INI SERABI AROMA PANDAN, KAWAN

IMPERIUM OF ME



Senin, 25 Juli 2011

KETIKA CINTA BICARA (NDANG NGOMONGO....)

“Dasar lonte…” suaranya menggelegar, matanya semerah saga, urat-urat lehernya menegang dan giginya gemerutuk. Aku mengerut terhimpit diantara dinding dan gempal tubuhnya. Tangan kirinya mencengkram dan menekan bahu kiriku ke dinding, sedang tangan kanannya terangkat mengancang hendak melayangkan tamparan. Jauh dilubuk hati aku gentar, namun harga diri memaksaku untuk tetap menantang matanya dan menegakkan badan. “ ayo pukul aku…” meski ku kuat-kuatkan tetap saja ada nada gentar tersembunyi dari suaraku, mataku lekat menatap matanya tak mau kalah, meski tetap tak bisa kututupi ada selaput kaca tipis didalam. “Dari dulu aku memang lonte, sama bajingannya seperti mas, apa mas pikir aku bahagia hidup dengan laki-laki yang suka mencelupkan penisnya dimana-mana” semburan histeris lantang keluar dari mulutku, dan air mata sudah tak mampu lagi aku bendung. Aku terpekik dan terpejam saat tangannya mulai melayang, menunggu rasa sakit yang mungkin akan mendarat di wajah, namun kemudian yang terdengar hanya suara dinding yang menggeretak disampingku karna hantaman, disertai suara teriakannya yang tertahan. Kudapat rasakan tubuhnya bergetar kuat, nafasnya memburu mengandung rasa frustasi yang hebat. Sedang aku tersuruk diantara ketakutan dan kepedihan yang sangat, kakiku tak mampu menahan berat badanku, maka saat dia melepaskan cengkramannya, aku luruh dalam keterguncangan, terisak hebat menahan hati yang sesak. Terdengar suara pintu dibanting dengan keras seiring dengan langkahnya yang jua hilang disergap malam. Aku meringkuk disudut ruangan, bahuku terguncang guncang karena tangisan, gemetar masih terasa. Lalu yang tertinggal hanya hampa, sepi, yang tersisa hanya lirih detik jingkat jarum jam dan suara samar musik dangdut yang berasal dari kamar sebelah. Untuk beberapa saat aku bertahan dalam posisiku, meringkuk memeluk lutut, menumpahkan segala kesal, gundah, benci, risau, takut dan nestapa, semua bercampur aduk, menyatu dan berkoloni dengan rinainya air mata. Meski pertengkaran ini bukan yang pertama kali, namun tetap saja aku tak pernah bisa menahan setiap guncangan, mungkin karna aku sudah terlalu lelah pada sikapnya yang sampai saat ini tak pernah berani menentukan pilihan, sedang rasa cintaku pada laki-laki itu mulai menuntut kejelasan. Akhirnya, ketika linangan mulai mengering, gemetar menguap, aku bangkit dan tersuruk-suruk menuju kamar, jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Aku lelah, penat, sekujur tubuh terasa linu, setelah dipermainkan oleh jeram-jeram katarsis, kuhempaskan tubuhku diatas kasur, dan dengan cepat terjatuh dalam tidur.
Aku terjaga ketika samar terdengar suara derit pintu terbuka, bilah-bilah cahaya yang menembus fentilasi kamar menyilaukan mataku. Belum genap ku mengumpulkan kesadaran, tiba-tiba saja sesosok tubuh jatuh bedebam disampingku. Matanya terpejam, suara igauan tak tak karuan terdengar sayup dari mulutnya yang bercampur dengan aroma alkohol, masam bau tubuhnya terbawa angin dan tertangkap cuping hidungku. Aku menghela nafas, sudah terbiasa dengan adatnya, setiap usai bertengkar denganku, dia akan menghilang dan baru pagi hari akan pulang, membawa remah sisa aroma minuman keras dimulutnya dan ceracau yang ditemani tubuh yang sempoyongan. Aku masih enggan beringsut dari tempatku berbaring. Kupandangi sosok lelaki didepanku yang kini sudah lelap terjatuh dalam dengkuran, kutelusuri setiap lekuknya, mulai dari wajah sampai pangkal pahanya. Lihatlah rahang pipi itu, biasanya mengeras tajam saat berbicara, tegas dan kasar, namun ada kelembutan yang tersembunyi, aku tahu. Lihatlah kedua bibir itu, sedikit menghitam terkorosi oleh rayuan tembakau, namun saat melumatnya aku merasa dihargai sebagai seorang wanita. Lihatlah urat leher dan dada bidangnya, dalam tiap geraknya terlukis keteguhan dan beban berat yang harus dipikul. Lalu mataku menelusuri pangkal pahanya, dibalik celana panjang itu terbungkus urat-urat kokoh yang harus ditegakkan untuk menantang amarah dunia, dan disela pangkal itu ada kejantanan yang dalam setiap hujamannya, aku tak pernah merasa terancam dan dilecehkan.
