INI SERABI AROMA PANDAN, KAWAN

IMPERIUM OF ME



Sabtu, 27 Agustus 2011

CERBER: SENJA TURUN DITEPI KAMPUNG

Ide tulisan ini ada dan terbersit ketika otakku sudah mentok, hang, bosen dan lelah mencari-cari ide cerita, tokoh (baik yang fiksi maupun nonfiksi) untuk dijadikan bahan tulisan. Sedang hasrat hati kian menggebu, jari jari tangan mulai gatal, tuts-tust keyboard selalu terbayang dimata, ribuan kata dan kalimat berdesakan dalam kepala menuntut untuk dirangkai dan dituangkan dalam bentuk cerita, tapi tentang apa? Siapa?.
Lalu muncullah ide itu, ketika aku sedang asyik mematut wajah pada sebingkai cermin mengorek-ngorek butiran komedo dihidung yang menghampar. Ide itu adalah aku, tentang aku. Dalam tulisan-tulisanku aku banyak dan kerap menceritakan orang lain, maupun tokoh khayalan. Saat aku kehabisan bahan seperti ini, benakku urun rembug, sumbangsih ide, “mengapa tak kau tulis saja cerita tentang dirimu, bukankah perjalanan hidupmu tak kalah menarik bahkan sedikit hiperbola”. Maka jadilah tulisan ini kawan.
            Tentang AKU…hmmm…aku bingung harus mengawalinya dari mana, sepertinya puzzle puzzle hidupku tak bersudut, tak memiliki garis start. Tapi cerita harus tetap dibuat kan kawan…..Let me thinking it first……okelah aku akan mulai dari cikal bakal aku ada, mulai dari kisah asmara kedua orang yang kemudian hari aku panggil ayah dan ibu. Yang konon sangat menggemparkan, heboh, bahkan sempat memercikkan api perang saudara, perang antar dua keluarga, dan bahkan lebih hebat dari itu, peristiwa itu seperti representasi dari kebaikan yang berjibaku melawan kemunkaran…aihh…lebay…
Tahu tidak kawan, ibuku waktu muda dulu cantik, dilihat dari poni kritingnya, rambut hitam sebahunya yang juga keriting, tahi lalat yang nangkring diatas bibir sebelah kanan atas, mengingatkanku pada penyanyi dangdut tersohor, yaitu Elvi Sukaesih. Gambaran itu kudapat dari selembar foto usang dan kusam yang terselip diantara para-para dapur, kenapa foto itu bisa sampai kesana tak usahlah dibahas, paling juga kerjaan tikus-tikus nakal. Sedang gambaran ayahku waktu muda, sangat bertolak belakang, tau cerita “beauty and the beast” kawan? Yah kira-kira seperti itulah perbandingannya. Raut wajah ayah ketika muda juga ku dapat dari selembar foto, dalam foto itu ayah berpose selayaknya jawara, pendekar, centeng kumpeni…..bertelanjang dada, bagian bawah dibalut celana hitam (seperti kostum penjual sate madura) dengan gesper besar warna hijau. Pose badan garang, kedua kaki melebar kokoh dalam ancang kuda-kuda, tangan kanannya teracung kedepan memegang sebuah celurit panjang dan tajam, kumis tipis melintang malu-malu dan tatapan matanya kurasa memang sengaja dibuat segarang mungkin. Kuperas otak, mengingat ngingat, mencari-cari, sosok artis dalam dan luar negeri, namun tak satupun yang bisa kupadankan dengan wajah ayahku…hi…justru yang berkelebat dipelupuk mata adalah wajah penjual sate, tukang becak, tukang parkir, pembuat batu bata, hansip dan kawan kawan, wajah ayahku sangat familiar, sangat kebanyakan kawan.
            Menurut cerita dari Uwak ijah, adik dari nenekku. Dulu keluarga besar kami, dari kubu ibu, tak satupun yang mengijinkan dan melegalkan hubungan ibu dan ayah. Pengajuan proposal ayah untuk meminang ibu ditolak mentah-mentah oleh para paman, bibi dan saudara-saudara ibu yang lain. Ibuku adalah anak tunggal, kakek dan nenekku bercerai ketika ibu masih kecil. Untuk  melupakan kesedihan akibat dari perceraian, nenekku pergi merantau ikut salah satu saudara di kota, dan dititipkanlah ibuku pada saudara-saudara yang lain. Ibu sangat disayang oleh mbah buyutku, bahkan oleh saudara-saudara yang lain, karena nasib ibu yang kurang beruntung itu, sedari kecil sudah serupa yatim piatu. Maka ketika beranjak remaja, paman-paman ibu sangat ketat menjaga ibu, mereka menjadi semacam tim penguji, juri seleksi bagi para pemuda yang ingin mendekati ibu. Para pemuda itu harus lulus  fit and proper test dari para paman yang dimotori oleh Uwak tari, paman tertua yang terkenal disiplin, teguh pendirian dan tak mempan sogokan, kurasa figur Uwak tari cocok jika dijadikan ketua partai saat ini.
Dari sekian pemuda yang bergelimpangan tak lulus seleksi, mundur sebelum berperang dan lari lintang pukang dari arena pertempuran, hanya ada satu pemuda yang tetap gagah berdiri, pantang menyerah dan tetap keukeuh tak mau mundur sebelum ia mendapatkan gadis pujaannya. Pemuda itu sudah dicoret dalam  banyak kolom persyaratan, terdepak pada sub kategori bibit, bebet, bobot, sudah didiskualifikasi dalam tahap kelayakan wajah dan penampilan, tidak masuk daftar dalam kolom “prospek masadepan”, bahkan pemuda itu sudah kenyang akan kata-kata kasar dan makian dari tim seleksi, karena ketidak-sensitif-annya akan kata dan mimik penolakan. Pemuda itu kawan, ia adalah ayahku. Semakin ditolak semakin tertantanglah ayah, karena dia tau dibalik wajah garang para tim seleksi, ada senyum manis tersamar dari bibir ibu yang menyembul malu-malu.
Ibu pernah bercerita, pertama kali ia melihat ayah adalah di pabrik selip / penggilingan gabah, yang letaknya tak jauh dari rumah. Dulu ibu sering diminta Uwak untuk menggiling gabah agar menjadi beras ke pabrik, kebetulan yang menjadi kuli sekaligus operator pabrik adalah kakek, ayah dari ayahku. Kawan, letak rumah ibu dan keluarga ayah hanya terpisah oleh jalan utama yang  membentang dikampung kami (sebrang dalan rek…arep omah ). Dan disanalah ibu melihat ayah, pemuda kecil, kurus hitam, terseok-seok terpanggang panas matahari di area penjemuran gabah. Kesan pertama yang didapat ibu, tidak ada. Ia melihat ayah sepintas lalu saja, tidak ada yang menarik dari pemuda itu, terlalu biasa, sangat dibawah biasa. Tak lebih dari sosok pemuda kurus , dekil, hitam yang tertungging tungging, berlarian mendorong garpu kayu besar untuk meratakan gabah, mengejar sinar matahari agar gabah yang terjemur cepat kering. Namun dari sisi ayah, ibu ibarat Dewi sri berambut keriting yang kecantikannya terlihat nyata diantara hamparan padi kering, putri kayangan yang tersesat diantara tumpukan karung-karung goni berisi beras yang menggunung, tersedak-sedak oleh debu penggilingan, mengecil diantara tumpukan sekam yang membukit. Dada ayah nyeri terpanah asmara, maka sejak itu terpatri tekad dalam hati ayah, apapun yang terjadi, ia harus mendapatkan ibu.
Sebenarnya kawan, keluarga dari ibu tak pernah menuntut yang muluk-muluk, yang tinggi-tinggi dari pemuda yang kelak nanti bisa diharapkan menjadi suami dan imam yang baik bagi ibuku. Yang digaris bawahi oleh keluarga ibu hanya satu, yaitu “lelaki alim / sholeh”. Ini semua dikarenakan latar belakang keluarga ibu banyak yang lulusan pondok pesantren, setiap gambaran dari keluarga ibu adalah perilaku baik, alim, sederhana dan tak pernah ada seorangpun cacat hukum.
Ini kebalikan dari keluarga ayah yang kusangka dari turun temurun, dari nenek moyangnya sana sudah mewarisi darah pembawa keburukan dan kemaksiatan. Gelar atau tittle yang yang disandang keluarga ayah beragam, mulai dari pencuri, penipu dan penjudi. Tau tidak kawan, hampir semua wanita yang ada dalam trah keluarga ayah, sangat pandai dalam judi kartu. Mereka, para wanita itu tak segan-segan duduk bersila diantara para penjudi laki-laki selama berjam-jam, dibibir mereka tak ketinggalan rokok lintingan terselip setiap saat. Komunitas yang tergabung dalam keluarga ayahpun tak kalah hancurnya, mulai dari maling jemuran, maling ayam, maling ternak, buronan, tukang begal, pemabok, rampok, garong, bajing loncat, bromocorah mulai dari yang amatiran sampai kelas kakap, berkumpul dan berkoloni di rumah ayah hampir tiap malam, duduk bersila melingkar bergantian membanting kartu domino. Sang tuan rumah bukannya jengah, mereka malah menyambutnya dengan hangat dan sangat welcome. Kalian kira tuan polisi tidak tahu akan perkumpulan ini? Jangan salah kawan, para tuan polisi itu tahu, sangat tahu, namun mereka akan pura-pura tak tahu setelah jidat mereka ditempeli lembaran rupiah. Ironi nyatanya, sepelemparan batu jaraknya dari rumah ayah, berdiri rumah seorang anggota polisi.
            Karena perbedaan latar belakang yang mencolok itulah, keluarga ibuku menolak mentah-mentah pinangan ayah. Prinsip keluarga ibu adalah bahwa kebaikan tak bisa bersanding dengan kejahatan. Kedua kubu itu kemudian saling bermusuhan secara diam dan tersembunyi. Keluarga ayah merasa dilecehkan, dijatuhkan harga diri dan martabatnya. Keluarga ibu tetap mempertahankan prinsipnya kuat-kuat, berlindung dibawah satu payung tujuan yaitu semua demi kebaikan ibu
Sejak ikrar yang terpatri di area penjemuran padi di pabrik selip itu, ayah telah berjanji pada diri sendiri, pantang untuk menjilat ludah yang sudah terbuang, aral apapun yang menghadang, akan ia terjang. Maka untuk memberi sedikit keseimbangan pada profil keluarganya yang memang carut marut, ayah pergi menimba ilmu disebuah pondok pesantren yang terkenal diluar kota, jauh dari kampung. Dengan harapan sekembalinya nanti, ijazah pesantrennya akan sedikit melunakkan kerasnya hati keluarga ibu. Namun kawan, jika suatu kebaikan diawali oleh niat yang tak tulus, maka kebaikan itu akan kehilangan maknanya, bahkan gagal tercapai. Baru beberapa bulan belajar dipondok pesantren, ayah sudah tak betah, ingin segera hengkang dari pondok. Ini semua dikarenakan sebuah berita bahwa ada seorang pemuda yang naga-naganya diterima sangat baik oleh keluarga ibu. Hati ayah panas, ia tak rela gadis pujaanya dipetik orang lain, sudah jauh ia berjalan, sudah banyak tahapan seleksi ia lalui, maka ia sangat tak rela ada sabotase, penelikung gelap itu harus disingkirkan.
Ayah kabur dari pondok pesantren. Dan kepulangan ayah yang penuh kontroversi itu, tercium oleh endusan hidung Uwak tari. Uwak tari makin tak suka bahkan sangat membenci ayah, sampai-sampai keluar statement mengerikan “sampai kapanpun, keponakanku tak kan kubiarkan menikah dengan pemuda dari turunan… maaliiing…”. Demi mendengar kalimat itu, ayah muntab, darah naik sampai keubun-ubun, hatinya menggelegak dan mendendam (hingga aku duduk dibangku SMA kawan, ayah tak bertegur sapa dengan Uwak tari). Batin ayah berkata, “baiklah, jika dengan jalan halus tak bisa kudapatkan dia, maka terpaksa kutempuh jalan keras, kalau perlu jalan ekstrimpun akan kupakai, sudah terlanjur basah, mandi saja sekalian”. Dan kawan, jika sekarang kalian sering mendengar kalimat “cinta ditolak dukun bertindak” maka itu bukan isapan jempol belaka, tiga puluh lima tahun yang lalu ayahku sudah menerapkan dalil itu kawan. Ayah memanggil seorang dukun pelet dari kampung sebelah, seorang dukun yang sebisa mungkin tak populer dan tak dikenal oleh keluarga ibu, dan keberadaannya serapat mungkin dirahasiakan agar tak terendus, demi misi cinta mulia yang harus tercapai. Pada dukun itu ayah mengadukan gundahnya, kesahnya dan harapannya. Ayah meminta sang dukun mengerahkan segala mantera dan  ilmu aji pengasihnya, demi mendapatkan gadis pujaanya. Cinta itu memang buta kawan dan gelap gulita. Maka demi memenuhi harapan kliennya, sang dukun berjanji bahwa dalam tempo tak kurang dari 1 x 24 jam, sang mangsa sudah klepek-klepek ditangan. Sang dukun tersenyum, ayah sumringah. Dan disini ironi kembali terjadi, saat sang dukun kembali pulang, dan melintas didepan area rumah keluarga ibu, tiba-tiba ia disapa dan dipanggil oleh seseorang yang ternyata dikenalnya, orang itu tak lain adalah salah satu bibi ibuku. Maka mampir dan bertandanglah sang dukun, yang ternyata oh ternyata kalau dirunut dari silsilah keluarga yang panjang, sang dukun rupanya bertalian saudara dengan keluarga ibu, bahkan ibu adalah cucu jauhnya. Sang dukun menceritakan dari mana ia tadi, maksud dan tujuannya bertandang, lengkap dengan nama keluarga sang klien dan nama gadis sasaran yang diincar. Keluarga ibu terperanjat dan histeris, mereka menjelaskan bahwa gadis yang telah ia kirim ajian pelet itu, tak lain dan tak bukan adalah cucu jauhnya sendiri, maka sang dukun melongo, tergagap, tak kalah kagetnya. Dan saat itupula ia diceramahi habis-habisan oleh keluarga ibu. Maka kali inipun gagal total usaha ayah, karna sang dukun menghisab kembali mantra peletnya. maka makin terkucillah ayah dimata keluarga ibu, karena tindakannya yang tak keren dan tak intelek itu.
            Untuk menghindari gempuran ayah yang bertubi, keluarga Uwak tari mengirim ibu ke tempat salah satu saudara dikota, sampai situasi kondusif. Namun ayah tak kehilangan akal, ia melobi salah satu paman ibu yang mulai melunak hatinya karena melihat kesungguhan dan kegigihan ayah dalam memperjuangkan cintanya. Dengan bantuan Uwak asmat, ayah menculik ibu. Uwak asmat menjemput ibu dengan alasan neneknya sakit, namun ditengah perjalanan, ibu dipindah tangankan ke tangan ayah. Selama seminggu ibu disekap dirumah ayah, tidak…bukan disekap….karena ternyata hati ibupun luluh melihat usaha keras ayah, maka ia pun jatuh cinta pada pemuda kurus, hitam dan tak kenal menyerah itu. Ibu dengan suka rela mengikuti permainan ayah.
Berita menghilangnya ibu, dan membelotnya Uwak asmat dari kelompok (radikal) juri, membuat Uwak tari berang, terjadi adu mulut dan argument yang sangat sengit, masing-masing pihak mempertahankan pendapat dan egonya. Maka pertengkaran antar saudarapun tak dapat dihindarkan. Terjadi kehebohan dan kegemparan dalam keluarga besar ibu, mereka terpecah menjadi dua kubu, satu membela, satu lagi menentang. Sedang diseberang, keluarga ayah hanya diam menyaksikan, pura-pura tidak tahu peristiwa yang telah berlangsung. Sampai akhirnya, setelah seminggu situasi masih memanas. Saudara perempuan paling tua dari nenekku (aku memanggilnya Nyai Peng), yang disegani dan dihormati oleh saudara yang lain, diam-diam memanggil ayah dan ibu untuk kerumahnya, secara diam-diam. Habis maghrib, menjelang isya’, hanya disaksikan oleh dua orang saksi, Nyai peng dan suaminya, seorang penghulu dan lampu minyak teplok sebagai penerang, ibu dan ayah dinikahkan, mas kawin seperangkat alat sholat “ngutang”, situasi serba mendadak dan tak memungkinkan, keadaan genting tak terkendali. Ibu menangis tersedu, karena hanya dimeriahkan oleh sepiring nasi sebagai syarat untuk selamatan, ayah bahagia campur nestapa. Akhirnya usaha kerasnya tak sia-sia.
Setelah ayah dan ibu dinikahkan, keesokan harinya Nyai peng memanggil dan mengumpulkan seluruh keluarga. Dalam pertemuan darurat itu, ia menyampaikan apa yang terjadi semalam, mau tak mau kedua kubu harus terima dan berdamai, karena ayah dan ibu sudah resmi dinikahkan, semua demi ketentraman keluarga, demi menghapus permusuhan yang sudah mulai tercipta. Tak ada yang berani membantah Nyai peng, yang memihak hubungan ayah dan ibu bernafas lega, yang menentang mengurut dada dan hanya bisa menggerutu dalam hati. Uwak asmat tersenyum, Uwak tari walkout dari anggota dewan, dalam hati ia berkata “lihat saja kedepan, kalian akan menyesal”.

