Ide tulisan ini ada dan terbersit ketika otakku sudah mentok, hang, bosen dan lelah mencari-cari ide cerita, tokoh (baik yang fiksi maupun nonfiksi) untuk dijadikan bahan tulisan. Sedang hasrat hati kian menggebu, jari jari tangan mulai gatal, tuts-tust keyboard selalu terbayang dimata, ribuan kata dan kalimat berdesakan dalam kepala menuntut untuk dirangkai dan dituangkan dalam bentuk cerita, tapi tentang apa? Siapa?.
Lalu muncullah ide itu, ketika aku sedang asyik mematut wajah pada sebingkai cermin mengorek-ngorek butiran komedo dihidung yang menghampar. Ide itu adalah aku, tentang aku. Dalam tulisan-tulisanku aku banyak dan kerap menceritakan orang lain, maupun tokoh khayalan. Saat aku kehabisan bahan seperti ini, benakku urun rembug, sumbangsih ide, “mengapa tak kau tulis saja cerita tentang dirimu, bukankah perjalanan hidupmu tak kalah menarik bahkan sedikit hiperbola”. Maka jadilah tulisan ini kawan.
Tentang AKU…hmmm…aku bingung harus mengawalinya dari mana, sepertinya puzzle puzzle hidupku tak bersudut, tak memiliki garis start. Tapi cerita harus tetap dibuat kan kawan…..Let me thinking it first……okelah aku akan mulai dari cikal bakal aku ada, mulai dari kisah asmara kedua orang yang kemudian hari aku panggil ayah dan ibu. Yang konon sangat menggemparkan, heboh, bahkan sempat memercikkan api perang saudara, perang antar dua keluarga, dan bahkan lebih hebat dari itu, peristiwa itu seperti representasi dari kebaikan yang berjibaku melawan kemunkaran…aihh…lebay…
Tahu tidak kawan, ibuku waktu muda dulu cantik, dilihat dari poni kritingnya, rambut hitam sebahunya yang juga keriting, tahi lalat yang nangkring diatas bibir sebelah kanan atas, mengingatkanku pada penyanyi dangdut tersohor, yaitu Elvi Sukaesih. Gambaran itu kudapat dari selembar foto usang dan kusam yang terselip diantara para-para dapur, kenapa foto itu bisa sampai kesana tak usahlah dibahas, paling juga kerjaan tikus-tikus nakal. Sedang gambaran ayahku waktu muda, sangat bertolak belakang, tau cerita “beauty and the beast” kawan? Yah kira-kira seperti itulah perbandingannya. Raut wajah ayah ketika muda juga ku dapat dari selembar foto, dalam foto itu ayah berpose selayaknya jawara, pendekar, centeng kumpeni…..bertelanjang dada, bagian bawah dibalut celana hitam (seperti kostum penjual sate madura) dengan gesper besar warna hijau. Pose badan garang, kedua kaki melebar kokoh dalam ancang kuda-kuda, tangan kanannya teracung kedepan memegang sebuah celurit panjang dan tajam, kumis tipis melintang malu-malu dan tatapan matanya kurasa memang sengaja dibuat segarang mungkin. Kuperas otak, mengingat ngingat, mencari-cari, sosok artis dalam dan luar negeri, namun tak satupun yang bisa kupadankan dengan wajah ayahku…hi…justru yang berkelebat dipelupuk mata adalah wajah penjual sate, tukang becak, tukang parkir, pembuat batu bata, hansip dan kawan kawan, wajah ayahku sangat familiar, sangat kebanyakan kawan.
Menurut cerita dari Uwak ijah, adik dari nenekku. Dulu keluarga besar kami, dari kubu ibu, tak satupun yang mengijinkan dan melegalkan hubungan ibu dan ayah. Pengajuan proposal ayah untuk meminang ibu ditolak mentah-mentah oleh para paman, bibi dan saudara-saudara ibu yang lain. Ibuku adalah anak tunggal, kakek dan nenekku bercerai ketika ibu masih kecil. Untuk melupakan kesedihan akibat dari perceraian, nenekku pergi merantau ikut salah satu saudara di kota, dan dititipkanlah ibuku pada saudara-saudara yang lain. Ibu sangat disayang oleh mbah buyutku, bahkan oleh saudara-saudara yang lain, karena nasib ibu yang kurang beruntung itu, sedari kecil sudah serupa yatim piatu. Maka ketika beranjak remaja, paman-paman ibu sangat ketat menjaga ibu, mereka menjadi semacam tim penguji, juri seleksi bagi para pemuda yang ingin mendekati ibu. Para pemuda itu harus lulus fit and proper test dari para paman yang dimotori oleh Uwak tari, paman tertua yang terkenal disiplin, teguh pendirian dan tak mempan sogokan, kurasa figur Uwak tari cocok jika dijadikan ketua partai saat ini.