Aku menerawang, menatap langit-langit kamar yang warnanya kian kusam. Seketika ingatanku tercerabut , menembus lorong waktu untuk kembali pada dua tahun silam. Aku masih ingat ketatnya rok mini, baju tanpa lengan, serta aroma parfum murahan yang kukenakan saat pertama kali berjumpa dengannya. Aku sedang berdiri dipinggir jalan, menjajakan diri dibawah lampu jalan yang bohlamnya sudah mati dan tiangnya karatan, maka cahaya yang didapat hanya bias lampu 5 watt dari warung remang-remang sebelah, dan dari siraman cahaya bulan. Sengaja kupilih tempat yang agak gelap, agar tak terlalu menarik perhatian para pengguna jalan yang tak memerlukan jasaku, atau petugas trantib yang bisa tiba-tiba saja muncul. Para lelaki hidung belang yang menjadi pelanggan sudah tahu area ini, jadi untuk pemasaran, aku tidak khawatir. Maka ketika purnama berubah sabit, dan malam beranjak menua, saat itulah nasib mulai membuka alinea baru dalam hidupku. Laki-laki itu menghampiriku, menyapa, menawar, membuat kesepakatan dan transaksi terjadi. Mulanya semua biasa, aku memperlakukannya seperti pelanggan biasa lainnya. Namun saat bersenggama dengannya, aku mulai merasa ada yang tak biasa. Dia tidak memperlakukanku sebagai seorang pelacur, tapi selayaknya seorang wanita. Dia menjamahku dengan kelembutan dan rasa hormat. Tidak seperti lelaki lainnya yang hanya menjadikanku sekedar ladang untuk melampiaskan benihnya. Meski usapan tangannya terasa kasar menandakan khas tangan pekerja, tapi malam itu aku kembali merasakan indahnya bersenggama setelah bertahun lamanya tak pernah kunikmati sejak perceraianku dengan suamiku. Sejak saat itu dia menjadi pelanggan tetapku, seusai berjibaku dengan truk dan sgala muatannya, dia melepaskan penat bersamaku. Bahkan terkadang aku menyambanginya dipangkalan, ketika rindu tak tahan lagi untuk bertemu.
Dan, permainan hatipun dimulai, meski aku tahu dia sudah beristri, tapi cinta membuatku buta dan tuli. Aku menggenggamnya erat, dia mencengkramku kuat, maka aku merelakan hidupku diinvasi oleh cinta yang penuh ketidak pastian. Dia memintaku berhenti melacurkan diri, bersedia menafkahi dan menyewakan aku sebuah los kontrakan sempit sebagai tempat berteduh. Maka dimulailah segala pergumulan hidupku bersamanya, manis, asam, getir, pahit. Tawa, tangis dan pertengkaran tak pungkiri kerap terjadi, dan sekasar apapun dia padaku, tak pernah seujung rambutpun aku disakitinya, itu yang membuatku makin meneguhkan hatiku.
Hidup tak selamanya indah dan mulus, terkadang aku jenuh, lelah menjadi simpanan, aku mulai menginginkan kejelasan, aku ingin dia menikahiku secara sah, secara legal. Aku tak mau hidup selamanya dengan lelaki yang pada dirinya tak pernah ku temukan hakku. Tapi setiap aku membicarakannya, dia menghindar, aku tau dia menolaknya secara halus tanpa memberiku satu alasanpun yang mungkin bisa kuperdebatkan. Apa salahnya lelaki beristri dua? Bukankah di negeri ini poligami diakui? Bahkan para lelaki bisa memiliki istri empat sekaligus (yang tercatat, mungkin ada juga yang sengaja tak dicatat), bahkan ada yang dapat award lagi. Bukankah jika dia menikahiku maka posisiku adalah istri keduanya. Maka jika aku mulai nyinyir menyulut soal itu, percikan-percikan pertengkaranpun tak dapat dihindarkan, berkonfrontasi, saling teriak, memaki, menegangkan urat syaraf, dan kata-kata kasar, kotor dan berbau sampah saling menyembur dari mulut masing-masing. Namun separah apapun itu, dia tak pernah meringankan tangannya padaku. Sampai kemudian aku lelah dan malas mengungkitnya kembali, merayu perasaanku untuk mau berkompromi dan menerima semuanya sebagai suatu suratan.
Belum lagi masalah ekonomi, aku bisa menerima dan mengerti jika uang yang diberikannya tidak banyak membantu menyiasati kebutuhanku. Karena pada pundaknya ada tiga orang anak serta satu istri yang harus dia hidupi. Upah sebagai supir truk barang ku yakin sangat jauh dari kata cukup untuk menafkahi empat orang anggota keluarga dan satu wanita simpanan. Maka tanpa sepengetahuannya, ketika dia pergi bertugas mengantar barang keluar kota, saat itulah diam-diam aku pergi menjajakan diri kembali, jalan pintas untuk mendapatkan uang, karna hanya itulah keahlian yang kumiliki. Namun selihai apapun aku meloncat akhirnya terpeleset jua, dia memergokiku. Itulah penyebab pertengkaranku semalam, dia merasa harga dirinya sebagai seorang laki-laki kucabik dan kuinjak-injak. Dan aku mendekap argumentasiku sendiri bahwa apa yang kulakukan karna dia tidak memberiku nafkah yang layak.
Ah sudahlah….aku meregangkan otot-otot sebentar, lalu bangkit dari tempat tidurku. Aku harus memasak dan menjerang air untuknya, ah…betapa aku menyayangi laki-laki ini, sebelum berlalu kusempatkan untuk mencium keningnya.