Minggu, 21 Agustus 2011

DJOYO "THE EXPLORER"

Duduklah, siapkan segelas kopi dan sedikit camilan untuk menemani, aku akan menceritakan sebuah kisah yang hanya tercatat dalam satu buku sejarah, yaitu hanya dalam buku sejarahku saja, ya…karena saat ini aku akan menceritakan potongan-potongan cerita hidupku berkaitan dengan pekerjaanku yang penuh dengan lika liku laki-laki, manis, asam, asin, pahit, getir, dan aku jamin kawan, jika kalian membacanya kalian tak kan bisa melupakannya….he….
Aku bekerja di sebuah perusahaan BUMN berlambang “petir” sebagai salah satu petugas  pelayanan tekhnis di sebuah sub rayon kecil di salah satu kota di pulau bali. Sebagai petugas lapangan, kerjaku sangat berat kawan dan beresiko tinggi, tiap detik dalam pekerjaanku selalu diintai oleh kematian, maka kehati-hatian dan kosentrasi tinggi wajib digaris bawahi. Sebagai petugas yang berdiri di garda depan yang melakukan kontak langsung dengan pelanggan, aku pun dituntut memiliki beragam kemahiran. Selain harus mahir berzigzag ria dijalanan, cekatan berakrobat diatas genteng, bergelantungan diatas tiang, akupun harus mampu menjadi public relation, complain handling dan juga negotiator. Hmmm….kelihatannya keren ya kawan, padahal tak seindah yang kalian bayangkan. Public relation berarti aku harus pasang mulut cadangan, mengoceh ria menjelaskan cara kerja produk kepada pelanggan yang tidak mengerti dan sedikit lemot, complain handling berarti aku harus siap-siap menebalkan telinga, membajakan mental, membanting harga diri dan sedikit memasang tampang memelas, jika pelanggan yang kuhadapi termasuk dalam golongan “hard customer” (bebal, cerewet, sok tahu, keras kepala, gemuk, tua, bibir menyeringai tipis, alis celurit, pakai daster dan suka memamerkan telunjuk), maka terkadang kawan, beraneka ragam macam nama binatang ia sebutkan satu-satu, beragam jenis sumpah serapah ia semburkan, terasa sampai memanaskan telinga, membakar hati. Namun jika itu termasuk “easy customer”, tak jarang setelah komplin yang diucapkan secara lemah lembut, aku mendapat sedikit bonus tambahan, suguhan segelas kopi, sepotong dua potong kue dan….selarik senyum manis dari anak gadis sang pemilik rumah, kalau sudah begini kawan…amboi….lupa aku akan bini…ups. Dan terakhir sebagai Negotiator berarti aku harus pandai pandai mengambil hati pelanggan, menawarkan sedikit jalan keluar agar tak terjadi komplin. Rumit namun menyenangkan, keras namun melunakkan…aihh…apaan sih.
Kurang lebih sudah dua belas tahun aku bekerja dikantor ini kawan, jika itu besi maka sudah karatan, jika itu batu kali maka sudah lumutan, jika itu baju rendaman maka sudah sangat jamuran. Jangan kau sangka aku betah bertahan karena gaji yang besar kawan (sstt…gaji disini kukira berbanding lurus dengan gaji SPG swalayan, dan berbanding terbalik, sangat dibalikkan oleh penghasilan dari seorang pemilik warung lalapan), tapi semata dikarenakan karena aku sangat mencintai pekerjaanku, sungguh….selain itu aku suka pembagian waktu kerjanya yang berupa shift, sehingga memungkinkanku mempunyai banyak waktu untuk melakukan kerja tambahan diluar. Namun yang paling penting dari itu kawan, yang sangat membuatku tak bisa lepas dari pekerjaan ini adalah terletak pada tantangan-tangannya, setiap hari menghadapi keluhan, kasus dan masalah yang berbeda, kian hari kian rumit seiring dengan makin canggihnya tekhnologi kelistrikan, dan semua itu menuntut jiwa-jiwa petualang, jiwa-jiwa yang gemar akan tantangan untuk terus belajar meningkatkan ilmunya, aku menyerap semua ilmu itu secara otodidak, dengan aneka masalah yang berkembang dan kuhadapi setiaphari, otomatis ilmuku bertambah, kepiawaian dan pengalamankupun meningkat, itu bisa kujadikan sedikit bekal untuk menghadapi kepungan tehnologi yang semakin tak terbendung.
Dengan rentang kerja yang sudah cukup lama dan karatan itu kawan, maka aku cukup mumpuni dalam hal pengalaman dilapangan, kenyang dengan peristiwa membahagian dan menyedihkan, bahkan mengenaskan sekalipun sudah pernah terlewati. Berbagai jenis masalah, aneka karakter pelanggan dari yang sangat biasa sampai luar biasa pernah kutangani, peristiwa menggelikan, menakutkan, dan meremangkan bulu kuduk pernah juga kualami. Mari kuceritakan sebagian saja pengalamanku kawan, supaya kalian tahu betapa aku sangat menyukai pekerjaanku, dalam kejadian sulit sekalipun, aku tetap mencintai pekerjaan ini.
Aku ini pegawai senior, kalau tidak mau dibilang paling tua dikantor, maka wajar bila predikat yang disematkan didadaku adalah “pelupa alias pikun bin alzhaimer”, setiap habis melakukan perbaikan dirumah pelanggan, selalu ada saja alat kerja yang kutinggalkan, baik itu sengaja maupun tak sengaja…loh, kok bisa?, mari kujelaskan. Jika peralatan kerja itu tertinggal secara tak sengaja, itu memang murni akibat dari penyakit lupaku. Namun jika disengaja, itu bisa disebabkan dua kemungkinan, karena kejahilanku atau rasa penasaran.
Latar belakang masalah:
Perbaikan gangguan listrik dirumah pelanggan, tuan rumah seorang kakek atau nenek yang lambat dan ramah. Berbasa basi, atau mengajak ngobrol santai sang tuan rumah, dan ketika hati tuan rumah telah terpikat oleh cara kerja dan keramahanku, maka hukum “apa yang kau tanam, itulah yang kau petik” segera berlaku. Keluarlah si anak gadis sang empu rumah, membawa nampan berisi segelas kopi dan sepiring kue, lenggak lenggok tersenyum maniissss sekali,  baju lekat selekat-lekatnya, rok sependek pendeknya, dan aku menelan ludah sedalam dalamnya…he…kalau sudah seperti ini kawan, konsentrasiku buyar, 10 etos kerja morat marit, diganti dengan menajamnya sensor syaraf motorik “donjuan”ku. Aku ini tipe laki-laki yang sangat menghargai ciptaan Tuhan, pengagum segala keindahan yang telah diciptakan_Nya. Bukankah wanita itu ciptaan yang indah kawan? Maka tak salahkan jika aku menagumi dan menikmati keindahan itu? Sekedar selingan untuk penghibur saja, tak lebih dari itu….dan ketika Si gadis tersenyum, aku balas tersenyum pula. Si gadis mengerling, aku mengerjap. Maka ketika pekerjaan rampung, tangga terlipat, peralatan dikemas, insting kelimaku bekerja memprovokasi. Lalu dengan diam-diam, serapi mungkin, sepelan mungkin, sewajar mungkin dengan pasti sengaja ku tinggalakan salah satu peralatan kerjaku, yang pasti bukan tangga atau mobil lah, terlalu besar dan tak intelek..he…
Nanti setiba di kantor aku akan pura-pura kehilangan, berusaha mengingat-ingat, lalu aku menebak mungkin aku meninggalkannya di rumah gadis itu, jadi aku akan punya alasan untuk kembali kerumah itu dengan harapan yang menyambutku langsung  anak si empunya rumah, intermezo sedikit, dua tiga jurus rayuan dikeluarkan, aku yakin…haqqul yaqin…nama dan no telphone dapat kukantongi..hi….tabiat seperti ini bukan sebuah tabir kawan, hampir semua rekan kerjaku memiliki motto serupa “jangan biarkan keindahan terlewati”, merekapun tak bisa melihat sesuatu yang indah indah itu menganggur tanpa pengagum, Cuma caranya saja yang berbeda-beda, tapi sungguh….semua itu hanya keisengan belaka, insting nakal dari seorang laki-laki saja, tanpa berniat berbuat lebih jauh.
