INI SERABI AROMA PANDAN, KAWAN

IMPERIUM OF ME



Sabtu, 15 Oktober 2011

CERBER: STDTK (PART V)

FIRST KISS, FIRST LOVE

Kisah kali ini akan khusus membahas soal asmara atau cinta, all about love, aku dan sedikit kesintinganku, cekidot....
Ini ciuman pertama yang kudapat dari seorang laki-laki diluar anggota keluargaku, ayah, kakek atau paman. Ciuman pra akil balik, dari seorang laki-laki yang tak pernah sedetikpun terpikir olehku. Jangan kalian sangka ciuman itu ciuman yang panas, menggelora, basah maupun mendesah-desah. Buang pikiran seperti itu kawan, karena ciuman ini jauh dari sesuatu yang bernama birahi atau sejenisnya. Namun ciuman hasil kenakalan dan kejahilan dari seorang bocah laki-laki yang ingin menunjukkan eksistensinya.
Aku lupa tepatnya, kelas 3 atau 4 SD (jika itu berhubungan dengan ingatan, apalagi perkara angka, aku adalah pengingat yang buruk). Selepas istirahat pertama, aku menekuri pelajaran menggambarku dibangkuku, aku duduk di deretan tengah dibangku ketiga. Aku juga lupa sedang menggambar apa, yang masih terekam dengan jelas adalah ketika kusadari tiba-tiba disampingku berdiri sesosok tubuh menghalangi cahaya yang masuk lewat jendela, dan aku merasa tergaanggu, aku mendongak....dia nyengir, “opo???” tanyaku dengan nada tak senang, tanpa menjawab pertanyaanku dia mengambil penghapus dari mejaku, kubiarkan saja, karena ku tahu dia mungkin hanya meminjamnya sebentar. Bocah laki-laki itu berlalu dan aku meneruskan pekerjaan menggambarku. Tak ada guru yang mengawasi kala itu, guru menggambar kami sedang mengajar dikelas sebelah, maklum sekolah kampung kawan, satu guru bisa merangkap mengajar dua atau tiga kelas sekaligus. Tak beberapa lama, kembali sebuah bayangan tergambar dimejaku terbias cahaya, aku kembali mendongak....ah, bocah yang sama dengan cengiran yang sama pula, dia meletakkan kembali penghapusku yang ia pinjam tadi, aku tak mengacuhkannya karena terlalu sibuk dengan gambarku. Namun, setelah dia meletakkan penghapus itu, ia tak jua pergi, bocah lelaki itu masih berdiri disampingku, sekali lagi aku mendengus kesal merasa terganggu.
“minggir, ra ketok...(minggir, ga kelihatan)”, aku menatapnya tajam, dan dia makin nyengir tak beringsut, aku kian kesal, kudorong tubuhnya dia kembali, kudorong kembali dia kian keukeuh merapat. Aku jengah dan merasa sangat terganggu, dengan rasa marah aku berdiri, berkacak pinggang dan memelototinya. Sejarah ciuman pertamaku diawali kawan, dengan refleks, jitu, cepat dan tepat, bocah laki-laki itu menciumku. Secepat kilat, secepat angin, serangan mendadak itu tak bisa kuantisipasi karena sungguh tak kukira sebelumnya, aku tergagap, terkejut lalu berteriak. Dan sejurus kemudian aku menangis namun tersipu malu, karena seisi kelas menyoraki dan menggodaku. Bocah laki-laki itu tertawa penuh kemenangan, kemudian secara kalap dan membabi buta mengejar dan menciumi anak-anak perempuan dikelasku satu persatu. Kehebohan dan kegaduhanpun tak dapat dihindari, anak perempuan yang kena cium menangis sambil memegangi pipinya, namun ada rona merah yang tersemburat sesudahnya, yang belum kena cium berlarian menghindari kejaran sambil menjerit histeris seperti dikejar anjing gila. Anak lelaki lainnya bersorak memberi semangat, bahkan membantu menangkap korban yang kalah cepat untuk kemudian disosor, dan dicium sesuka hatinya, Sadis dan brutal. Para guru di kelas sebelah berlarian demi mendengar kegaduhan dikelas kami, namun setelah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. Dan bocah lelaki pembuat onar itu hanya dijatuhi hukuman menyanyikan tiga buah lagu nasional didepan kelas. Hukuman yang bagiku sungguh tidak adil. Bagaimana tidak, karena kemudian, setelah peristiwa yang menjatuhkan harkat dan martabatku sebagai seorang bocah perempuan ting ting....he....sampai aku duduk