INI SERABI AROMA PANDAN, KAWAN

IMPERIUM OF ME



Minggu, 17 Juni 2012

CINTA DALAM SEPOTONG AYAM TEPUNG


Emak terkantuk-kantuk diatas ambin bambu, tiduran dengan posisi miring, tangan kanannya menopang berat kepalanya, sedang tangan kirinya menepuk-nepuk pantat si kecil rohim, anak bungsunya yang umurnya belum genap dua tahun. Sebelah payudaranya dikeluarkan menggelantung, sedang putingnya membelesak kedalam bibir mungil si bocah. Didalam hati emak merasa kesal, sudah hampir sejam Rohim mengisap dan menguras air susunya, tapi anak itu belum jua terlelap nyenyak, padahal puting susunya sudah terasa bengkak dan ngilu. Mungkin karena cuaca diluar terik dan panas, sehingga udara dalam rumahpun terasa panas dan gerah, terbukti dari banyaknya keringat yang bercucuran disela-sela tubuhnya, begitupun pada tubuh mungil disampingnya. Bocah itu sedikit gelisah, meski matanya terpejam, tapi tangan dan kakinya kerap bergerak-gerak. Sesekali emakpun mengipas-ngipas berusaha menangkap udara dengan ujung kain gendongan yang sebagian masih melilit ditubuhnya.
Tiba-tiba sayup terdengar suara derap langkah kaki bergegas mendekat, kian lama kian terasa dekat, lalu kemudian terdengar suara pintu depan dibuka dengan keras dan serampangan.
“Mak….mak….” suara serempak berbarengan menyeruak masuk dengan keras.
Ssttt….sssttt….emak menangkupkan jari telunjuknya dibibir, matanya sedikit melotot kearah dua pemilik suara itu. Nur dan soleh, anak pertama dan keduanya itu seketika terdiam, mengerti. Namun dengan tersenyum-senyum simpul, soleh mengacung-acungkan sebuah bungkusan ditangannya, Nur pun tak kalah sumringahnya. Lalu keduanya berjingkat-jingkat menuju kursi kayu disebelahnya, dan meletakkan bungkusan yang dibawanya diatas meja. Kedua kakak beradik itu duduk saling berhadapan, mata mereka tak lepas dari bungkusan didepannya. Bungkusan itu berupa sebuah tas kresek bening transparan, yang didalamnya berisi kotak kardus kecil warna merah, seperti kotak nasi pengajian tapi lebih kecil.
“tunggu emak dulu…” kata Nur dengan suara pelan, sang adik menganggukkan kepala masih dengan senyum mengembang penuh dibibirnya. Tak lama, terdengar suara ambin berderit dibelakang, akhirnya emak berhasil juga menidurkan si kecil, emak beringsut turun dari ambin sambil menjejalkan sebelah payudaranya kedalam kutang hitam buluknya, lalu mengancingkan bajunya. Dengan langkah sedikit terhuyung karena efek dari terlalu lama tidur miring, emak menghampiri kedua anaknya yang masih juga lekat menatap bungkusan didepannya.
“apa yang kalian bawa itu??”
“ga tau mak, bu Edi yang ngasih, katanya mbak Vina yang bawa tadi malam sepulang kerja, dan katanya juga, dirumah bu Edi sudah ga ada yang mau memakannya, bosan” sahut Nur.
Emak mendekat lalu menghempaskan tubuhnya dikursi kayu disamping Nur, ikut menatap lekat bungkusan itu.
“Emak, saja yang buka….cepetan mak, itu pasti makanan” soleh sudah tak sabar ingin mengetahui apa gerangan isi dalam kotak merah itu.
Suara pintu terbuka, bersamaan dengan dikeluarkannya kotak merah itu dari dalam tas kresek, serentak ketiganya menoleh, ah rupanya bapak pulang. Seorang laki-laki paruh baya hitam legam dengan baju yang basah oleh keringat, masuk sambil mengucapkan salam perlahan.
“sedang apa kalian?” Tanya laki-laki itu
“sini pak, duduk dekat soleh, yang dimeja itu makanan pak….makanan orang kaya”. Bapak tak segera duduk, melainkan membuka baju lusuhnya lalu menggantungkan bajunya pada paku yang tertancap didinding dekat pintu kamar. Sekilas dilihatnya rohim anak bungsunya tertidur pulas diatas ambin. Ruangan itu memang tak bersekat, dibagian depan terdapat kursi-kursi kayu yang ditata sedemikian rupa, dan dibagian belakangnya sebuah ambin bambu diletakkan menempel kedinding yang juga terbuat dari bambu. Disamping ambin diletakkan sebuah meja kecil, dan diatas meja itu ada sebuah kendi air minum yang terbuat dari tanah liat, air dalam kendi itu selalu terasa sejuk terutama ketika cuaca sedang panas.