            Pengalamanku yang lain yang berkaitan langsung dengan pelanggan kawan, tak kalah lucu dan menegangkan. Pernah suatu hari aku menerima laporan gangguan listrik dari salah satu pelanggan, aku catat namanya, jenis gangguan, alamat jelas dan nomor telponnya. Berbekal informasi yang kudapat aku dan kawanku (satu shift terdiri dari dua petugas)  segera meluncur kelokasi, kala itu siang menjelang sore, terik mentari masih tak surut meniupkan hawa panas yang menyengat. Kututup kaca mobil rapat, menyalakan AC mobil untuk mengusir hawa panas dan rasa gerah, namun sial….baru beberapa menit aku menikmati kesejukan itu, hidungku disergap bau busuk nan mencurigakan. Kulirik temanku yang sedang menyetir mobil, raut mukanya datar, sepertinya ia tak terganggu oleh bau itu. Aku mengendus-endus, menajamkan sensor penciumanku, mencari-cari asal sumber bau busuk itu…dan disanalah ia kutemukan, dibawah dashboard, dekat sebuah kaki telanjang yang kapalan, terselip diantara pijakan rem, teronggok sepasang kaos kaki kumal, hitam, dekil, melambai-lambai tersenyum padaku. Aku melotot menatap temanku yang akhirnya nyengir juga. Mualku dibuatnya, dengan bersungut-sungut, menggerutu panjang lebar, kumatikan kembali AC mobil dan kubuka jendela mobil lebar-lebar. Ah….segarnya, akhirnya aku terbebas juga dari aroma tak menyedapkan itu. Setelah hampir 30 menit mencari-cari lokasi, akhirnya kutemukan juga alamat si pelanggan. Rumah terlihat sepi dan lengang, temanku celingukan mencari tombol bel, dengan sedikit mengeraskan suara, aku mengucapkan salam dan memanggil sang pemilik rumah, tak ada jawaban…”ga ada bel” ujar temanku, aku berteriak kembali, sepi. Tak ada satupun tetangga yang bisa kutanyai, akhirnya aku dan dan temanku memutuskan untuk memanggilnya sekali lagi, jika tak ada jawaban jua, maka akan ditinggalkan dan tunggu lapor ulang. Setelah pada teriakan ketiga tetap tak ada sahutan, aku segera masuk kembali ke mobil, namun…belum sempat kututup pintu mobil, pintu rumah berderak dan terbuka, muncullah sepasang laki perempuan tergopoh-gopoh menyuruhku berhenti, deru nafas mereka ngosngosan seperti habis ikut lari marathon. Aku dan temanku melongo demi melihat penampilan mereka. Si lelaki hanya mengenakan celana boxer, dadanya naik turun, rambut acak-acakan. Si perempuan hanya berbalut secarik kain menutup dada sampai ujung kaki, tak kalah semerawutnya, rambut mekar seperti rambut singa, mata masih merem melek berkejaran dengan nafas yang masih memburu…aw…aw…aku paham, pahaaaamm sekali, rupanya siang ini, baru saja terjadi pertempuran yang sengit sekali, namun tak terselesaikan…time out sejenak, dan akan dilanjutkan nanti setelah jeda iklan. Aku dan temanku mengulum senyum, merekapun tersipu. Itu peristiwa lucunya kawan, sekarang mari kucerikan peristiwa yang menegangkan, dan membuat merinding bulu kudukku. Beginilah ceritanya……
Ketika itu malam turun, aku dan temanku menerobos pekatnya demi sebuah tugas kerja yang mulia, membantu orang yang sedang berada dalam kegelapan, menolong orang yang terjebak dalam ruang gelap gulita, karena…listrik mati…he…, sebuah laporan gangguan masuk, melalui radio yang disampaikan operator, aku dan temanku bergegas, maka disinilah aku sekarang, berkendara di pekatnya malam di tengah jalanan yang lengang, sambil menyetir sekali-kali kulirik lampu jalan yang rupanya banyak yang tak berfungsi, temanku sibuk mengutak atik hapenya, kuputar radio mencari-cari gelombang yang pas dan musik yang enak, demi mengusir rasa kantuk. Rumah pelanggan kali ini terletak agak jauh dari kota, jalan menuju rumahnya terhampar persawahan, hanya satu dua rumah terselip diantaranya. Mobil kuhentikan di depan sebuah rumah bertingkat bergaya minimalis, suasana rumah sepi dan gelap, karena memang listriknya mati. “masuk saja pak” terdengar suara perempuan dari dalam, yang memang menunggu kedatangan kami, aku menyuruh temanku menyalakan senter dan menyiapkan peralatan. Dalam keremangan, hanya diterangi cahaya senter, seorang perempuan dengan rambut sebahu menuntun kami kearah tempat KWH meter terletak, rupanya terjadi konsleting di KWH yang menyebabkan lampu rumah padam, dengan cekatan kuperbaiki, kuteliti sejenak panel dan kabel kecil didalamnya, temanku dibelakangku memegang senter, membantuku dengan memberi sedikit penerangan. Tidak ada sepuluh menit, masalah bisa kuatasi, ku ON kan MCB lampu langsung menyala sempurna. Lampu senter dimatikan, terasa ada colekan keras dipunggungku, aku refleks menoleh, ternyata itu berasal dari tangan temanku, wajahnya pias matanya nanar melihat sesuatu, ada sesuatu yang tak wajar rupanya…..kuikuti pandangan matanya, aku menelan ludah, matakupun tak mau berkedip. Rupanya nun disana, tak ada semeter, berdiri perempuan sang pemilik rumah ditengah pintu, tangan kanannya sedikit terangkat bertopang pada bibir pintu, dan tangan kirinya bertelekan pinggang. Dia tersenyum padaku…pada kami maksudku… …dan amboi…lihatlah pakaian yang dikenakannya, baju tidur tipiiiiss banget, kurasa kalau ada lalat terbang nyasar bisa langsung robek dan menembusnya. Ssttt…..dan tahu tidak kawan, apa yang terpampang dibalik gaun tidur itu, jelas sekaliii….sepasang buah dada yang ditutupi bra berenda dan dibawahnya secarik G-string likat melekat, aku dan temanku serentak menelan ludah dengan kompak, “su sudah bu” suara temanku terdengar serak, aku diam tak bicara, untuk sepersekian detik mata kami lekat tak lepas menatap nya. “makasih ya mas…” ujarnya, posisinya tak bergeming, bias cahaya lampu menembus tipisnya gaunnya, entah ia sengaja atau tidak, namun yang jelas kutangkap dari rautnya, tak sedikitpun rasa risih yang tersirat, pun mimiknya tak menampakkan rasa keberatan sedikitpun karena kami telah dengan terang benderangnya, dengan lancangnya menggerayangi tubuh dibalik gaunnya dengan tatapan mata seperti singa yang hendak menerkam mangsa. Sedang diseberang sana, dalam kepala dua orang laki-laki yang terjebak fantasi ilegal, yang kebingungan memetakan warna hitam atau abu-abu, berada dalam dilema, pertarungan bathin, kekuatan baik dan buruk saling adu argumentasi dalam hati, meributkan sesuatu yang jelas tak halal dilakukan, sedang nun jauh dibawah sana, hormon testoteron mendesak-desak meniupkan propaganda dan provokasi. Cuping telinga temanku kembang kempis, jakunnya naik turun tanpa henti. Ini harus dihentikan…harus, aku menarik nafas panjang, tersenyum dan pamit permisi secara sopan. Sampai didalam mobil, sumpah serapah, ceracau tak jelas saling bersahutan dari kita berdua. “Sial…sial…sial…kamu lihat tadi, montok dan mulus….shit…”.
Hei…kami lelaki tulen, temanku seorang bujangan, meski lapuk bukan berarti testoteronnya tak berfungsi, sedang aku sendiri jauh dari istri, baru pulang dua bulan sekali, wajarkan jika kelabakan dan tergagap melihat sesuatu yang begitu dekat jaraknya dengan sesuatu yang berbau “seks”. Itu baru sebagian ceritaku kawan, belum cerita yang lain. Bagaimana aku pernah hampir kejang-kejang karena dicolak colek pelangganku yang bencong…hi…belum lagi jika aku menangani gangguan di area pedesaan, dimana hal-hal biasa bisa menjadi sebuah kejutan yang luar biasa seperti: nenek-nenek tua, bersanggul, berkebaya, tiba-tiba mengangkat kainnya (seweg rek…) dibawah pohon dan dengan cuek bebeknya kencing sambil berdiri, hi aku bergidik. Belum lagi masalah kendala bahasa, menghadapi pelanggan yang tak bisa sedikitpun bahasa indonesia, bisanya hanya bahasa daerahnya. Sedang kemampuan bahasa daerah setempatku pun sangat mengenaskan, entahlah kawan…meski bertahun-tahun lamanya aku tinggal dipulau ini, tapi tetap saja kemampuan memahami bahasa daerah setempatku jongkok dan dibawah rata-rata. Maka jika sudah seperti itu kawan, senjata utamaku adalah mencampur adukkan semua bahasa yang kukuasai, setengah bahasa jawa, seperempat bahasa madura dan seperlapan bahasa bali, jika tak mempan juga, kupakai bahasa isyarat…gelap kawan, sangat gelap…hehehe…
            Pengalaman paling dekat dengan kematianpun pernah kualami. Kerjaku ini berbahaya, penuh resiko dan suka mengundang malaikat maut untuk turun. Pernahkah kalian berada diatas tiang listrik, bergelantungan dengan akrab dan bercengkrama denga kabel-kabel bertegangan tinggi, ditengah ancaman terik mentari yang menyengat, angin kencang yang lancang, ditengah hujan badai memancing-mancing petir? Aku pernah kawan. Pernahkah kalian tanpa sengaja bersenggolan dengan kabel listrik berkekuatan tinggi, yang mampu menghanguskan tubuhmu, mempresto belulangmu? Aku pernah kawan, dan karena saking kagetnya aku terpeleset dari tiang setinggi 10 meter, sedang dibawahku jalanan aspal, trotoar beton siap menjadi peraduan, seperti mulut buaya yang mangap menunggu mangsa. Namun rupanya malaikat maut masih tak menginginkanku, disaat genting itu, aku sempat menyambar besi lampu jalan, bergelantungan dengan gemetar, otak blank, perasaan campur aduk tak karuan, dan terselamatkanlah aku. Sedikit saja kawan, sedikit saja aku memprovokasi malaikat maut, maka tamatlah riwayatku, menghantam trotoar beton yang telah menantiku, dan tentu saat ini aku takkan bisa menuliskan kisahku, sejarahku yang gilang gemilang ini kawan….he…. Itulah sekelumit kisahku kawan. Dan seperti yang kukatakan dari awal, sekeras apapun, seberat apapun keadaan yang harus kualami, aku tetap mencintai pekerjaanku