ditingkat akhir, namanya disematkan didadaku oleh teman-teman bahkan oleh seluruh penjuru sekolah sebagai pacarku. Akibat dari penyematan gelar yang sepihak itu, sampai tingkat akhir, sampai menjelang kelulusan, tak ada satupun anak laki-laki yang mendekatiku. Padahal kawan, bukan hanya aku saja yang mendapatkan ciuman itu, hampir separuh isi kelas yang berjenis kelamin perempuan juga mendapatkannya. Ibarat konser tunggal kawan, aku adalah artis pembukanya saja. Jadi hukuman itu sungguh tak berperikewajaran. Dan terlebih lagi, aku tak menyukai bocah laki-laki itu, mengapa? Mari kuberitahu.....
Nama bocah laki-laki itu Nana, aku lupa nama panjangnya. Dilihat dari postur, wajah dan penampilan, memang dia terlihat menonjol diantara pria-pria kecil lain dikelasku, bahkan bisa dibilang seluruh warga dikelasku. Mari kugambarkan dengan gamblang mayoritas sosok yang mendiami ruang kelasku dulu, termasuk aku tentunya kawan…hi…penampilan kami kumal, dekil, wajah standard orang pribumi, rambut gimbal, kaku seperti ijuk dan bahkan tak jarang ada hiasan kutu beserta telur-telurnya. Warna kulit coklat mendekati kehitaman, entah apa memang warna kulit asli atau lapisan daki dikarenakan jarang mandi, aku curiga pada opsi yang terakhir kawan….he…kulit-kulit itupun banyak yang tak rata, bertaburan aneka hiasan dari penyakit kulit yang umum menggejala pada orang yang jarang mandi, tak usahlah kusebutkan, itu aib kawan, tak baik jika diungkapkan… he…, ditambah lagi penampilan yang amburadul dan bahkan tak lengkap. Maksudku amburadul dan tak lengkap itu kawan, kebanyakan baju seragam yang kami kenakan kumal, warna baju tak jelas, antara putih mendekati kecoklatan, belum lagi hiasan tambalan atau bekas jahitan disana sini, emblem yang tinggal separuh atau bahkan tak ada. Untuk bawahan pun tak jauh beda dan tak kalah mengenaskannya, rombeng, pinggiran yang lepas jahitannya, sabuk kadang ada, kadang diikat begitu saja dengan tali rafia. Sepatu sesukanya, yang punya ya pakai, yang ga punya sandalpun jadilah.
Sebaliknya Nana ibarat butiran emas yang tertimbun dalam tumpukan pasir kawan, kulit tubuhnya kuning langsat, mulus, tak ada secuil pun koreng, kurap, panu, kadas, borok maupun penyakit kulit lainnya yang banyak menjangkiti penghuni kelasku ( yang ini terpaksa ku klarifikasi untuk menghindari protes para penyakit kulit lain yang tidak ingin disamaratakan dan tak ikut berperan serta…ups…). Wajahnya tirus, hidung sedikit mancung, bibir kecil merah jambu, rambut sedikit klimis. Penampilan bersih, rapi  dan wangi. Tak ada seorangpun dari kami yang iri maupun cemburu atas ke “ke-menonjolan” sosoknya kawan, maklumlah ayah Nana seorang pegawai negeri sipil di salah satu kantor pemerintahan di kota, sedang ayah-ayah kami kebanyakan hanyalah seorang petani lahan garapan, kusir delman, pencari kodok atau ular, penjual krupuk keliling, penjual tikar pandan dan aneka pekerjaan tidak keren lainnya, yang jangankan untuk membeli sabun, membeli lauk sekeratpun kembang kempis. Tapi jangan salah kawan, meski tak keren, kami tetap bangga dan cinta pada ayah kami masing-masing (ya iyalah…masak sama ayah orang).
Meski Nana memiliki kriteria dan masuk kedalam kategori bocah laki-laki yang manis, cute dan menggemaskan, tapi…sungguh aku tak menyukainya, tak menyukai bukan berarti aku membencinya, hanya saja….ada sesuatu darinya yang tak kusukai. Padahal teman perempuanku yang lain sering bertingkah aneh-aneh hanya untuk menarik perhatiannya. Terkadang kutangkap ada seringai culas dari sorot mata bocah laki-laki itu, dan mungkin ini hanya terdeteksi oleh indera ke 6 ku saja…hi…..pokoknya tak ada SESUATU gituhh…..