Dari sekian pemuda yang bergelimpangan tak lulus seleksi, mundur sebelum berperang dan lari lintang pukang dari arena pertempuran, hanya ada satu pemuda yang tetap gagah berdiri, pantang menyerah dan tetap keukeuh tak mau mundur sebelum ia mendapatkan gadis pujaannya. Pemuda itu sudah dicoret dalam banyak kolom persyaratan, terdepak pada sub kategori bibit, bebet, bobot, sudah didiskualifikasi dalam tahap kelayakan wajah dan penampilan, tidak masuk daftar dalam kolom “prospek masadepan”, bahkan pemuda itu sudah kenyang akan kata-kata kasar dan makian dari tim seleksi, karena ketidak-sensitif-annya akan kata dan mimik penolakan. Pemuda itu kawan, ia adalah ayahku. Semakin ditolak semakin tertantanglah ayah, karena dia tau dibalik wajah garang para tim seleksi, ada senyum manis tersamar dari bibir ibu yang menyembul malu-malu.
Ibu pernah bercerita, pertama kali ia melihat ayah adalah di pabrik selip / penggilingan gabah, yang letaknya tak jauh dari rumah. Dulu ibu sering diminta Uwak untuk menggiling gabah agar menjadi beras ke pabrik, kebetulan yang menjadi kuli sekaligus operator pabrik adalah kakek, ayah dari ayahku. Kawan, letak rumah ibu dan keluarga ayah hanya terpisah oleh jalan utama yang membentang dikampung kami (sebrang dalan rek…arep omah ). Dan disanalah ibu melihat ayah, pemuda kecil, kurus hitam, terseok-seok terpanggang panas matahari di area penjemuran gabah. Kesan pertama yang didapat ibu, tidak ada. Ia melihat ayah sepintas lalu saja, tidak ada yang menarik dari pemuda itu, terlalu biasa, sangat dibawah biasa. Tak lebih dari sosok pemuda kurus , dekil, hitam yang tertungging tungging, berlarian mendorong garpu kayu besar untuk meratakan gabah, mengejar sinar matahari agar gabah yang terjemur cepat kering. Namun dari sisi ayah, ibu ibarat Dewi sri berambut keriting yang kecantikannya terlihat nyata diantara hamparan padi kering, putri kayangan yang tersesat diantara tumpukan karung-karung goni berisi beras yang menggunung, tersedak-sedak oleh debu penggilingan, mengecil diantara tumpukan sekam yang membukit. Dada ayah nyeri terpanah asmara, maka sejak itu terpatri tekad dalam hati ayah, apapun yang terjadi, ia harus mendapatkan ibu.
Sebenarnya kawan, keluarga dari ibu tak pernah menuntut yang muluk-muluk, yang tinggi-tinggi dari pemuda yang kelak nanti bisa diharapkan menjadi suami dan imam yang baik bagi ibuku. Yang digaris bawahi oleh keluarga ibu hanya satu, yaitu “lelaki alim / sholeh”. Ini semua dikarenakan latar belakang keluarga ibu banyak yang lulusan pondok pesantren, setiap gambaran dari keluarga ibu adalah perilaku baik, alim, sederhana dan tak pernah ada seorangpun cacat hukum.
Ini kebalikan dari keluarga ayah yang kusangka dari turun temurun, dari nenek moyangnya sana sudah mewarisi darah pembawa keburukan dan kemaksiatan. Gelar atau tittle yang yang disandang keluarga ayah beragam, mulai dari pencuri, penipu dan penjudi. Tau tidak kawan, hampir semua wanita yang ada dalam trah keluarga ayah, sangat pandai dalam judi kartu. Mereka, para wanita itu tak segan-segan duduk bersila diantara para penjudi laki-laki selama berjam-jam, dibibir mereka tak ketinggalan rokok lintingan terselip setiap saat. Komunitas yang tergabung dalam keluarga ayahpun tak kalah hancurnya, mulai dari maling jemuran, maling ayam, maling ternak, buronan, tukang begal, pemabok, rampok, garong, bajing loncat, bromocorah mulai dari yang amatiran sampai kelas kakap, berkumpul dan berkoloni di rumah ayah hampir tiap malam, duduk bersila melingkar bergantian membanting kartu domino. Sang tuan rumah bukannya jengah, mereka malah menyambutnya dengan hangat dan sangat welcome. Kalian kira tuan polisi tidak tahu akan perkumpulan ini? Jangan salah kawan, para tuan polisi itu tahu, sangat tahu, namun mereka akan pura-pura tak tahu setelah jidat mereka ditempeli lembaran rupiah. Ironi nyatanya, sepelemparan batu jaraknya dari rumah ayah, berdiri rumah seorang anggota polisi.