Jumat, 12 Agustus 2011

WHEN “IPUNG” FALLIN’ LOVE

Ipung dan cinta, hmm….rumit dan complicated, aku tak tahu harus mulai dari mana kawan. Antara ipung dan cinta, terlalu banyak ironi, kejutan-kejutan, dan…..aib. mari kuceritakan dan simaklah…maka akan kalian temukan bahwa terkadang tak selamanya cinta bisa mempermainkan perasaan seseorang, tak selamanya cinta menjadi pongah dengan menyita sesuatu yang bernama hati. Itu tidak berlaku bagi Ipung adikku. Ditangan adikku cinta serupa permainan karet gelang, sesakit apapun tangannya kena jepret, dia tak kan berhenti memainkannya, dengan gembira.
Seingatku, ketika pertama kali ia mulai begitu dekat dengan sesuatu yang bernama cinta…ah tidak, kuralat, aku tidak berani mengatakan itu cinta, kuganti saja dengan sesuatu “perasaan akan ketertarikan pada lawan jenis” itu lebih tepat. Ketika itu ia duduk dibangku SMA kelas dua. Mudik lebaran dikampung, sore hari ketika orang-orang masih hilir mudik saling berkunjung dari satu rumah kerumah lain. Disanalah ia bertemu dengan gadis itu, diujung teras rumah tetangga. Gadis itu mungil, hitam manis dan sedang asyik bercakap dengan kawannya. Ipung tergagap tertancap panah Cupid, wajahnya meriah menahan pesona, malu dan rasa minder. Namun dengan gagah berani ia akhirnya menghampiri gadis itu, mengajaknya berkenalan lalu berujung pada obrolan. Dilihat dari sorot matanya, gadis itu sebenarnya tak tertarik pada adikku, mungkin ia hanya sedikit tersanjung hatinya karena merasa ada yang naksir padanya (sifat dasar perempuan, yang suka menjadi pusat perhatian). Entah apa yang mereka perbincangkan, sepertinya sesuatu yang seru, yang kutahu kemudian Ipung merogoh sakunya, mengeluarkan uang dan memberikannya pada gadis itu, adegan selesai.
Keesokan sorenya, kasak kusuk terjadi di ruang depan rumah, ayah ibu dan saudara-saudara yang lain saling terbahak dan tergelak membicarakan sesuatu, aku terpikat dan ingin tahu, maka bergabunglah aku. Rupanya mereka sedang membicarakan Ipung dan gadis itu. Tahu tidak kawan hal apakah yang terjadi? Ternyata setelah adegan pemberian uang sore itu, keesokan paginya, ketika Ipung sedang duduk sendiri di teras depan, ia melihat gadis pujaannya dibonceng lelaki lain (entah itu kekasih, kakak atau saudara gadis itu), Ipung meradang, hatinya panas karena merasa di khianati, ia terbakar cemburu secara sepihak. Maka tanpa ba bi bu, dengan rasa amarah mencapai ubun-ubun siang harinya ia menemui gadis itu dirumahnya, dan aib pun terjadi…apa yang dilakukannya? Ia, dengan wajah memerah dan bersungut-sungut meminta kembali uang yang telah ia berikan kemarin, uang “sebelas ribu rupiah” itu, sangat memalukan bukan? Itulah kenapa kusebut itu sebuah aib. Ternyata bagi Ipung, uang itu bukan hanya sekedar uang pemberian saja, namun baginya adalah serupa mahar, uang pengikat dan kesepakatan tak tertulis akan perasaan cintanya, meski sebenarnya tanpa ada suatu komitmen apapun yang terjadi. Maka baginya itu adalah hubungan “asmara” tersingkat yang pernah ada dalam hidupnya. Seiring didapatkannya kembali uang “mahar” itu, seketika itupun menguaplah segala rasanya pada gadis itu, perasaan suka, merona, marah, benci, kecewa merasa dikhianati pias menghilang terhapus oleh perasaan bahagia karena uang “sebelas ribu rupiah” itu kembali ketangan, ia mengerjap dan tersenyum, di kepalanya sudah tergambar semangkuk soto di warung sebelah. Begitulah Ipung, simple dan sederhana, tak masalah tak mendapatkan cinta, yang penting ia bisa mempunyai uang untuk makan diwarung.
Pengalaman asmara berikutnya terjadi ketika ia sudah tak lagi sekolah, ia bekerja di sebuah toko grosir sembako, tugasnya menjadi kurir pengantar pesanan konsumen, gas elpiji, gallon air, beras dan sebagainya. Ia menjadi pegawai kesayangan bos nya, mengapa? Dengan berbekal tubuh yang besar seperti Obelix, tenaga sekuat Samson, namun memiliki otak yang “sederhana” seperti Bernard (tak pernah menanyakan ia digaji berapa, yang penting ia diberi makan. Namun syukurlah bosnya itu orang yang baik), maka ia bak prajurit yang bertarung di garda depan, ulet dan dapat diandalkan. Si bos harus pintar membaca sinyal batere dalam perut Ipung, tinggal setengah saja harus segera di charge, karena kalau tidak, bisa menghambat kelancaran traffic kirim mengirim pesanan.
Sore itu, selepas bekerja, ia mampir ke rumahku, ibu menyuruhnya mengirim sesuatu padaku. Ucapan salamnya riang dan bersemangat, wajahnya sumringah dan sedikit cengengesan, bau keringat badannya menebar menusuk hidung, aku mendengus sambil menutup hidung, dia cekikikan.
“napa sih, kok kayaknya seneng banget…” tanyaku heran
“aku punya pacar, ntar habis Maghrib janjian mo keluar…” jawabnya sambil menaik turunkan alis dan tersenyum.
Bola mataku berputar, “ya sudah, hati-hati bawa anaknya orang” pesanku, meski dalam hati aku yakin seratus persen, siapapun anak gadis yang bersama adikku, pasti akan aman terkendali, karena kutahu adikku sangat menguasai tata cara pacaran yang baik dan benar, tanpa rayuan, tanpa sentuhan, apalagi lebih jauh dari itu, paling banter mereka hanya mengobrol saja, itu yang ada dalam benakku, dan aku tak perlu mengkhawatirkan sesuatu.
Seminggu berselang, dan aku tak mendapat kabar apapun darinya. Namun, ketika malam minggu kedua tiba, tepat jam 10 malam, disaat mataku terkantuk-kantuk menatap layar teve, aku dikejutkan oleh suara hapeku yang menjerit, dengan kesal kuangkat telpone, sekilas kulihat dilayarnya tertera nama adikku.
“apa….!!!!”
“mbak…ayah ni lho! masak aku lagi enak-enak pacaran di telponin terus, disuruh pulang” terdengar suara Ipung dengan nada mengadu dari seberang.
“ya udah pulang aja, lagian ini kan udah jam sepuluh, emang kamu tadi keluarnya jam berapa?” Tanyaku geli.
“jam 4 sore…” jawabnya datar dan tanpa ada rasa bersalah dalam nada suaranya.
“hadehhh….ya jelas kamu disuruh pulang, udah cepet pulang, besok lagi pacarannya “ ujarku geregetan.
“ya…” suaranya terdengar lesu.
Aku menarik nafas, tak habis pikir bercampur rasa geregetan. Ipung anak laki-laki satu satunya, segala tindak tanduknya sangat mengkhawatirkan, sebesar apapun ia tumbuh sekarang, tetap saja ayah ibu menganggapnya sebagai anak kecil yang harus dipantau dan dilindungi, ya semua karena “keistimewaanya” itu. Maka wajar jika ayah ibuku merepet, ribut seperti induk ayam kehilangan anaknya, ketika menyadari anaknya raib dari pukul 4 sore, dan sampai jam 10 malam belum pulang jua. Aku sangat bisa mengerti itu.
Keesokan harinya Ipung ke rumah, hatinya masih dongkol dan belum plong tentang kejadian semalam, ditambah lagi ia merasa aku tak berada dipihaknya. Pelan dan dengan menggunakan bahasa yang mudah ia mengerti, sedikit dibumbui sanjungan, ia mulai manggut-manggut, entah mengerti atau bosan mendengar petuahku. Ku alihkan topik pembicaraan, kuungkit sedikit program pacarannya.
“nama pacarmu siapa? “
“kasih…” jawabnya cepat dan penuh semangat
“kemaren kemana aja” aku nyinyir sedikit mengorek.
“muter-muter, trus duduk-duduk dilapangan”
“trus, pacarmu ga kamu ajak makan? Traktir sesuatu gitu…!!” ini semacam interogasi kawan.
“enggak, Cuma beli Aqua sebotol aja…” eh dia nyengir kuda….
Aku mendelik menatapnya “whatttt……kamu ajak anak orang dari jam 4 sore, hanya kamu beliin minuman sebotol?”
“la wong aku Cuma bawa uang 10 ribu” jawabnya ringan, enteng. Aku menggeram seperti anjing, ingin rasanya kuterkam dan ku jambak rambutnya, kubelah kepalanya, kucuci otaknya, dan akan kubersihkan panel-panel yang tersumbat agar hilang lemotnya.
“kamu tuh laki-laki, bersikaplah selayaknya laki-laki, pacaran tuh harus modal, berani ngajak anak gadis orang, berarti berani mengeluarkan uang, dengar pung….” Aku muntab.
“masak anak orang kamu biarkan kelaparan, lima jam lebih diajak keluar cuma dibeliin sebotol minuman. Penilaiannya akan buruk sama kamu, kamu ga akan punya nilai lebih dimatanya..” dadaku naik turun, emosi meletup dibuatnya.
“kalau dia minta dibeliin makan, kan berarti dia wanita matre…” sanggahnya tenang, rautnya datar, tak beriak tak bermimik.
“bukan begitu…..” aku tercekat, habis kataku dibuatnya, hilang kesabaranku dibikinnya, aku bingung harus mulai dari mana untuk menjelaskan kata “matre” yang kutaksir ia mengerti artinya hanya sepotong. Aku mengurut dada, mengelus-elus hipertensi agar tak kumat, pikirannya masih kanak-kanak bathinku menenangkan hati.
Beberapa purnama berlalu, belum ada cerita terbaru tentang Ipung yang kudengar. Aku berharap jalinan asmaranya lancar dan mulus-mulus saja. Jujur ada sedikit ketakutan dalam hatiku, dengan kondisi dirinya yang “istimewa” dan serba terbatas, aku takut ia jatuh pada perempuan yang tak tepat, dan memanfaatkan kelemahannya. Meski untuk hal semacam itu “menikah”, kami sekeluarga masih belum mau memikirkan, masih terlalu jauh, sangat jauh bagi ipung kami yang sederhana.
Lalu suatu hari, ia tiba-tiba muncul kembali ke rumah, diiringi ucapan salam singkat, ia ngeloyor langsung menuju dapur. “laperrrr” katanya sambil cengengesan seperti biasa, ia mengambil dua bungkus mie goreng instant dan sebutir telur. Menjerang air, dan dengan cekatan tangannya merobek bumbu yang tersedia. Aku bersandar pada palang pintu dapur, memperhatikannya. Sambil mengunyah “marning” camilan jagung, aku mengajaknya bicara.
“apa kabar Kasih..?”
“udah putus kemaren.…”
“loh kok..!!!”
“gara-gara ibu tuh….setiap aku janjian mo ketemuan, selalu saja diminta untuk nganter-nganter, ke pasar lah, ke rumah tante lah….udah, Kasih marah, dibilang aku tak menepati janji dan aku diputusin…” tanpa beban dia menceritakannya padaku, wajahnya tak menampakkan kesedihan seperti orang yang sedang patah hati, tangannya sibuk mengaduk-aduk mie dalam panci kecil.
“tapi tenang….” Sambungnya, “ aku mau dikenalin ke cewek sama temenku, do’ain aja…. “ alisnya naik turun, senyumnya mengembang, tak kusangka tak kuduga playboy juga nih orang. Aku pun tersenyum, mengangkat bahu, sudah kuduga bagaimana akhirnya. Namun yang tak kusangka, perlakuaanya terhadap cinta bisa begitu mudah, ringan dan ga pake ribet. Rupanya aku harus banyak belajar tentang manajemen hati padanya, bagaimana menguasai rasa terluka karena cinta, betapa rasa sakit karena cinta itu tak mampu membuatnya terhempas. Jika banyak orang yang merana dan terluka karena cinta, itu tak berlaku pada adikku. Jika cinta dengan mudah mempermainkan hati seseorang, maka Ipung malah dengan sesuka hati memainkan cinta.

