari mengaji di Langgar, daging ayam berbumbu itu menari-nari dilidahnya, ah…..tak sabar rasanya….ia tak mengerti mengapa hari ini rasa lapar begitu cepat hinggap diperutnya. Adzan maghrib sudah bergema dari arah Langgar, sebelum berlalu Soleh mengerlingkan matanya kearah ayam tepung itu.
                Maka di Langgar, bocah laki-laki berusia 8 tahun itu gelisah sangat. Duduknya tak bisa diam, huruf-huruf Hija’iyah yang ia lafalkan dari bibirnya, tak mengena di hatinya. Pelajaran Tajwid dari ustad Rasyid, tak satupun hinggap diotaknya. Benak Soleh dipenuh dengan gambaran-gambaran ayam tepung itu. Dan ketika sholat Isya’ sampai pada akhir salam, Soleh langsung mengendap-ngendap kabur untuk pulang. Sampai dirumah, dengan nafas memburu dan ngos-ngosan Soleh langsung menuju ke meja kecil tempat ayam tepungnya tadi diletakkan. Tapi….apa yang didapatinya, piring sengnya kosong. Soleh mencari emak didapur, siapa tahu ayam itu sedang dihangatkan oleh emak, tapi emak tak ada di dapur. Lalu ia kembali bergegas mencari emak dikamar, dijumpainya emak tertidur disamping Rohim adiknya. Dengan perlahan Soleh menggoyang-goyangkan kaki emaknya.
“mak….mak…” sedikit tersentak emak bangun, lalu menoleh.
“ayamnya mana mak…???”
“ayam apa…??”
“ayam tepung…”
“kan di samping kendi…”
“gak ada mak…!!”, emak langsung bangkit, perasaannya tak enak, karena emak baru ingat bahwa tadi ia lupa menaruh penutup untuk ayam tepung itu. Jangan….jangan….
Mata Soleh berkaca-kaca, hidungnya kembang kempis, dadanya naik turun menahan isak ketika didapatinya emakpun tak menemukan ayam itu. Nur dan Bapak yang baru pulang dari Langgarpun tak mampu berkata, ketika mengetahui bahwa ayam tepung itu raib. Bapak masuk kamar mengambil senter kecil, lalu bergegas keluar rumah. Dengan bantuan cahaya senter, mata tua bapak berusaha menyisir halaman gelap didepan rumah, menyingkap rumpun-rumpun daun beluntas yang tumbuh sebagai pagar rumah, menyibak tumbuhan kemangi dan kenikir, tapi apa yang dicarinya tak jua ia dapati. Ini pasti ulah kucing, bathin bapak geram. Bapak harus segera menemukannya, siapa tau belum terlambat, maka laki-laki tua itu menuju samping rumah, menyinari tiap sudutnya.
Sampai dibagian belakang rumah dekat perigi, disanalah bapak menemukan jawabannya. Seekor kucing kurus belang coklat lahap menyantap potongan ayam tepungnya. Bapak terlambat, karena kucing itu tak menyisakannya sedikitpun, hanya satu serpihan tulang kecil, bapak menghela nafas berat.
                Sudah tiga hari ini Soleh murung. Senyumnya menghilang, tak bersemangat, dan ia menjadi pendiam. Tak kurang kata Bapak, Emak dan Nur membujuknya, namun durja dimata bocah laki-laki itu tak mau sirna. Emak merutuki dan menjadi benci sebab mula kejadian ini, gara-gara ayam tepung “sialan” yang memiliki nama susah dilafalkan lidah itu, anak laki-laki kesayangannya sekarang menjadi bersusah hati.
Coba bapak baca apa namanya ayam tepung itu, nanti emak coba kerumah bu Edi untuk menanyakan dimana membelinya”, meski tak buta huruf, emak tak pandai membaca. Bapak meraih kardus merah kecil itu, sejak kedatangannya dan meski isinya sudah tak ada, kardus merah itu tak dibuangnya, Nur melipatnya rapi dan memajangnya disamping kendi.
Kentukki….fri…et…ce-hi-ken…” begitu bapak mengejanya. Tak paham pula apa itu artinya. Tak habis mengerti pula, kenapa ada orang memberi nama makanan begitu susahnya. Bapak hanya menggeleng-geleng, emak makin dongkol demi mendengar nama dari ayam tepung itu.
