INI SERABI AROMA PANDAN, KAWAN

IMPERIUM OF ME



Sabtu, 10 September 2011

CERBER: SENJA TURUN DI TEPI KAMPUNG (PART II)


........ILEGAL.........

Ingatan tentang masa kecilku begitu samar, kalaupun sampai saat ini masih ada kejadian atau peristiwa yang terekam dalam otak tuaku, itu biasanya peristiwa yang sedikit tidaknya memberi kesan dalam pada benakku.
Aku lahir setahun setelah pernikahan orang tuaku. Terlahir premature, bobot dibawah rata-rata dan dua minggu megap-megap dalam incubator. Ini sebagian besar akibat dari ulah nekat orang tuaku, karena ibuku yang terjebak dalam pernikahan dini..he…usia 14 tahun sudah kawin, dan tentu saja porsi kesalahan terbesar  terletak pada ayahku karena menikahi gadis dibawah umur. Kalau sekarang bisa masuk bui tuh….tapi itulah cinta kawan, tuli dan buta. Namun seiring kelahiranku, ada berkah Tuhan mengiringi, dua kubu yang dulu berseteru saling berdamai, hati yang tak puas dan mendendam akhirnya lunak dan cair, semua melebur menjadi kecemasan akan pertumbuhanku, disertai kebahagian mendapat tambahan anggota keluarga baru. Dan syukurlah, aku kemudian tumbuh menjadi anak yang sehat dan normal, kecemasan semua pihak akhirnya mereda.
            Kala itu (menurut cerita ibu) aku tumbuh dalam keluarga yang cukup, artinya ga berlebihan, ya ga kekurangan (alah…pake dijelaskan lagi). Namun menginjak usia tiga tahun, ekonomi keluargaku goyah. Ini karena penyakit lama ayahku kumat, dari seorang juragan kasur kapuk yang sukses, ayah malah tergiur bisikan setan yang tiada henti  mempropaganda ayah dengan iming-iming jabatan “God of Gambler”. Bisa ditebak yang kemudian terjadi, karena memang tak ada impian yang bisa ditawarkan dari sesuatu yang bernama judi selain impian semu. Rumah ludes, ibu berang, naik pitam, dan ayah hanya meringis memohon belas kasihan agar ibu tak datang ke pengadilan. Ayah insyaf hanya untuk sesaat, ketika perekonomian kembali membaik, ayah terjatuh untuk yang kedua kalinya, karena hal yang sama namun dikemas dalam bentuk yang sedikit modern. Kalian tahu undian SDSB tidak kawan? Kalau tidak, Tanya saja sama para orang tua jaman orba, pasti mereka tahu tentang undian setan itu. Ah…kenapa ayah tidak mengikuti nasehat penyanyi idolanya Bang Haji Oma, tentang bahaya judi, kalau tidak salah satu liriknya bunyinya begini “bohong…kalaupun kau menang, itu awal dari kehancuran”. Satu rumah lagi terpaksa direlakan, untuk kali ini ayah benar-benar hancur, selain harta ludes, hutang bertumpuk. Kami terpaksa tinggal dirumah kecil, berlantai tanah dan berdinding bilik bambu. Namun dengan kejadian ini ayah benar-benar kapok dan insyaf, demi melihat aku bermain boneka diatas lantai tanah, air mata ayah menetes, dan ia berjanji dalam hati akan mengembalikan semua kebahagian keluarga kecilnya yang telah dirampasnya.
            Aku tak ingat tepatnya tahun berapa, tapi yang dapat kurekam sedikit bahwa kelas dua SD aku dititipkan pada salah satu bibi ibuku, Uwak Ijah oleh kedua orang tuaku yang memutuskan hengkang dari kampung dan mengadu nasib ke pulau sebrang. Dan sejak itu aku menjadi petualang yang kesepian dan sendirian. Meski aku dititipkan, aku sangat jarang tidur dirumah Uwak, aku lebih sering tidur di langgar (musholla kecil) milik Abi, bersama teman-teman yang lain. Makanpun sesuka-suka hati, karena meski anak tunggal, tapi ibu memiliki beberapa paman dan bibi, aku bisa pindah-pindah makan dari satu tempat ketempat yang lain. Hanya satu tempat yang secara tak kasat mata dilarang dikunjungi oleh keluarga ibuku, sebenarnya tak dilarang, namun disarankan untuk tidak terlalu betah dan sering kesana, tempat itu adalah rumah kakek dan nenek dari ayahku. Tak usahlah kuceritakan lagi kawan, tapi yang pasti, lingkungan disana tak memberi konstribusi yang positif pada pertumbuhanku, maka sejak kecil hingga sekarangpun aku sangat-sangat jarang sekali berkunjung kesana.