Ipung adalah sosok yang penuh dengan kejutan dan kontroversi, seperti tak pernah habis episode menggelikan dibuatnya. Ipung remaja bukannya tambah dewasa dalam berpikir, namun kian memusingkan kepala ayah ibu. Sehabis menutup bab sebelumnya, maka dibukalah bab selanjutnya, kali ini sampai membuat kalang kabut ayah dan ibu.
Ibu menelponku panik, “Ipung udah seminggu ga pulang, ngambek!”
“emang ada apa ? “ tanyaku, terbersit kekhawatiran juga dlm hati, ini baru pertama kali terjadi.
“minta kawin…” aku tersedak kopi, terbatuk-batuk karena terkejut. Ibu memintaku untuk menasehati Ipung jika kerumah, karena hanya aku yang mampu menjinakkannya. Tapi sayangnya Ipung tak muncul-muncul jua, kuhubungi handphonenya tidak aktif. Aku tak kehabisan akal, aku menghubungi tempatnya bekerja, meminta mengirim satu tabung elpiji, kebetulas gas di rumah juga hampir habis, dan aku meminta supaya Ipung yang mengantarnya, tidak boleh yang lain.
Maka datanglah ia, suara motornya menderu, tanpa mengucapkan salam ia langsung nyelonong ke dapur. Kubiarkan saja, kuperhatikan ia sibuk membongkar pasang tabung gasku. Ku Tanya apa ia sudah makan, ia menjawabnya hanya dengan anggukan. Aku tak boleh hilang kesempatan, momen ini memang kutunggu, agar aku bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Menghela nafas sebentar, lalu ku mulai dialogku.
“mas pung katanya mau kawin ya…?” sengaja kutambahkan kata “mas” agar terkesan lebih indah dan menghargai, panggilan itu “mas” sebenarnya adalah panggilan anak-anakku kepadanya.
“iya…tapi dilarang sama ayah dan ibu, mau kawin kok dilarang..” gerutunya, bibirnya manyun, air mukanya cemberut, terlihat sekali ia sedang kesal.
Aku terdiam sejenak, mencari-cari kata yang tepat untuk mengorek informasi.
“anak mana? Sudah berapa lama pacaran?”
Ia melirikku sejenak “anak jawa, Balung (nama kota), pacarannya sudah sebulan ini”
Aku mencium bau ketidak beresan dalam otaknya, “terus kapan ketemunya? Kamu sudah tahu rumahnya gak? Pacarannya gimana?
“ketemunya pas waktu ke jawa kemarin, aku sudah diajak kerumahnya kok, pacarannya ya lewat telpon dan sms aja lah…”
“berapa kali kamu kerumahnya…?”
“satu kali…”, betul kan kawan, ada ketidakberesan pada panel otak adikku, aku mencium bau gosong karena konsleting.
“mas pung….kamu baru sebulan pacaran, baru sekali kerumahnya, ayah sama ibu belum tau seperti apa pacarmu, kok sudah minta kawin sih…” aku berkacak pinggang, ya Tuhan apalagi yang tersangkut dalam otak adikku ini.
“dia yang minta diikat, lagian kan mumpung ada yang mau sama aku mbak….?” Gdubrak…klontang…klontang, ooohhh….rupanya alasan ini “mumpung ada yang mau” yang membuat ia kebelet kawin, yang membuat ia minggat dari rumah, aku benar-benar tak bisa bicara. Kupandangi ia, lama….ia hanya menunduk, lihatlah wajah polos kekanakannya itu, wajah innocent yang terperangkap dalam tubuh yang besar, perut tambun, kulit sedikit hitam karena sering terpanggang sinar matahari, rambut acak-acakan dengan bertaburan ketombe, bau badan yang masam, kecut dan campuran aroma lainnya, ditambah rasa malas merawat diri. Maka wajarlah ia jika merasa kehilangan kepercayaan diri, dan ketika ada celah, kesempatan yang menghampirinya…tanpa berpikir panjang ia menyambut, menangkap, dan hendak menggenggamnya erat.
“mas pung….perkawinan itu ga main-main, akan dibawa seumur hidup, kalau kamu memang serius, setidaknya kenalin dulu pacarmu sama ayah dan ibu, biar mereka tau seperti apa calonmu…” aku berkata selembut mungkin, rasa marah yang tadi hampir memuncak, mereda, menguap oleh kesadaranku sendiri akan keadaannya yang “istimewa”.
“kata ayah ibu disuruh kenalin pas lebaran nanti, lebaran kan masih lama mbak…!!” katanya sambil mengerjapkan mata, aku menarik nafas panjang, panjaaaang sekali.
“sudahlah, kalau dia jodohmu pasti nanti bisa kawin, kalau bukan….kamu ga usah khawatir, ibu bilang sama mbak, nanti kamu mau dicariin jodoh, anak saudara-saudara ibu kan banyak yang cantik-cantik, kamu tinggal pilih saja….” Aku membesarkan hatinya, memberikan sedikit harapan agar ia tak terlalu khawatir takut tak laku.
“ bener ya….cariin aku jodoh…” ia kembali menuntut penegasan
“iya…iya, tenang aja….ingat ntar habis kerja kamu pulang, biar ayah ibu ga khawatir “
“okey….pacarku tak putusin ah…kan nanti bisa kenalan sama anak saudaranya ibu…” aku terperanjat, terkejut oleh perubahan yang sangat drastis itu. Lihatlah ia…..betapa semena menanya, betapa kurang ajarnya memperlakukan cinta dan asmara. Seminggu kabur dari rumah demi mempertahankan cinta, berani berseteru dengan ayah ibu demi cinta, bahkan sepuluh menit yang lalu bersikukuh dengan alasannya mengapa ia harus segera kawin, namun tak ada semenit kemudian ia begitu mudahnya mencampakkan cinta itu, seperti membuang kulit pisang ke tong sampah saja…..
Kawan, sungguh aku tak mampu berkata-kata.