Ternyata dalam hal selera , aku ini sudah payah dari dulu kawan, bahkan mungkin pembawaan dari lahir. Mari kusingkap tabir rahasia ini. Jika teman teman sebayaku waktu itu demam film kartun kura-kura ninja, aku masih saja menonton Si Unyil kucing. Jika teman-temanku histeris dengan serial Little Missy yang tayang tiap hari minggu di TVRI, aku masih saja terkesima oleh kedahsyatan film G 30 S PKI. Soal pilihan lagupun aku tak kalah payahnya, aku masih ingat waktu itu anak-anak perempuan baik di lingkungan rumah maupun sekolah tak henti-henti menyenandungkan lagu “mimpi” nya Aggun C Sasmi, lagu itu memang sangat Booming, istilahnya jaman sekarang, bahkan pada setiap buku tulis teman-temanku selalu terselip lirik lagunya. Namun aku kawan….jadi malu nih ngebahasnya, soalnya hanya akan menjatuhkan nilaiku sendiri….tapi demi tegaknya sebuah sejarah, dan terciptanya kejujuran yang adil dan beradab…hehehe, baiklah akan kubuka kemaluanku sendiri…ups….
Jadi begini kawan, disaat Anggun C Sasmi mampu membius  setiap gendang telinga teman-temanku, aku malah asyik sendiri meringkuk disudut kelas menyanyikan lagu “Gelas-gelas kaca” nya Nia Daniati, ataupun “Hati Terluka” nya Betharia Sonata, sedih, mengharu biru dan berkaca-kaca. Menyendiri demi sebuah penghayatan dan menghindari resiko ketahuan, takut diolok-olok dan dicemooh seluruh warga kelas.
                Maka tak perlulah kalian heran dan terkesima jika dalam hal selera pemilihan lawan jenispun, aku tak kalah kampungan dan mengenaskan, kata orang sono seleraku “out of date”, kadaluwarsa rek…hi…mengapa tidak, sudah jelas-jelas ditaksir cowok paling cute dikelas, aku malah terkagum-kagum dan mengidolakan bocah laki-laki lain yang duduk dideretan terdepan di kelas, jarak duduknya hanya sepelemparan penghapus dari tempat dudukku. Bocah itu dilihat dari sudut manapun, diteliti dengan menggunakan aneka ragam kaca pembesar model apapun, tetap saja jauh dan tidak bisa digolongkan kedalam golongan pria idaman wanita. Tak ada satupun bocah wanita dikelasku yang memperhatikannya, melirikpun tidak. Hanya pada saat ujian tengah atau akhir semester dia menjadi pusat perhatian, diluar itu...jangankan manusia, lalatpun enggan hinggap (kalo yang lain sering dirubung lalat....he...). hanya aku seorang, yang selalu mengaguminya siang maupun malam, dalam keadaan susah maupun senang, dalam keadaan penampilan yang buruk maupun sangat buruk...lebayyy...Mari kudeskripsikan sosok bocah lelaki pujaan hatiku kawan, simaklah.
Tinggi badannya rata-rata bagi anak usia 9 atau 10 tahun seumurannya, rambutnya hitam legam dengan model poni kedepan, model potongan rambut ini dikemudian hari dikenal dengan nama model “batok kelapa”. Warna kulitnya coklat tua, sangat tua, hidungnya setengah setengah, maksudnya tak mancung namun tak bisa dikatan pesek pula, bentuk wajahnya bulat, dan dari segi penampilan sangat tidak bisa dikatakan keren, apalagi cute, jauuhhh deh….namanya pun kawan, tidak “ngota” standar nama kampung “Imam wahyudi”, namun kawan, dari semua ketidak-keren-nan dan ketidak”kotaan” itu, ada sesuatu darinya yang mampu memikat hatiku, membuatku “Kuch kuch hota hai”. Hasil dari investigasi sulur-sulur indera keenamku, dia memiliki daya tarik yang tak dimiliki bocah laki-laki lain dikelasku, yaitu dia memiliki otak se-encer air, IQ se-cermelang bintang, peringkat dikelas? Tak usahlah kujelaskan, kalian bisa tebak sendiri, semua mata pelajaran dengan sangat mudah ia libas, tak perlu lirik sana sini, sekali dijelaskan oleh guru langsung mengangguk mantap. Sangat berbeda dengan kami, aku apalagi yang selalu tergagap dan terbirit-birit pada semua mata pelajaran, terutama mata pelajaran yang berhubungan dengan rumus maupun angka, jangan ditanya kawan, baru melihat sampul bukunya saja aku sudah mual-mual.