            Sekarang mari kuceritakan masa-masa kecilku kawan, yang seingatku, se-nestapa apapun tetap yang terekam dalam ingatan adalah masa-masa yang indah, petualangan, dan kenakalan yang tak terlupakan. Meski memiliki banyak kawan sepermainan, namun aku tak pernah merasa punya kawan dekat, sahabat apalagi. Dalam keriuhan bermain itu terkadang aku lebih asyik tenggelam dalam duniaku sendiri.
Dalam hal kenakalan dan kebandelan yang terencana, sebenarnya aku punya satu partner tetap, satu sosok yang kemudian hari aku anggap sebagai teman dan kakak yang membekas dihati, unpredictable dan menimbulkan rasa iri. Aku memanggilnya Cak fadil, karena dia lebih tua beberapa tahun dariku, anak laki-laki terkecil Abi (Uwak sekaligus guru ngajiku). Bersama Cak fadil aku banyak melakukan hal-hal menakjubkan dan berbahaya, sehabis sekolah kami berdua sering pergi ke sungai yang terdekat dari kampung kami, bergabung dengan kawan-kawan yang lain, berenang, berlomba mengumpulkan Kejing (kerang tawar), terkadang membuat bendungan kecil untuk menangkap ikan-ikan kecil. Sungai itu arusnya sedikit deras, dan sebenarnya kami berdua dilarang pergi kesana, karena menurut cerita sudah ada beberapa anak yang terhanyut dan hilang. Tapi sifat penasaran dan pembangkang telah kumiliki dari kecil, aku dan Cak fadil tak pernah mengindahkan, terkadang malah kita bergantiang saling menjaga, jika yang satu sedang berenang, yang satu menjadi penjaga dan mata-mata, siapa tahu ada salah satu paman dan bibi yang lewat. Pernah satu kali kita berenang di Dam, bendungan kecil, tinggi bendungan itu kira-kira dua meter dari permukaan air, aku tak punya cukup nyali untuk meloncat dari atas, maka aku hanya menyaksikan Cak fadil bersalto dari atas bendungan itu, dua loncatan sukses dan mulus, namun pada loncatan ketiga dia apes, loncatannya terlalu bersemangat dan keburu-buru, walhasil badannya sedikit melenceng dari sasaran, terhempas dengan keras lalu tergulung ketepi, bibirnya sukses mencium dinding sungai yang dibeton. Gigi depannya tanggal, bibir sobek, dia meringis kesakitan, kutarik ia ketepian.
Jika bosan bermain di sungai, kami bermain dipersawahan, mencari belut dengan seutas senar, berlarian menyibak batang-batang padi untuk mencari telur burung, mengejar layang-layang putus sampai ke area kuburan, menerobos rumpun bambu untuk mencari batang-batang kecil untuk dijadikan mainan senapan kecil yang amunisinya bisa terbuat dari kertas yang dibasahi dan dilumat, atau bisa juga dari biji-biji tumbuhan, tak jarang saking asyiknya bermain, kami terkadang sampai lupa tempat dan waktu, bisa sampai jauh ke kampung sebelah, kalau sudah begitu aku dan cak fadil berembug untuk mengarang alasan yang tepat agar pulang dengan aman dan selamat, selamat dari omelan maksudnya.