Karena perbedaan latar belakang yang mencolok itulah, keluarga ibuku menolak mentah-mentah pinangan ayah. Prinsip keluarga ibu adalah bahwa kebaikan tak bisa bersanding dengan kejahatan. Kedua kubu itu kemudian saling bermusuhan secara diam dan tersembunyi. Keluarga ayah merasa dilecehkan, dijatuhkan harga diri dan martabatnya. Keluarga ibu tetap mempertahankan prinsipnya kuat-kuat, berlindung dibawah satu payung tujuan yaitu semua demi kebaikan ibu
Sejak ikrar yang terpatri di area penjemuran padi di pabrik selip itu, ayah telah berjanji pada diri sendiri, pantang untuk menjilat ludah yang sudah terbuang, aral apapun yang menghadang, akan ia terjang. Maka untuk memberi sedikit keseimbangan pada profil keluarganya yang memang carut marut, ayah pergi menimba ilmu disebuah pondok pesantren yang terkenal diluar kota, jauh dari kampung. Dengan harapan sekembalinya nanti, ijazah pesantrennya akan sedikit melunakkan kerasnya hati keluarga ibu. Namun kawan, jika suatu kebaikan diawali oleh niat yang tak tulus, maka kebaikan itu akan kehilangan maknanya, bahkan gagal tercapai. Baru beberapa bulan belajar dipondok pesantren, ayah sudah tak betah, ingin segera hengkang dari pondok. Ini semua dikarenakan sebuah berita bahwa ada seorang pemuda yang naga-naganya diterima sangat baik oleh keluarga ibu. Hati ayah panas, ia tak rela gadis pujaanya dipetik orang lain, sudah jauh ia berjalan, sudah banyak tahapan seleksi ia lalui, maka ia sangat tak rela ada sabotase, penelikung gelap itu harus disingkirkan.
Ayah kabur dari pondok pesantren. Dan kepulangan ayah yang penuh kontroversi itu, tercium oleh endusan hidung Uwak tari. Uwak tari makin tak suka bahkan sangat membenci ayah, sampai-sampai keluar statement mengerikan “sampai kapanpun, keponakanku tak kan kubiarkan menikah dengan pemuda dari turunan… maaliiing…”. Demi mendengar kalimat itu, ayah muntab, darah naik sampai keubun-ubun, hatinya menggelegak dan mendendam (hingga aku duduk dibangku SMA kawan, ayah tak bertegur sapa dengan Uwak tari). Batin ayah berkata, “baiklah, jika dengan jalan halus tak bisa kudapatkan dia, maka terpaksa kutempuh jalan keras, kalau perlu jalan ekstrimpun akan kupakai, sudah terlanjur basah, mandi saja sekalian”. Dan kawan, jika sekarang kalian sering mendengar kalimat “cinta ditolak dukun bertindak” maka itu bukan isapan jempol belaka, tiga puluh lima tahun yang lalu ayahku sudah menerapkan dalil itu kawan. Ayah memanggil seorang dukun pelet dari kampung sebelah, seorang dukun yang sebisa mungkin tak populer dan tak dikenal oleh keluarga ibu, dan keberadaannya serapat mungkin dirahasiakan agar tak terendus, demi misi cinta mulia yang harus tercapai. Pada dukun itu ayah mengadukan gundahnya, kesahnya dan harapannya. Ayah meminta sang dukun mengerahkan segala mantera dan ilmu aji pengasihnya, demi mendapatkan gadis pujaanya. Cinta itu memang buta kawan dan gelap gulita. Maka demi memenuhi harapan kliennya, sang dukun berjanji bahwa dalam tempo tak kurang dari 1 x 24 jam, sang mangsa sudah klepek-klepek ditangan. Sang dukun tersenyum, ayah sumringah. Dan disini ironi kembali terjadi, saat sang dukun kembali pulang, dan melintas didepan area rumah keluarga ibu, tiba-tiba ia disapa dan dipanggil oleh seseorang yang ternyata dikenalnya, orang itu tak lain adalah salah satu bibi ibuku. Maka mampir dan bertandanglah sang dukun, yang ternyata oh ternyata kalau dirunut dari silsilah keluarga yang panjang, sang dukun rupanya bertalian saudara dengan keluarga ibu, bahkan ibu adalah cucu jauhnya. Sang dukun menceritakan dari mana ia tadi, maksud dan tujuannya bertandang, lengkap dengan nama keluarga sang klien dan nama gadis sasaran yang diincar. Keluarga ibu terperanjat dan histeris, mereka menjelaskan bahwa gadis yang telah ia kirim ajian pelet itu, tak lain dan tak bukan adalah cucu jauhnya sendiri, maka sang dukun melongo, tergagap, tak kalah kagetnya. Dan saat itupula ia diceramahi habis-habisan oleh keluarga ibu. Maka kali inipun gagal total usaha ayah, karna sang dukun menghisab kembali mantra peletnya. maka makin terkucillah ayah dimata keluarga ibu, karena tindakannya yang tak keren dan tak intelek itu.