Namun kawan, cintaku bertepuk sebelah tangan. Imam pujaan hatiku tak pernah menghiraukanku, tak sedetikpun dia peduli pada perasaanku, mungkin tidak peka tepatnya. Beberapa cara kucoba menarik perhatiannya, namun dia tak tanggap-tanggap jua. Aku pura-pura pinjam pensil, dia malah berkata “Nana tuh punya banyak, pinjem aja ke dia”. Aku pura-pura pinjam penghapus, dia malah memberiku gelang karet “ini aja, penghapusku masih baru, sayang” katanya. Aku membelikannya es serut, dia hanya memandangku, kulihat ada cairan warna hijau maju mundur dari kedua lubang hidungnya, aku paham. Aku menyanyikan lagu Obbie messakh untuknya, dia malah menarik kuncir rambutku “syarap” ujarnya. Aku patah hati kawan, dan aku mulai berhenti bersikap aneh. Ternyata petuah dari nenek moyang dulu bahwa “cinta dan gila tipis bedanya” ada benarnya juga, buktinya setelah aku menyadari cintaku tak berbalas, dan memutuskan mundur, aku kembali menjadi makhluk yang normal.
                Sekarang, akan kubahas kisah asmaraku selanjutnya. Aku duduk di kelas enam sekolah dasar waktu itu, menjelang Agustusan, lomba antar sekolah digelar. Dan aku hanya jadi penonton saja, dari begitu banyak lomba yang diadakan, tak ada satupun yang masuk kualifikasiku, tepatnya aku yang tidak memiliki kompeten untuk megikuti lomba-lomba itu...hi.....
Aku duduk bersandar dibawah salah satu pohon perindang di halaman sekolah, menghindari terik, karena panas begitu menyengat. Semua orang memenuhi lapangan, bersorak sorai menyaksikan pertandingan voli, pertandingan antara tim sekolahku dan tim sekolah kampung sebelah. Aku terkejut saat sebuah batu kerikil kecil mengenai tubuhku, aku tolah toleh mencari asal si pelempar jahil itu, tak kutemukan tersangka. Lemparan kedua mengenai bahuku, aku kesal. Malas meladeni, aku putuskan masuk kelas saja, duduk dibangkuku dan merebahkan kepala diatas meja kayu, udara berhembus melalui kisi-kisi jendela, sejuk dan nyaman, aku terkantuk-kantuk dalam kesendirian, karena memang saat itu kelas kosong, semua terpusat dan berkumpul dilapangan. Ketika aku hampir tertidur, telingaku lamat-lamat menangkap suara keributan kecil diluar kelas, kasak kusuk yang tak jelas. Aku beringsut mendekati jendela, lalu mengintip keluar. Kulihat ada dua bocah laki-laki saling dorong didepan pintu kelasku, aku tak mengenalnya, jangan- jangan hendak berbuat tak baik, nyolong misalnya. Aku bergegas menuju pintu kelas, lalu sambil melipat tangan didada berdiri bersandar di bibir pintu. Dua anak laki-laki itu terperanjat, tak menyangka akan sambutanku. Sambil menaikkan sebelah alis, aku bertanya curiga.
“arep lapo (mo ngapain)?”
“Wahid pengen kenalan...” jawab salah satu anak laki-laki itu, aku menduga yang namanya Wahid adalah bocah kedua, berambut ikal dan berwajah bulat yang tersipu malu-malu bersembunyi dibalik bahu anak laki-laki yang menjawabku tadi. Bukannya merasa tersanjung, aku makin menaikkan alisku, roman wajah sengaja kusangarkan
“dari sekolah mana kalian?” selidikku
“Karang semanding” yang kusangka namanya Wahid memberanikan diri menjawabku sambil malu-malu.
“naik apa kesini?”
“truk...”
Aku balik badan, menutup pintu kelas, lalu beranjak kembali kebangkuku dan melanjutkan tidurku. Kedua bocah itu berloncatan dibalik jendela, saling bersahutan menanyakan namaku. Letak jendela kelasku memang agak tinggi bagi ukuran anak kecil, untuk melihat kedalam kelas harus sedikit meloncat. Karena aku tak jua menghiraukannya, akhirnya kedua anak laki-laki itu berlalu.
Seminggu berlalu sejak peristiwa itu, aku bahkan tak menganggapnya ada. Suatu hari, pada jam mata pelajaran terakhir, kurang lebih lima belas menit menuju jam pulang.  Tiba-tiba ada suara bel sepeda yang menarik perhatian kami seisi kelas, karena suara bel itu beruntun dan makin lama makin keras. Semua kepala menoleh dan tertuju kejendela, bahkan guruku. Aku tak mau kalah, bersama beberapa temanku naik ke atas kursi demi melihat suara bel sepeda siapakah gerangan yang menghebohkan itu. Tiba-tiba diantara ributnya suara bel itu ada suara yang memanggil-manggil namaku, aku kian menjulurkan leher dan beberapa pasang mata mulai melihat padaku, aku mengedikkan bahuku.