            Ada satu peristiwa kecil tentang aku dan Cak fadil yang sampai saat ini kuingat dengan jelas setiap detilnya. Karena kejadian itu selalu mengingatkanku akan sebuah kelucuan yang menggelikan, kejahilan yang terencana, dan lebih tepatnya akan kebodohanku yang sangat terang benderang. Sebagai seorang adik, aku termasuk penurut, apapun yang Cak fadil minta aku akan mengiyakan, kemanapun ia pergi aku terkadang selalu mengekor, ini membuatnya menjadi pribadi penguasa yang otoriter, dan aku dengan sangat suka rela menjadi budak jajahannya. Mungkin itu semua dikarenakan aku waktu itu merasa tak punya saudara kandung, saudara sebayaku hanya dia dan aku menganggapnya sebagai kakak kandungku sendiri. Namun kawan, pengabdianku yang tulus itu, sering di manfaatkan olehnya, dan aku yang baik hati, tak sombong serta rajin menabung ini, tak pernah punya prasangka buruk sedikitpun padanya. Ibarat perumpamaan kawan, dia Dora, dan aku Boot sang monyetnya. Kejadiannya seperti ini:
            Suatu siang, ketika terik mentari tepat diatas ubun-ubun, udara panas dan menggerahkan mengintai diluar rumah, bahkan didalam rumah. Orang orang banyak yang memilih rehat sejenak dari kegiatannya, petani memilih berteduh di dangau, penjual tikar menepikan diri dibawah pepohonan, para perempuan berhenti menampi beras lalu  merebahkan diri dibalai bambu disamping rumah, dan sebagian lagi ada yang sudah terbuai mimpi sedari tadi. Cak fadil menarik tanganku, lalu mendudukkanku disebuah kursi kayu tinggi, aku kaget, tergagap, namun menurut saja.
“ngapain sih….? Aku bertanya sambil kebingungan.
Ssttt…ia hanya menempelkan jari telunjuknya dibibir, tanpa menjawabku ia bergegas lalu menghilang dibalik kamar berbilik bambu. Aku bengong, menunggu dengan cemas, dari gelagatnya saja aku sudah tau bahwa akan ada ketidakberesan menungguku. Ia kembali sambil menjinjing tas kulit hitam berukuran sedang, ia tersenyum dan mengerling padaku. Hei…bukankah tas itu milik Abi (ayah cak fadil), aku langsung melompat dari kursi, dengan mudah aku bisa menebak apa yang ada dikepalanya itu. Cak fadil menangkap pergelangan tanganku, aku meronta sambil menggeleng dengan keras.
“gak mau…gak mau…” aku meringis menahan sakit karena cengkramannya dipergelangan begitu kuat.
“Ssttt….jangan ribut, nanti semua pada bangun, diem…aku beritahu sesuatu” ia membujukku, lalu ia meraih kedua tanganku dan berkata.
“eh…aku tau rambutmu banyak telur kutunya kan? Kamu ketularan si saroh waktu tidur di langgar kan? Tahu tidak, kalau dibiarkan tuh telur akan menetas semua, lalu kepalamu akan penuh dengan kutu….”. aku berhenti meronta dan menatap matanya.
“kutu-kutu itu lalu akan bertelur lagi sampai memenuhi rambut dan kepalamu, menghisap darah di kepalamu sampai ke otak-otaknya, jika daging kepalamu sudah habis, mereka akan mulai turun kewajahmu dan memakan setiap daging yang ada…hi…..” dia bergidik dengan wajah yang sangat serius dan meyakinkan, demi mendengarnya akupun bergidik lebih keras kurasa, aku bisa membayangkan bagaimana jika semua yang dikatakannya benar, hi…aku gak mau kepala sampai wajahku habis dimakan kutu. Demi melihat provokasinya mulai berhasil, ia semakin semangat membujukku.
“kamu tau kan kita ini sudah seperti saudara kandung? Kamu adikku satu-satunya yang paling kusayang, aku hanya ingin menolongmu dari serangan kutu-kutu itu…” aku mengangguk, dan menurut saja ketika ia mendudukkanku kembali dikursi kayu bundar itu.