-------------------- ******* -----------------------

Aku menguap dan menggeliat, terasa pegal seluruh tubuh, tanpa semangat kukerjap-kerjapkan mata mencoba menepiskan rasa pening dikepala karna pengaruh alkohol semalam. Dengan rasa malas yang memuncak kubalikkan badan, tetap tak ingin bangkit dari peraduan. Termenung kutatap jendela kamar yang tertutup kelambu separo, kelabu bercorak bunga yang warnanya sudah buluk dan dibeberapa bagiannya lapuk termakan jamur dan ngengat. Sinar matahari menyeruak menciptakan hawa hangat dalam ruangan, hawa ruangan akan menjadi panas seiring meningginya matahari, petak yang sempit dan atap dari asbes memungkinkan itu semua. Kuraba buku-buku jemariku yang dibeberapa bagiannya mengeras karna kapalan. Kurasa kapalan itu kudapat dari kerapnya tanganku menggenggam kemudi truk dalam waktu yang lumayan lama, bertahun-tahun pula, maka gesekannya akan mengeraskan sebagian kulit tanganku. Kuteguk ludah, terasa pahit saat melewati tenggorokan, kulongokkan kepalaku ke arah meja kecil dimana biasanya Sri meletakkan secangkir kopi untukku. Ah rupanya dia sudah menyeduhkannya untukku, seperti biasanya. Ku sruput kopi itu, rasa legit bercampur pahit mulai mengaliri tenggorokanku dan rasa hangat terasa mengembang dalam dada. Kurogoh saku baju, aha…ada sebatang, mengerut lecak, tak apalah…kusulut lalu kuhisap dalam-dalam, asap bergelung dari mulut dan hidungku.
Sri sedang memasak, dapat kurasakan aroma tempe goreng dari arah dapur, sesekali kudengar dia terbatuk-batuk. Meski semalam kita bertengkar hebat, dan aku meneriakinya dengan kata-kata kotor, tapi dia masih saja menyeduhkan kopi dan memasak untukku. Kupijat-pijat dahiku dengan ujung jempol dan telunjukku. Ah, semua ini begitu memeningkan kepala. Aku tak habis pikir, mengapa dia melakukannya lagi, apa dia tidak bisa mencari pekerjaan lain selain melacurkan diri…sungguh aku tidak terima, tidak rela tubuhnya dijamah lelaki lain, dia milikku dan hanya aku yang berhak menggagahinya. Brengsek….aku mengumpat lirih dalam hatiku. Kuhisap kembali rokokku dalam dan rapat-rapat. Tapi sisi jiwaku yang lain berkata, ini semua salahku yang tak becus menafkahinya, kuakui tak banyak uang yang bisa kusisihkan untuknya, dia selalu kunomerduakan setelah keluargaku dalam masalah keuangan. Jadi harusnya aku bisa menerima jika dia mulai mencari jalan untuk menghasilkan pendapatan. Yang tak bisa kupahami adalah jalan yang dia pilih, haruskah dengan melacur? Bisakah dia tidak mengumbar kemaluannya dan hanya menyuguhkannya untukku?…….lalu ada suara lain tiba-tiba menggema dalam dada “ayolah Bambang, kesetiaan macam apa yang kau harapkan dari seorang mantan pelacur, dan apakah kau tidak berkaca pada dirimu sendiri, apakah kau lelaki setia? Lelaki setia tidak akan memelihara simpanan, lelaki setia tidak akan diam-diam menancapkan penisnya dilokalisasi murahan, meski dengan alasan stress bertengkar dengan simpanan. Ayolah Bambang…kaupun seorang bajingan, maka jangan mengharap lebih”.