Rabu, 10 Agustus 2011

ANTARA IPUNG, MAKANAN DAN PESANTREN

Kawan, masih ingat akan ceritaku tentang adikku ipung yang “istimewa” itu ? kali ini aku akan menecritakan sedikit lagi tentangnya, tentang betapa sangat dekatnya hubungan ia dengan sesuatu yang bernama “makanan”, dan betapa jauh niannya dengan sesuatu yang bernama “pelajaran”.
Sedari kecil ipung sangat gemar makan, makanan apapun itu pasti akan disantapnya, ia tak kan berhenti menggiling sebelum kantung perutnya berontak karena terlalu penuh dijejali makanan. Dan sangat wajar jika tubuhnya menjadi lekas besar melebihi aku kakaknya. Dalam hal makanan, seluruh syaraf pengecap dan radar perasa yang dimilikinya hanya akan menangkap dua hal dan membaca dua sinyal saja, yaitu “enak dan enak sekali”. Lidahnya tidak mengenal kata “tidak enak”, kalaupun ia tidak berselera pada suatu makanan, itu bukan karena ia tidak menyukainya, melainkan karena perutnya sudah tak mampu lagi menampung makanan yang masuk. Kalian kira makanan itu akan diacuhkannya atau bahkan akan ditolaknya? Jangan salah…ia akan menyimpan makanan itu, sambil menunggu sedikit celah agar ia bisa memakannya. Dan kalau sudah begitu, maka moment yang paling ia tunggu adalah sakit perut karena ingin buang air besar, sebab itu berarti muatan dalam perutnya akan berkurang, dan ia akan punya alasan untuk mengisinya kembali.
Ibu adalah sosok yang sangat keras dan otoriter dalam beberapa hal, kami anak-anaknya tidak ada yang berani membantah setiap kata yang keluar dari mulutnya. Maka demi melihat perilaku yang tidak wajar pada anak laki-lakinya terhadap makanan, ibu menerapkan satu kebijakan yang sangat tidak boleh ditolak oleh adikku. Kebijakan itu adalah setiap porsi nasi yang ibu sajikan, adikku harus menghabiskannya tanpa sisa. Padahal tahu tidak kawan, seberapa banyak porsi yang disuguhkan ?…menggunung dan padat….kurasa itu porsi cocok untuk kuli bangunan yang bekerja keras dan sudah dua hari tidak makan. Aku sering bergidik melihatnya. Dan, kebijakan itu membawa petaka bagi adikku, sekuat apapun ia berusaha menjejalkan nasi itu kedalam perutnya, namun tetap saja ruang dalam perutnya tidak cukup besar untuk menampungnya. Sering kulihat ia tersengal-sengal sehabis makan, wajahnya memerah dan matanya berair. Dan jangan coba-coba untuk menyisakan makanan itu, bola mata ibu melotot seperti hendak keluar saja, mulutnya merepet tak karuan, jika ia masih melihat ada sebutir saja nasi yang tertinggal. Adikku meringkuk menopang perutnya yang sakit karena kekenyangan, aku meringis iba karena tidak bisa menolongnya dan ayah hanya menggeleng-gelengkan kepala. Jika ada satu patah kata pembelaan yang keluar dari mulutku atau ayahku untuk adik, maka tak segan-segan ibu akan meledak seperti dinamit, ribut bak petasan, dan kami memilih jalan aman yaitu diam. Sejak saat itu, jam makan adalah jam paling mengerikan namun tak mampu dihindari olehnya, terkadang saat ibu lengah, saat adikku berbisik seperti meringkik “mbak…aku ga kuat!!”, aku memindahkan nasi itu kepiringku, lalu pura-pura kebelakang mengambil sesuatu, padahal nasi itu kucampakkan kesaluran air pembuangan, kusiram dengan air sebanyak mungkin agar tak meninggalkan jejak, walau sebutirpun. Terkadang aku berpikir, ini bukan keberkahan namun kekejaman, meski aku tahu semua itu didasari oleh kasih sayang ibuku yang sangat besar pada adik laki-lakiku itu.
Menginjak Sekolah Menengah Pertama (SMP), ayah memutuskan untuk mengirim ipung ke sebuah Pondok Pesantren di sebuah kota kecil di Banyuwangi, itu artinya kita akan berpisah dalam waktu yang cukup lama. Ibu merana membayangkan akan ditinggal anak lelaki kesayangannya. Ayahku berat hati, penuh harapan dan sedikit lega. Berat hati karena akan tinggal berjauhan dengan putra mahkotanya, penuh harapan untuk mengenalkan dan mengajarkan pada anak lelakinya bagaimana kehidupan diluar agar ia bisa mandiri, sambil berharap waktu akan menempa dan mengikis sifat kekanak-kanakannya, dan ayah sedikit lega hatinya karena itu berarti uang jatah belanja buat ibu bisa berkurang, sebab ditinggal satu anggota keluarga….hi…
Liburan semester pertama, ibuku menangis meraung-raung ketika melihat anak lelakinya pulang dengan tubuh kurus, wajah tirus, kaki dan tangan penuh dengan koreng dan bau badan seperti lem kaleng. Adikku mengerjap-ngerjapkan mata sambil tersenyum “ kalau ga korengan bukan santri namanya” katanya enteng, aku mendengus “dasar jorok” dia tergelak. Bagaimana tidak gatal-gatal dan korengan, kalau tempat mandi untuk ratusan santri, ponpes hanya memiliki kamar mandi yang terbatas dan satu kolam besar pemandian yang tidak memiliki sistem saluran pembuangan yang layak, walhasil tuh kolam airnya bisa sangat kecoklatan bahkan hampir menghitam tercemari daki ratusan santri, dan hanya sebulan sekali dikuras, itupun secara manual. Ayahku tersenyum simpul, memandang putra kesayangannya yang kelihatan sedikit dewasa, sedikit berwibawa, meskipun memang terlihat kurus. Disimaknya adikku dari ujung kepala sampai kaki, peci hitam beludru, kemeja lengan panjang yang sedikit lecak, sarung putih tergulung rapi. Demi melihat sebuah buku bersampul kuning, yang rupanya sebuah kitab kecil tergenggam dalam selipan jemarinya, hati ayah membuncah, bahagia meletupkan dadanya, ada pancaran kebanggan dalam sorot matanya, ah…tak sia-sia aku mengirim anakku jauh-jauh untuk menuntut ilmu, begitulah suara bathinnya. Maka digamitlah tangan adikku, direngkuh pundaknya dan diajaknya duduk bersama.
“kitab apa tuh pung…coba tunjukkan, ayah pengen liat”
“kitab kuning yah…” maka kian bersinarlah mata ayahku saat melihat deretan huruf arab gundul centang berenang dalam lembarannya, wah hebat nian anakku nih, baru semester pertama sudah bisa baca huruf arab gundul.
“coba baca pung…ayah ingin tahu”, wajah adikku pias, matanya mengerjap-ngerjap.
“a a aku ga bisa yah, la wong ini nemu dekat mesjid pondok…he…” ayah lesu kecewa namun tetap tersenyum, adikku nyengir menahan malu. Kawan, kami (terutama ibu) sangat memahami bagaimana lemotnya sulur-sulur panel di otak ipung dalam menangkap sinyal pengetahuan, maka harusnya ayah menyadari dari awal, bahwa ada ketidakberesan pada kitab kuning yang tergenggam dijemarinya, namun euforia kebahagian rupanya terlebih dulu membutakannya…siapa tahu…kata ayah sambil mengedikkan bahu.
Selama menimba ilmu di pondok pesantren, ada banyak harapan dan juga pesimisme yang ayah ibu kembangkan, namun apapun hasilnya kami tidak ingin mendahului rencana Tuhan, hanya satu harapan ayah ibu, adikku mampu jadi orang yang bermanfaat, setidaknya bagi dirinya sendiri.
Tiap dua bulan sekali ayah mengunjungi pondok untuk menjenguk adik. Dan setiap pulang selalu saja ada cerita yang membuat kami tersenyum dan geleng-geleng kepala.
“Ipung tuh bikin pusing aja, habis kataku dibuatnya”, ayah bercerita sambil mengelus dada, bahwa di pondok ipung tak mau ikut kegiatan ekstra kurikuler apapun, kegiatannya diluar kelas dan kegiatan pondok hanya makan dan tidur. Jika teman-temanya menghabiskan waktu dengan bermain sepak bola, voli atau kegiatan lainnya, adikku lebih memilih mendengkur di sudut masjid, terlentang dengan baju digulung sampai kedada hingga terhamparlah perutnya. Jika temannya membelanjakan uang sakunya untuk membeli baju atau perlengkapan sekolah lainnya, adikku lebih memilih membelanjakannya di warung yang terletak agak jauh dari pondok, yang menyediakan menu lebih bervariasi daripada menu diasrama. Jika adzan subuh bertalu, semua berbondong ke mesjid untuk menunaikan sholat, namun adikku kepergok sedang pulas dekat ruang kelas kosong oleh penjaga asrama, maka kena hukumlah ia.
Ketika awal semester kedua ada kompetisi pidato antar kelas, tiap kelas mengutus dua orator untuk jadi wakilnya, entah karena tak ada yang berani atau memang terpaksa tak punya pilihan lagi, adikku terpilih menjadi salah satu orator. Adikku menyanggupi, karena merasa tersanjung diberi kepercayaan, ia berlatih dengan giat, siang dan malam mencoba belajar berpidato dan menyamarkan aksen gagapnya. Teman-temannya mulai optimis, mulai merasa tak salah menjatuhkan pilihan, dan adikku kian bangga dan sedikit membusungkan dada karena yakin akan hasil yang akan dicapai. Namun kawan, malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih....saat hari kompetisi tiba, bencana melanda. Acara dimulai dari jam 9 pagi, begitu banyak peserta, begitu beragam cerita. Ketika matahari tepat diatas ubun-ubun, ketika keringat dan rasa kelelahan bercampur kecemasan mulai melanda para peserta, ketika itulah giliran adikku tiba. Host acara memanggil nama adikku dengan lantang, adikku tak tampak, panggilan kedua, teman-temannya celingukan mencari-cari adikku, adikku tak diketemukan. Panggilan ketiga dan terakhir, teman-temannya panik, adikku raib. Dan karena tak memenuhi panggilan ketiga, maka didiskualifikasilah adikku dari kompetisi, teman-temannya lemah dan lesu.
Tahukah kalian kawan kemanakah adikku menghilang? Disana, disudut mesjid, tempat persinggahan rutinnya, disanalah ia mendengkur, lupa akan kompetisi, lupa akan draft pidato yang dihafalkannya siang dan malam, lupa akan yel yel semangat dari teman-temannya dan lupa dari jam berapa ia terlentang disana dengan baju tergulung sampai di dada, seperti biasa. Itulah adikku kawan, sosok yang tak mudah diterka, tak mudah diraba.
Selama tiga tahun menimba ilmu di pesantren, kurasa tak banyak ilmu pengetahuan yang mampu diserapnya, tak banyak ilmu agama yang mampu dicernanya. Ayah pusing tujuh keliling, ibu mengurut dada namun tersenyum mengerling, berharap anak lelaki kesayangannya segera dipulangkan. Dan akhir ajaran kelas tiga, lulus dengan nilai yang sangat paspasan, ayahku memutuskan untuk membawanya pulang. “Biarlah ia sekolah dekat sini saja, biar lebih mudah dipantau” kata ayah pasrah….dan kawan, bukan ipung namanya jika tak membuat masalah. Ketika ayah mengurus ijazah sekolahnya, pegawai bagian administrasi menyodorkan kartu SPP yang menunggak selama 5 bulan, ayah berkilah bahwa ia selalu rajin mengirim uang sekolah pada adikku. Petugas administrasi tersenyum sambil berkata “coba bapak tanya sama Ipung pak, kemana uangnya…kalau saya tak salah lihat, dia sering berkunjung di warung makan diluar sana”. Ayahku mencoba tersenyum menahan marah, giginya gemerutuk menahan emosi “ awas kau pung, bikin malu ayah saja”