Dan disanalah dia, ditengah jalan raya yang lengang, seorang bocah kecil terpental pental diatas sepeda kumbang tua yang karatan, ukuran sepeda itu lebih besar dari ukuran tubuh pemiliknya. Aku menyipitkan mata dan mengerutkan dahi, hei....bukankah itu bocah laki-laki yang seminggu kemarin saling bersikutan didepan kelasku. Otakku mulai bekerja dan memahami. Bocah laki-laki itu melajukan sepedanya dengan kencang, sambil tak henti-henti membunyikan bel dan meneriakkan namaku, tepat didepan sekolahku. Lalu ia berputar kembali dengan cara yang sama. Teman-teman mulai bergunjing dan mengolokku, Nana memandangku tajam, Imam kian tak mengacuhkanku, aku pun tak ambil pusing. Tahu tidak kawan, bocah laki-laki berambut ikal dan berwajah bulat asli pribumi itu, ternyata memiliki karakter kesintingan yang tingkatannya hampir menyamaiku. Mengapa tidak? Beberapa hari berikutnya suara bel dan teriakannya semakin rutin terdengar di depan sekolahku, apa menariknya?????, tentu saja ada yang menarik kawan, karena untuk bisa mencapai sekolahku, dia harus mengayuh sepedanya sekitar 15 km hanya untuk melakukan ritual pemanggilan nama yang hanya sepersekian detik itu lalu pulang kembali. Kampung bocah itu lumayan jauh dari kampungku, namun demi sebuah cinta dia rela lintang pukang, terpental-pental, berpeluh keringat dengan sepeda tuanya. Manis kawan, sangat manis. Karena kegigihannya itu, aku mulai tersenyum dan bahkan selanjutnya selalu merindukan suara bel sepedanya jika dia absen datang. Ritual itu berlangsung sampai aku kemudian lulus sekolah dasar, dan kemudian aku tak lagi mendengar suara bel sepeda itu, pun kabar beritanya, karena aku hengkang dari kampungku, ikut orang tua ke kota. Sekali pernah kuberpikir, apakah dia mencari-cari keberadaanku? Patah hatikah dia? Aku hanya tersenyum simpul jika mengenangnya.
Kemudian hari, ketika aku mulai beranjak remaja dan dewasa, pilihanku terhadap lawan jenis tetaplah laki-laki biasa, sangat biasa, namun memiliki sesuatu yang tak banyak dimiliki oleh para pria tampan. Setiap kesintingan, ketidakwajaran, karakter yang kuat, selalu saja kutemukan pada pria-pria yang berpenampilan dan berwajah biasa, sangat biasa, bahkan buruk rupa. Dan aku mengumpat diriku sendiri karena selalu saja terkagum-kagum pada semua ciri dan sifat-sifat tersebut. Bukannya aku tak suka terhadap para pria ganteng atau tampan, aku tak munafik, aku suka mereka, namun masalah utamanya adalah, para pria tampan itu tak menyukaiku...hi...
Begini kawan, memiliki wajah tampan itu adalah sebuah keberuntungan, dan harus pandai-pandai memanfaatkan keberuntungan itu. memiliki wajah tanggung (tak jelek tapi juga tak tampan) adalah sebuah pilihan, jika kamu pintar menyiasati wajah tanggungmu, maka kamu akan terlihat tampan, namun jika tidak, maka yang menonjol adalah wajah biasamu. Tapi memiliki wajah jelek kawan, adalah sebuah suratan yang tak bisa ditolak, untuk menutupi dan menyamarkan kejelekan itu potongan rambut model apapun tetap tak cocok diaplikasikan, mau pake poni, belah tengah, belah samping, cepak, model artis malaysia, gundul apalagi, tetap saja kelihatan jelek, jadi sudahlah terima saja nasibmu...hi....
Satu sifat positif yang paling menonjol yang kebanyakan dimiliki oleh pria-pria jelek, yaitu tangguh dan tahan gempuran, karena selalu mendapat cibiran dari para wanita, mereka jadi tahan banting bila diejek, sifat ini perlahan membentuk rasa “e ge pe” yang membentengi diri sehingga tak mudah jatuh atau down bila menerima ejekan ataupun kritikan, karena sudah terbiasa.
Bravo buat para pria-pria biasa, paspasan, tanggung dan jelek.
Love you, doaku menyertai kalian.........