Ia mulai beraksi, pertama-tama yang dilakukannya adalah menutupi tubuhku dengan selembar kain putih, menyisir rambutku yang sebahu, lalu mengeluarkan beberapa alat cukur dari tas kulit hitam milik Abi. Kress…potongan pertama, ia tergelak aku meringis. Kress…kress…potongan kedua, ia makin mantap dan aku waswas. Kres..kres..kres potongan selanjutnya kian menjadi, dan sungguh aku dilanda kerisauan yang besar, namun membayangkan kulit kepalaku akan habis dimakan kutu, aku menguatkan dan menabahkan hatiku. Benakku berkata, ah mungkin Cak fadil sudah mahir dalam hal potong memotong rambut, bukankah Abi tukang cukur, sedikit tidaknya ia akan menurunkan keahliannya itu pada anaknya sendiri. Aku merasakan kepalaku semakin ringan, dan dapat kurasakan angin meniup kudukku. Sesekali Cak fadil menggerakkan kepalaku sesuka hatinya, miring kiri, miring kanan, nunduk, tengadah, rautnya serius dan meyakinkan bak tukang cukur professional. Aku penasaran, dan ingin meraba rambutku, namun baru terangkat sedikit, ia menjentik tanganku dengan keras, aku meringis menahan sakit. Rupanya Tuhan tak tega membiarkan vandalisme yang sedang berlangsung itu, ditengah penganiayaan yang tidak berperikerambutan dan tak berperikesenian itu, terdengar suara menjerit dari balik kamar.
“Ya Allaaahhh….opo-opoan ki, dikapakne kui rambut, dasar cah nakaalll “
Cak fadil terperanjat, sisir dan alat cukur ditangannya seketika terpelanting, akupun tak kalah kagetnya dan langsung meloncat turun dari kursi kayu. Sang pemilik jeritan tadi, sambil sedikit menarik kain sarungnya, langsung meraih gagang sapu terdekat. Kami berdua menghambur berlarian menuju pekarangan belakang, menikung dengan cepat diujung jalan setapak kecil, lalu menghilang dibalik rumpun-rumpun bambu, samar masih terdengar suara makian dibelakang. Nafas kami berdua memburu, ngos-ngosan, duduk terjerembab dibawah pagar bambu pembatas yang memisahkan kebun pekarangan dengan rumpun bambu. Cak fadil menoleh padaku lalu terbahak sambil memegang perutnya, aku mendengus geram dan sebal, aku tau dia tertawa melihat rambutku yang notabene adalah hasil karyanya yang tak tuntas. Bergegas ku menyusuri setapak kecil yang mengarah ke sungai, tak kuhiraukan ia memanggil namaku dan lalu mengikutiku. Aku terperanjat tak kepalang saat ku lihat pantulan wajahku dari riak sungai, rupaku kawan, sangat mirip bocah laki-laki berandalan yang digiring polisi, rambut dipotong sekenanya, pitak disana-sini. Aku terduduk dan menangis. Kutepiskan dengan marah saat kurasakan tangan Cak fadil merengkuh bahuku, ia terdiam dan terduduk tak bicara disampingku.
            Hingga adzan Ashar berkumandang aku duduk ditepi sungai, terisak, mataku sembab karena hampir dua jam menangis. Meski tak kuhiraukan Cak fadil tak meninggalkanku sendirian, selama kudiamkan tadi, dengan ekor mataku kulirik ada saja yang dikerjakannya, berjumpalitan di rerumputan, berjingkat-jingkat menangkap capung, membuat sampan kecil dari daun bambu yang sudah kering dan berjatuhan, lalu berkecipuk menghanyutkanya di sungai. Sesekali dia memergokiku sedang memperhatikannya, dia tersenyum dan aku masih mendengus kesal. Akhirnya aku beranjak, aku harus pulang, tak mungkin aku disini sampai maghrib datang, ia mengekor dibelakangku dengan bersiul-siul. Sampai di rumah, aku bertemu Abi yang sedang menimba air disumur, aku tertunduk, tepatnya kami berdua tertunduk takut.
Abi menarik nafas panjang…”Ya Allaaahhh….mreneo !!”, Abi menggamitku lalu mendudukkanku di bangku kayu kecil yang ada disamping sumur, bergegas masuk mengambil peralatan cukurnya, lalu dengan cekatan merapikan buah karya anaknya yang sok tau itu. Abi berusaha menyelamatkan apa yang masih bisa diselamatkan, dan hasilnya memang rapi, namun itu kian mempertegas rupaku yang menjadi sangat mirip potongan anak laki-laki. Cak fadil menggigil hanya mengenakan cawat,  jongkok di bebatuan kecil yang berada disekitar sumur, beberapa kali ia diguyur air sama Umi (ibunya), sesekali jeweran mendarat ditelinganya disertai omelan panjang. Rasain lu….aku bergumam dalam hati.