Sabtu, 06 Agustus 2011

ADIKKU YANG "ISTIMEWA"

Nama aslinya Abdul Gofur, tapi kami sepakat memanggilnya Ipung, dia adik laki-lakiku. Mengapa nama panggilannyanya bisa melenceng jauh? Tak usahlah dipusingkan, itu demi melegalkan kehendak nenekku yang sangat tidak suka dengan huruh “R”. Nama Abdul Gofur itupun didapat dengan jalan yang berliku dan tidak mudah, melalui pengundian konyol yang memalukan. Konon, ketika adikku itu masih meringkuk dalam perut ibuku, ayahku pergi ke seorang kyai di sebuah pondok pesantren hanya demi meminta sebuah nama indah, bermakna dan siapa tahu membawa sebuah keberuntungan bagi keluarga kami. Dengan keyakinan yang sangat kuat dan didorong keinginan yang sudah lama terpendam sehingga berurat akar dalam hati, ayahku hanya meminta satu nama untuk anak laki-laki, hanya nama laki-laki (padahal waktu itu dukun beranak dan bidan kampungpun menggelengkan kepala saat ditanya prediksi jenis kelamin janin yg berada diperut ibuku), ayahku sangat menginginkan anak laki-laki sebagai penerus penebar benihnya, selain itu mungkin dia bosan karena sudah terlalu lama menjadi satu-satunya lelaki dalam keluarga kecil kami, ayahku kesepian. Maka ketika ibuku benar-benar melahirkan seorang bayi laki-laki, ayahku senang bukan buatan, membuncah bukan kepalang, tak henti-henti dia bersujud syukur, dan sepanjang hari itu dia terus mengulum senyum.
Hari ketujuh, saatnya upacara pemberian nama tiba, sepasar kata orang jawa. Seingatku usiaku 9 tahun kala itu, sehabis adzan maghrib ayah mengumpulkan kami, aku dan ibuku, untuk duduk bersama di ruang depan. Hatiku berdebar, penasaran ingin tahu seperti apakah nama yang ayah dapat dari kyai itu, pasti indah, berseni dan menakjubkan. Ayah memandang kami berdua dengan senyum lebar, matanya berkilat-kilat riang.
“baiklah, ayah akan mengumumkan nama untuk adikmu” ujarnya sambil menatapku, aku tersenyum dan berpaling menatap ibuku yang juga tersenyum. Ayah membuka sebuah gulungan kertas kecil yang sedari tadi digenggamnya, gulungan kecil itu mirip gulungan kertas untuk arisan, dan rupanya sejak mendapatkannya dari kyai itu, ayah tak pernah membukanya sampai hari ini, padahal kalau tidak salah itu sudah empat bulan yang lalu.
“namanya….Abdul Salim….” Itu nama yang terbaca oleh ayah dalam gulungan itu. Ayah menatap kami berdua, menunggu reaksi. Aku memandang ibu, sepertinya dia tak keberatan, kulihat ayah juga tak bimbang. Dan rupanya hanya aku yang tak suka nama itu, aku sedikit kecewa, dalam bayanganku nama pemberian itu akan semegah nama para khalifah dan sahabat nabi. Namun demi mendengar nama itu mengapa benakku langsung teringat pada si salim teman sekolahku yang nakalnya minta ampun, kegemarannya menyingkap rok anak perempuan di kelas, pun aku teringat dengan pak salim teman ayah yang kerjanya hanya mengelus burung dara aduan siang dan malam. Ah…nama itu tak keren, aku menggeleng dan ayah mengerti. Maka dia mempersilahkan kami (aku lebih tepatnya) mengajukan nama tambahan untuk kemudian diundi. Ibu mengusulkan nama Abdul salam, rupanya ibu tak ingin menelikung jauh dari pilihan ayah. Lalu tiba-tiba aku teringat sebuah nama dari seorang pejabat menteri yang kulihat di acara teve, namanya Abdul Gofur. Aku pilih nama itu dengan harapan siapa tahu kelak nanti adikku akan menjadi seorang pejabat, minimal pejabat kelurahan.
Maka acara pengundianpun dimulai, aku menulisakn nama-nama itu disebuah kertas kecil, menggulungnya lalu kumasukkan kedalam botol kecil, sangat mirip dengan ritual arisan ibu-ibu. Kocokan pertama, ku buka kertas gulungan yang keluar…Abdul Salam…aku cemberut. Ayah menggulungnya, memasukkan kembali kedalam botol, dan mengocoknya ulang. Kocokan kedua…Abdul salim…wajahku memerah. Kocokan ketiga, Abdul salim lagi…mataku berkaca-kaca. Kocokan keempat, Abdul salam…air mata menggenang dipelupuk mata. Ayah dan ibuku menarik nafas panjang berkali-kali, akhirnya pada kocokan kelima…Abdul Gofur…muncul juga. Dan itu menjadi kocokan terakhir, aku tersenyum.
Ketika usia adikku 2 tahun, dia mengalami sakit panas tinggi yang hebat, kejang-kejang dan keluar busa dari mulutnya, selama satu bulan lebih ibu dan ayah bolak balik dari rumah sakit, bergantian menjaga adik. Kepala adikku dipenuhi dengan alat-alat medis yang tak kumengerti apa namanya, selang-selang kecil centang perenang di hidung, pergelangan tangan dan dikepala. Dan akhirnya kami bisa bernafas lega setelah akhirnya kondisi adikku pulih dan dokter mengijinkan kami membawanya pulang. Rupanya ini menjadi cikal bakal, ketidakberaturan panel-panel kabel dalam otak adikku yang kemudian menjelma menjadi karakter konyol, naïf, polos, bodoh tapi jahil yang bersemayam dalam tubuhnya hingga ia tumbuh besar. Goresan cerita menggelikan dimulai ketika adikku berusia 7 tahun. Inilah kisahnya.
Kami adalah penduduk pendatang yang mengadu nasib dikota, kami tinggal di salah satu kamar kos kecil, berkoloni dengan pendatang-pendatang lainnya. Kompleks koskosan itu sangat luas, terdiri dari 6 baris, setiap baris berisi 16 kamar yang saling berhadap-hadapan, jadi total keseluruhan 96 kamar. Untuk menertibkan penduduk pendatang, pemerintah daerah setempat, rutin melakukan pemeriksaan identitas penduduk. Yang dilakukan secara mendadak, dan pada jam-jam yang tidak memungkinkan mereka untuk kabur dan menghindar. Seingatku, itu minggu malam, pukul 12, udara berhembus dingin. Tiba-tiba kudengar suara kehebohan memecah kesunyian malam, suara-suara langkah kaki tergopoh-gopoh berseliweran, aku dan adikku terbangun dari tidur, “biasa, pecalang meriksa KTP” kudengar suara ayah yang sedang berbicara dengan ibu. Kami sekeluarga tenang-tenang saja, karena kami sudah menjadi penduduk resmi. Aku menguap dan merebahkan kepala dipangkuan ibu, ayah santai merokok, dan ipung adikku berdiri didepan jendela memperhatikan orang-orang yang tak punya KTP berlarian mencari tempat persembunyian. Satu persatu petugas pecalang memeriksa identitas penghuni kamar, yang kamarnya kosong dan ditanyakan oleh pecalang, kami dan penghuni lainnya yang ber-KTP mengarang berbagai alasan untuk melindunginya. Ayah menyerahkan dua lembar KTP, miliknya dan milik ibu saat petugas pemeriksa datang. Ketika para pecalang itu hendak pergi karena pemeriksaannya selesai dan hari itu tak dapat tangkapan, tiba-tiba adikku berlari menggamit salah satu tangan petugas, dan menariknya menuju kearah kamar mandi umum “disana banyak yang sembunyi pak” katanya enteng. Ayah dan ibu terlonjak kaget, panik, tapi tak bisa berbuat apa-apa karena salah satu dari pecalang itu menatap mereka lekat. Maka, disanalah, di gudang kosong, dekat deretan kamar mandi yang berbau pesing, akhirnya para pecalang itu mendapatkan tangkapan malam itu, atas petunjuk dari adikku yang terlalu kecil untuk mengerti arti kata dari “pengkhianatan”.
“tuh kan…apa kubilang” kata adikku lantang dan membusungkan dada, ketika petugas menemukan, laki-laki dan perempuan saling berjejalan dalam ruangan sempit, mencoba menyembunyikan diri. Berhamburan keluarlah mereka, sebagian ada yang menutup hidung dan hampir muntah-muntah, rupanya ada yang membuang angin ketika persembunyian berlangsung. Petugas menggiring mereka satu persatu, mereka menggerutu dan mengumpat adikku. Adikku tersenyum bangga ketika petugas menepuk-nepuk bahunya.
Banyak peristiwa-peristiwa konyol yang melibatkan adikku, dan sering membuat ayah ibu hanya bisa mengelus dada. Jika ada pengamen, tukang kredit, penagih uang kos kebetulan datang mengunjungi salah satu kamar kos, yang mendadak sepi karna penghuni nya sembunyi atau pura-pura tidur, adikku akan berteriak “ada kok didalam, baru saja tak liat lagi makan”, dan adikkupun dengan tulus ikhlas bersedia membantu para penagih itu menggedor-gedor pintunya. Jika membantu ibu berjualan baju, menjaga toko ketika mendadak ibu ada keperluan, ibu harus benar-benar memastikan dia mengerti, karena kalau tidak, bisa- bisa yang didapat bukan laba tapi rugi. Contohnya suatu hari ibu meminta adikku menjaga toko, karena ibu mendadak sakit perut ingin buang air besar, ibu menjelaskan “ini baju harganya 15 ribu, tapi kalau ditawar 12 ribu, kasih aja ya” adikku manggut-manggut dengan keras, memberi sinyal bahwa ibu tak perlu khawatir dan tak perlu menjelaskan ulang. Saat ibuku sedang asyik jongkok di toilet, dia mendengar percakapan adikku dengan pembeli.

“ini baju harganya berapa dik?”
“harganya 15 ribu, tapi 12 ribu boleh juga kok” adikku menjawab dengan mantap dan yakin. Pembeli tersenyum, tak perlu repot-repot menawar, belum ditawar sudah turun sendiri, mungkin begitu bathinnya. Dan, ibuku berteriak sambil tergopoh-gopoh keluar dari kamar mandi….ipuuuung….