Ke-esokan paginya, sambil menggendong Rohim, emak pergi kerumah bu Edi, untuk menanyakan dimana tempat untuk membeli ayam tepung itu. Emak tak peduli meski malamnya bapak sudah memperingatkan bahwa itu akan sia-sia saja, makanan itu makanan orang kaya, dan harganyapun takkan mampu terbeli. Emak kekeh, tak ada ruginya untuk mencoba menanyakannya. Dan karena emak tak pandai melafalkan nama makanan itu, maka kardus merah bungkus ayam tepung itu dibawanya serta.
Sepulang dari rumah bu Edi, sepanjang perjalanan, serasa tak berpijak kaki emak melangkah. Pikiran emak melesat tak tentu arah, namun sayangnya hanya terpantul-pantul dalam kepalanya saja. Kata bu Edi satu potong ayam tepung itu harganya dua puluh ribu, itu berarti upah kerja bapak membersihkan ladang orang selama dua hari, itupun jika ada yang menyuruh. Jika upah dua hari itu dibelikan ayam tepung yang memiliki nama aneh itu, berarti selama dua hari pula mereka tak bisa membeli beras. Terus mau makan pakai apa...masak ayam saja, yang tentu tak kan mungkin mengenyangkan perut, dan habis sekali kunyah saja. Selebihnya terpaksa harus berpuasa. Mau ngutang beras di warung emak malu, catatan bonnya sudah panjang seperti ular, mau menjual barang.....ga ada  satupun barang berharga  yang bisa dijual. Emak pusing tujuh keliling, kalau ia tak bisa membeli ayam tepung itu, berarti emak akan kehilangan senyum ceria anak lelaki kesayangannya dalam waktu yang entah sampai kapan, dan emak tak mau itu. Sepanjang jalan, emak berpikir keras bagaimana caranya untuk mendapatkan uang tambahan, berkali-kali kakinya terantuk batu karena emak tak fokus jalannya. Dalam gendongannya Rohim tertidur terpantul-terpantul, bibir mungilnya tak mau lepas dari puting emaknya.
Dalam kegalauannya tiba-tiba ada suara lelaki yang memanggil emak. “mak Munah...mak Munah...”, rupanya laki-laki itu pak Sanip, juragan kacang. Emak datang menghampiri pak sanip yang berdiri di samping pick up hitamnya.
“ada apa gan...??”
“gini mak....Romlah pegawai saya ijin pulang kampung tiga hari, jadi saya kekurangan orang untuk ngupas kacang, kalau mak Munah mau, emak bisa gantiin Romlah sementara, gimana mak...” tanya juragan Sanip. Tanpa berpikir dua kali emak langsung setuju mengiyakan, dan dengan hati-hati sedikit meminta pada juragan Sanip untuk bersedia membayarkan upahnya dimuka. Emak menceritakan peristiwa “ayam tepung” yang menyusahkan hatinya saat ini. Untunglah juragan Sanip orang yang baik, ia mengabulkan permintaan emak, bahkan juragan memberi tambahan lima ribu. Emak senang bukan kepalang dan berkali-kali mengucapkan terima kasih pada juragan Sanip.
Emak tak jadi pulang, dengan sedikit bergegas emak kembali menuju rumah bu Edi, ia harus segera, dalam benaknya emak takut warung yang menjual ayam tepung itu keburu tutup, karena hari telah memasuki waktu Ashar. Tangannya saat ini menggenggam uang sejumlah dua puluh lima ribu rupiah. Emak tak peduli bahwa untuk itu tiga hari kedepan jemari tangannya akan melepuh karena harus mengupas biji-biji kacang. Lima ribu rupiah untuk 10 kg biji kacang, Ah....biarlah, itu urusan belakang. Sesampai dirumah bu Edi, emak kembali memohon agar bu Edi bersedia membantunya. Bu Edi tersenyum, lalu segera menelpon Vina anaknya, agar membelikan titipan mak Munah sepulang kerja nanti.
“jangan khawatir mak, nanti sekalian saya suruh Vina mengantarnya kerumah emak, sekalian lewat bukan...!!”
Emak tak tahu harus berkata apa lagi, hatinya mengharu biru, sepanjang jalan pulang dari rumah bu Edi, tak henti air matanya mengalir, Rohim si bungsu dalam gendongan belum mengerti apa yang telah terjadi, mata mungilnya hanya bisa menatap wajah tua emaknya basah oleh air mata.