Untuk menghindari gempuran ayah yang bertubi, keluarga Uwak tari mengirim ibu ke tempat salah satu saudara dikota, sampai situasi kondusif. Namun ayah tak kehilangan akal, ia melobi salah satu paman ibu yang mulai melunak hatinya karena melihat kesungguhan dan kegigihan ayah dalam memperjuangkan cintanya. Dengan bantuan Uwak asmat, ayah menculik ibu. Uwak asmat menjemput ibu dengan alasan neneknya sakit, namun ditengah perjalanan, ibu dipindah tangankan ke tangan ayah. Selama seminggu ibu disekap dirumah ayah, tidak…bukan disekap….karena ternyata hati ibupun luluh melihat usaha keras ayah, maka ia pun jatuh cinta pada pemuda kurus, hitam dan tak kenal menyerah itu. Ibu dengan suka rela mengikuti permainan ayah.
Berita menghilangnya ibu, dan membelotnya Uwak asmat dari kelompok (radikal) juri, membuat Uwak tari berang, terjadi adu mulut dan argument yang sangat sengit, masing-masing pihak mempertahankan pendapat dan egonya. Maka pertengkaran antar saudarapun tak dapat dihindarkan. Terjadi kehebohan dan kegemparan dalam keluarga besar ibu, mereka terpecah menjadi dua kubu, satu membela, satu lagi menentang. Sedang diseberang, keluarga ayah hanya diam menyaksikan, pura-pura tidak tahu peristiwa yang telah berlangsung. Sampai akhirnya, setelah seminggu situasi masih memanas. Saudara perempuan paling tua dari nenekku (aku memanggilnya Nyai Peng), yang disegani dan dihormati oleh saudara yang lain, diam-diam memanggil ayah dan ibu untuk kerumahnya, secara diam-diam. Habis maghrib, menjelang isya’, hanya disaksikan oleh dua orang saksi, Nyai peng dan suaminya, seorang penghulu dan lampu minyak teplok sebagai penerang, ibu dan ayah dinikahkan, mas kawin seperangkat alat sholat “ngutang”, situasi serba mendadak dan tak memungkinkan, keadaan genting tak terkendali. Ibu menangis tersedu, karena hanya dimeriahkan oleh sepiring nasi sebagai syarat untuk selamatan, ayah bahagia campur nestapa. Akhirnya usaha kerasnya tak sia-sia.
Setelah ayah dan ibu dinikahkan, keesokan harinya Nyai peng memanggil dan mengumpulkan seluruh keluarga. Dalam pertemuan darurat itu, ia menyampaikan apa yang terjadi semalam, mau tak mau kedua kubu harus terima dan berdamai, karena ayah dan ibu sudah resmi dinikahkan, semua demi ketentraman keluarga, demi menghapus permusuhan yang sudah mulai tercipta. Tak ada yang berani membantah Nyai peng, yang memihak hubungan ayah dan ibu bernafas lega, yang menentang mengurut dada dan hanya bisa menggerutu dalam hati. Uwak asmat tersenyum, Uwak tari walkout dari anggota dewan, dalam hati ia berkata “lihat saja kedepan, kalian akan menyesal”.