Sabtu, 01 Oktober 2011

....HURRY........

Senja yang gemetar dibalik jendela, kutatap awan yang kian beranjak petang, adakah Jibril mengawang memandu barisan? Aku menciut dingin dalam kesadaran. Senja ini gerimis turun rintik, menjentik kemarau panjang yang melinukan, dedaunan sumringah, putik sari bergairah, bumi sejenak meregang melepas lelah, dan mungkin dibalik awan yang mulai memetang ada kendali Mikail dan Ar-Ra’d tersamar.

Disinilah aku meringkuk dan menekur, sendiri menghitung umur. Umur yang banyak tersia, dengan sgala pongah tak berguna. Tiba-tiba aku ditubi begitu banyak ketakutan, ketakutan akan segala pertanggungjawaban yang pasti dipintakan. Bagaimana jika Izroil menghampiri, namun aku masih tetap dalam kelenaan? Bagaimana jika Isrofil seketika muncul dalam tiga kali tiupan, dan aku masih saja berkubang dalam kenistaan? Sungguh… betapa aku terperangkap dalam kerugian.

Gerimis ini mulai menderas, ribuan ujungnya menghantam genting  lalu membias, sesekali langit bicara lewat cahaya, disusul gemuruh bak menuduh. Aku kian mengerut dibawah jendela serasa diintai selaksa Zabaniah. Terpejam, gemetar, menyusutkan ego manusiaku. Lalu terngiang….”dan bukankah kamu diciptakan dengan akal untuk bisa menentukan pilihan ?….dan bukankah selalu ada celah untuk menghindari kemungkaran?….namun kamu tak sedikitpun memetik pelajaran, kerap lalai dan mencari pembenaran”.  Lengang …. Tak ada jawaban, bisu dan kelu.

Dan ketika saat itu tiba, saat tubuh tak lagi bernyawa, sesal tak lagi berguna, semua yang dibanggakanpun tak berdaya. Bisakah aku mendongakkan kepala dihadapan Munkar – Nakir, menjawab semua pertanyaan tentang masa, waktu yang dipercayakan…..berlinangku dalam kengerian, membayangkan mata, mulut, telinga, tangan, kaki saling berebut mengadukan kedzaliman yang tak kan mampu kusangkal. Lumpuh sendiku disergap hawa panas yang menguap meremukkan tulang, lecutan cambuk api serasa menikam. Aku tau Ridwan tak kan sudi membukakan pintu untukku, dan digerbang Malik-lah aku akan terdampar.

Terguncangku bersama isakan, ciut dan merapuhkan. Inilah aku, dalam separuh perjalanan yang terbuang sia-sia. Hujan ini meniupkan bisikan dihati....segeralah....segeralah....selagi masih diberi kesempatan untuk berbenah......