Suara lain itu memantul-mantul dalam benakku, menciptakan echo yang menjungkir balikkan harga diriku. Suara itu dengan terang benderang membeberkan kebusukanku sendiri. Dan lagi, apa hakku atas dirinya, bukankah aku tak bisa (belum berani tepatnya) memberi kepastian akan status keberadaannya dalam hidupku, sehingga membuat hidupnya merasa kugantung dan ku ombang ambingkan. Bukannya ku tak mau menjadikannya istri kedua, tapi sungguh aku tak ingin membuat hidupnya lebih menderita, aku takut akan banyak lagi ketidakadilan yang dia terima jika dia kuseret dalam lingkaran hidupku. Sri masih muda, dia berhak mendapat sesuatu yang lebih baik dari ini, menemukan seseorang yang lebih tepat dan layak untuk tempatnya bergantung. Haruskah aku melepaskannya?......kuhisap rokokku hingga kepangkal dan memuntung, lalu kujentikkan begitu saja, diam, tak punya jawaban.
Dia sedang asyik memetik sayuran, saat kurengkuh ramping pinggangnya dari belakang.
“ Sri…” bisikku sambil menggosok-gosokkan cuping hidungku ketelinganya. Dia mengerut karna geli, “mas sudah bangun toh…” ujarnya tanpa menoleh.
“Aku minta maaf soal semalam “ dia tak menjawab, tanganya menyibukkan diri dengan sayuran, namun samar kulihat sebuah anggukan kecil
“Sri…aku tahu, aku belum mampu membahagiakanmu, belum berani mengambil keputusan apapun tentang langkahku bersamamu, begitu banyak penderitaan yang kau sembunyikan selama disampingku. Tapi sungguh Sri, aku mencintaimu lebih dari yang kamu tahu. Dan aku tak mau egois lagi, jika kamu ingin pergi dariku Sri, ingin mencari lelaki yang jauh lebih baik dari aku…silahkan, aku mengikhlaskanmu” suaraku berat dan serak, karna emosi membelesak dalam hatiku, kurangkul pinggangnya erat dan kusurukkan kepalaku dilehernya. Aku siap mendengar sepahit apapun kata yang meluncur dari bibirnya.
Hening…hening….tangannya terdiam, nafasnya memberat, dan aku menyusut dalam kecemasan yang menggunung. Lalu dia berbalik, menghadapku, menantang mataku dengan tajam.
“Bercintalah denganku…sekarang…” suaranya mantap, memalu-malu hatiku hingga nyeri. Aku gemetar….tak dapat berbicara, sejenak kuragu, namun dengan ketegasan nyata dia merangkulkan tangannya dileherku, lalu kubopong tubuhnya menuju peraduan dengan beragam rasa yang tak mampu kujelaskan.

3 komentar:

  1. jujur aku kurang puas dengan tulisan ini....ada ygb janggal, entah dimana

    BalasHapus
  2. wis keren, cuma menurutku dua versi cerita diatas sebenernya sdh berkaitan dan menyatu tapi msh kurang piye gitu...ibarat baut sama nut saling mengigit/saling mengunci ngunu ta....(iki ora nyacat lho)

    BalasHapus
  3. maksute ak terlalu bertele-tele, pdhal intine podo, ngunu tah?.....maksute ak terlalu bertele-tele, pdhal intine podo, ngunu tah?.....

    BalasHapus