Waktu SD, dua kali dia tak naik tingkat, saat kelas satu dan kelas dua, mata pelajaran yang ia kenal hanya satu, yaitu bahasa inggris. Bukan karena dia pintar dalam mata pelajaran tersebut, tapi lebih karena hanya mata pelajaran itu yang dirasanya memiliki nama yang keren. Maka jangan ditanya mata pelajaran apa yang dipelajarinya hari ini, dia akan dengan mantap menjawab “bahasa inggris”, baginya setiap hari adalah bahasa inggris. Adikku tak pernah merasa malu, tak pernah merisaukan kenapa dua kali tahun ajaran baru, teman sekelasnya juga baru. Tak pernah peduli pada gambar telur bebek yang sering nangkring di kertas ujiannya. Senyumnyapun akan mengembang jika di kertas itu sekali-sekali yang tergambar seekor bebek, bukan hanya telurnya saja, lumayan…katanya.
Adikku memiliki bakat terpendam yang tidak diketahui oleh ayah ibuku dan aku. Ibuku heran dan bertanya-tanya, mengapa tiap pulang sekolah kerap menemukan dua atau tiga lembar uang seribuan di saku seragamnya. Ibuku sangat yakin, berangkat sekolah tadi hanya membekali adikku dengan satu lembar seribuan saja. Hati ibu was-was, jangan-jangan adikku melakukan perbuatan tak terpuji. Dengan memasang wajah menuduh dan berkacak pinggang, didudukkanlah adikku dikursi tersangka untuk diintrogasi. Dan berceritalah dia dengan tenang akan bakat terpendamnya itu “aku memijat pak guru” katanya. Rupanya, terkadang saat jam istirahat, bermula dari permintaan satu orang guru, lalu diikuti guru lainnya, adikku kerap diminta tolong untuk memijat tangan atau punggung para guru yang kelelahan akibat mengajar, sebagai upahnya dia akan menerima dua tau tiga lembar uang ribuan. Dari sanalah ia mendapatkan uang itu, dan sejak saat itu panel-panel otaknya sedikit bekerja mengkalkulasikan sesuatu yang bernama uang, pelajaran berhitung pertama yang dapat dipahaminya, setelah dua tahun tinggal kelas. Bahwa memijat adalah prospek masa depan yang cerah, karna dengan memijat dia bisa mengumpulkan uang seribuan lebih banyak dari yang ia dapat dari ibu. Maka jika teman-temannya yang lain menuliskan dengan indah dalam biodatanya tentang profesi kelak yang akan diraihnya, ada yang menulis pilot, dokter, guru, presiden dan profesi menakjubkan lainnya. Adikku dengan tegas dan mantap menuliskan keinginannya di kolom cita-cita, yaitu Tukang Pijat.
Kawan, begitu banyak yang ingin kuceritakan tentang keistimewaan adikku. Masih banyak cerita yang ingin kubagi, karena dari kecil hingga dewasa sekarang masih saja dia istimewa (konyol, bodoh, jahil, polos). Kurasa bisa menghabiskan berlembar-lembar kertas jika kuceritakan, namun bagaimanapun keadaanya, kami sekeluarga menyayangi dan melindunginya, melebihi diri kami sendiri.

Kamis, 04 Agustus 2011

.....DANGAU....

Kawan, tak dapat dipungkiri bahwa banyak hal buruk bisa terjadi yang diakibatkan oleh masalah perut dan financial yang mengerut. Ditambah lagi kadar keimanan yang kian menyusut, maka bahkan kekerasanpun bisa melecut. Aku adalah salah satu wanita yang sering terombang ambing dan dipermainkan oleh hal mengerikan diatas, dan aku tak menafikkan itu. Inilah sedikit gambaranku tentang bagaimana mudahnya uang mengkorosi kestabilan emosiku, sehingga membuatku menjadi orang yang lupa akan kata “bersyukur”.
Akhir bulan, saat semuanya terasa menyusut dan mengering. Bermula dari grafik keuangan yang berada di titik mengenaskan yang kemudian akan merembet dan menjalar ke sudut sudut krusial lainnya seperti berkurangnya ketebalan dompet, kekosongan yang nyata melanda ruangan dalam kulkas dan semakin terbatasnya menu masakan yang ada dimeja makan. Tapi kawan, anehnya…dalam situasi yang serba menurun dan memprihatinkan itu, ketidakstabilan emosi dan penyakit darah tinggiku malah berada di puncak popularitas, melesat dan meroket. Maka semua terasa ada yang tak beres dan menjengkelkan dimataku, cucian kotor bisa kurendam sampai tiga hari, aku tak kan menyentuhnya sebelum baunya menyengat dan membuat tersedak penciuman para tetanggaku. Setiap mencuci piring atau gelas kotor, ada saja yang retak bahkan pecah. Semua hal, sekecil apapun itu bisa memicu penyakit hipertensiku kumat. Suamiku tersenyum aku merengut, tetanggaku keramas tiap pagi aku manyun, kucing lagi kawin dan buat keributan diloteng aku marah, ayam numpang tidur diteras sapu melayang, tokoh utama dalam sinetron dianiaya remote kubanting. Huaahhh….atmosphere terasa memanas dan membuat tak nyaman, semua kekacauan itu dikarenakan ketidakmampuanku menghadapi situasi sulit saat sesuatu yang bernama uang perlahan beranjak pergi dari dompetku….hi…(betapa menyedihkannya aku sebagai manusia ya…).
Seperti siang menjelang sore ini, pulang kerja ku longok isi kulkas mencari cari sesuatu yang bisa ku olah jadi masakan. Huft…yang teronggok dalam frezeer hanya balok balok kecil air yang membeku, tiada daging tiada ikan, eh masih ada sosis. Beralih dibagian bawahnya yang kutemukan hanya snack-snack, permen, batang coklat yang tinggal separuh dan makanan ringan lain milik anakku. Dibagian bawahnya lagi, sedikit bernafas lega, ada separuh papan tempe terselip diantara kota-kotak bumbu yang sebagian isinya sudah kering dan mengeriput…hi…, lalu terakhir beralih kebagian paling bawah, sambil harap-harap cemas mudah-mudahan ada sesuatu yang sedikit mencerahkan hatiku. Kubuka satu persatu kresek-kresek kecil yang kujejalkan begitu saja di box sayuran. Kol busuk, wortel keriput dan menyusut, bayam yang meranggas, nasib tauge yang menyedihkan, semua membuat hatiku semakin miris dan meringis. Aha….ada seikat kangkung yang masih segar kutemukan di kresek paling akhir, dua butir telur dan sekerat ikan asin. Kenapa tuh telur ada dalam box sayuran ya, biasanya kutaruh di bagian dinding kulkas, untung tak pecah, ini mungkin akibat dari penyakit pikunku yang akut. Dengan sedikit menggerutu, kukumpulkan semua bahan-bahan itu. Ku jumput pula kotak bumbu, yang isinya pun tak kalah memprihatinkan, dua butir bawang putih, bawang merah tinggal sesiung, tomat busuk, cabe kering….ah…semakin frustasi aku. Maka lihatlah proses pembuatannya, kangkung kupenggal besar-besar, batang tua pun ku sertakan. Tempe ku iris dan hanya kutaburi garam, telur ku kocok dengan sejumput garam juga, aneka bawang hanya kugunakan buat tumis kangkung. Aku mengeluh dalam hati….Tuhan, selalu seperti ini, kenapa hidupku tak pernah lepas dari sesuatu yang bernama kekurangan dan pas pasan? kenapa Tuhan tak berikan aku sedikit kesempatan untuk menyicipi sesuatu yang bernama “kelebihan?”. Kenapa roda nasibku selalu berada dibawah? kenapa takdir hidupku tertulis dalam kitab kemiskinan?. Dengan raut muka ditekuk, bibir maju beberapa senti, pandangan mata memberingas, dada naik turun karena kesal, belum lagi cacing-cacing diperut yang meronta karena dari pagi belum dijamah makanan, aku lalui acara masakku hari itu dengan menyalah nyalahkan nasib, menyumpahi takdir, mengkambing hitamkan Tuhan.
Langit menjadi oranye di ufuk barat, burung-burung terbang hendak kembali ke sarang, angin bersiul menghembuskan udara dingin, Agustus ini, ketika pagi dan sore tiba, udara masih saja tak kunjung hangat. Aku duduk bersila diatas kasur, mataku nanar menyimak sinetron korea di televisi, samar kudengar suara anak-anakku yang sedang bermain dengan anak tetangga sebelah. Perutku sesak setelah kuhantam dengan dua piring nasi tadi…he…, saking asyiknya, aku tak mendengar ucapan salam dari suamiku yang rupanya baru pulang kerja. Aku tersadar saat ada tepukan dipunggung, dengan terburu-buru aku menuju dapur, lalu dengan tergesa kembali lagi dengan membawa segelas kopi buat suamiku. Tanpa bicara ku serahkan saja segelas kopi itu, lalu kembali tenggelam pada acara teveku. Ketika jeda iklan, suamiku menyela.
“bu, masak apa hari ini?” tanyanya
“masak ga enak…”jawabku ketus
“tadi pas lewat, ayah lihat pak heru makan hanya sama sambal dan krupuk…”
Aku reflek menoleh menatap suamiku “kok ayah bisa tahu..?
“la wong dia makannya depan pintu” jawabnya ringan, maka aku segera paham maksud suamiku. Beranjak ku menuju meja makan, kubuka tudung saji, tumis kangkung, tempe goreng, telur dadar, sepotong ikan asin dan sedikit sambal.
“stok mie masih ada kan?” tanyanya kembali
Aku mengangguk, buat anak-anak masih ada sosis dikulkas, jadi biarlah malam nanti santapan yang tersedia mungkin hanya mie rebus. Ku ambil nampan, ku jejalkan semua masakanku tadi diatasnya, lalu bergegas menuju rumah tetanggaku. Benar saja, ku lihat pak heru tetanggaku duduk di depan pintu, tangan kanannya menopang sepiring nasi berlauk sambal dan kerupuk saja, hatiku menyusut, ingatku akan kejadian siang tadi yang secara babi buta, dengan seenaknya menyalahkan Tuhan. Lupaku untuk berkaca bahwa masih banyak yang jauh tidak beruntung dariku, masih banyak yang lebih sengsara dariku, yang untuk makan saja mereka belum tentu ada setiap hari. Sedang aku dengan pongahnya, menuding-nuding nasib mempermainkan hidupku, padahal tak setiap hari aku ditimpa kemalangan. Dengan tak tahu malunya mendemo dan memprotes Tuhan, padahal Tuhan lebih tau apa yang terbaik bagi hambanya. Menyumpahi takdir yang tak tahu permasalahannya. Htiku kecut, aku malu….maluuuuu sekali….
Saat kukembali kerumah, suamiku menatapku, ada kecemasan dimatanya dan berkata “besok masih ada yang bisa dimasak ga?”
Aku tersenyum dan mengedipkan mata “ serahkan saja sama Tuhan…dan…mertua” suamiku tergelak, aku terbahak, dan hatiku ringan, seringan kapas.