Bagi keluarga miskin itu, ruangan tak bersekat berlantai tanah dan berdinding bambu ini, memiliki arti tersendiri dan memiliki banyak fungsi.  Sebagai tempat menerima tamu saat lebaran, karena pada hari-hari biasa tak ada orang yang mau bertandang ke rumah reot itu, mungkin takut jika tiba-tiba saja rumah itu ambruk dikarenakan posisinya yang memang agak doyong. Kedua sebagai ruang makan, karena selain dapur mereka sempit, juga karena satu-satunya meja dan kursi yang mereka miliki ya diruang tamu itu. Ketiga sebagai tempat berkumpulnya keluarga, tempat Nur dan soleh belajar, tempat bapak membersihkan arit dan cangkulnya, tempat emak mengeroki punggung bapak ketika masuk angin dll. Hampir seluruh aktivitas keluarga itu dilakukan diatas kursi-kursi kayu lapuk dan ambin bambu di ruangan itu. Rumah itu hanya memiliki satu kamar saja, yang didalamnya terdapat sebuah ambin bambu cukup besar, tempat  emak, Nur, Soleh, dan Rohim tidur, sedang bapak tidur di ambin luar.
                Akhirnya bapak duduk disamping Soleh, tangannya sibuk melinting tembakau. Nur dan Soleh dari tadi bergerak-gerak gelisah, tak sabar ingin segera melihat isi bungkusan. Dan akhirnya emak membukanya juga, semua kepala merubung mendekat. Dalam kotak merah itu terdapat satu potong utuh penganan dan yang satunya lagi hanya separuh. Mungkin sisa bu Edi yang tak habis memakannya karena bosan. Emak mencuil kulit penganan itu, Nur dan Solehpun ikut-ikutan.
“ini tepung, tapi rasanya enak dan gurih” ujar emak, Nur dan soleh mengiyakan. Lalu emak mencuil bagian dalamnya, Nur dan Solehpun ikut-ikutan.
“ayam mak…ini ayam…”Soleh terlonjak sambil berseru keras, matanya nyata sekali berbinar-binar
“sstt….pelankan suaramu, nanti Rohim bangun” Nur mengingatkan adiknya itu, yang saking girangnya sampai lupa bahwa ada Rohim yang sedang tertidur di ambin belakang.
“wah…rejeki nomplok, kebetulan sekali hari ini emak hanya masak oseng genjer sebagai pauk”
“tapi jangan dihabiskan semua ya mak….yang utuh kita bagi berempat, dan yang separuh untuk Soleh nanti malam ya mak…” ujar Soleh sedikit merengek
“iya mak, Nur juga mau..” Nur menimpali, emak mengangguk dan tersenyum. Kemudian mata emak bersiborok dengan mata bapak, ada cakap bahasa yang hanya mereka pahami berdua saja, bapak menghisap rokok lintingnya dalam-dalam, dan emak kemudian berlalu ke dapur untuk menyiapkan hidangan, Nur mengekor dibelakangnya untuk membantu. Sejurus kemudian, didalam piring seng keempat orang itu, ada menu tambahan istimewa yang biasanya hanya mereka dapatkan pada hari-hari tertentu---lebaran misalnya---itupun hasil dari pemberian tetangga. Ayam adalah lauk istimewa buat mereka, dan sekarang mereka sedang menikmati lauk istimewa itu---bukan di hari Lebaran--- meski masing – masing hanya mendapat bagian yang ukurannya tak sampai dua kali ukuran jempol orang dewasa. Bahkan Emak dan bapak, porsi kulit tepungnya lebih besar dari isi dagingnya. Ah…tak apalah yang penting daging untuk Nur dan Soleh cukup. Melihat kedua anaknya lahap menyantap makanan siang itu, mata emak langsung berkaca-kaca, dadanya sesak dan serasa tak mampu mengunyah makanan dimulutnya. Bapak menangkap gundah itu, dengan isyarat matanya seakan bapak ingin berkata:  “sudahlah…tak perlu bersedih, nikmati dan syukuri saja apa yang diberikan Tuhan hari ini”.
                Hari hampir petang, sebentar lagi matahari terhisap batas langit di sebelah timur. Di sebelah timur pula awan-awan berwarna oranye mengambang sempurna. Semburat cahaya membilah-bilah langit dengan indahnya, dan burung-burung plekok membuat formasi anak panah hilir mudik untuk kembali kesarang, menambah sempurnyanya tampilan cakrawala. Emak menimba air di perigi, meski terpisah tapi letaknya hanya sepelemparan pandangan dari rumah. Suara timba ditarik berderit keras, ini karena kumparannya jarang diminyaki. Emak mengisi air ke dalam gentong lumutan yang bagian samping bawahnya sudah dilubangi, lubang kecil itu disumpal dengan potongan kayu yang tentunya disesuaikan dengan ukuran lubang, agar air tak mancur keluar. Dan gentong itu sendiri diletakkan disebuah batang kayu yang dipasang berdiri sebagai penopang, kira-kira tingginya setengah badan orang dewasa. Sehari-hari gentong itu dijadikan tempat menampung air untuk berwudhu.
“Nuurrr….Leeehhh….cepetan ambil wudhu, gentongnya sudah mak isi…” dengan sedikit berteriak emak memanggil kedua anaknya itu. Lalu tak lama dari pintu belakang rumah, muncullah Nur dan soleh. Nur yang menggendong Rohim adiknya, segera mengangsurkan bocah kecil itu kepada emaknya kembali. Setelah mengambil air wudhu, kedua anak itu kembali memasuki rumah, melewati dapur yang kecil dan berjelaga disana-sini. Sampai di ruangan utama, Soleh menyempatkan diri menengok ayam tepung “separuhnya” yang emak sisihkan diatas meja kecil dekat ambin. “Ayam tepung” itu berada dalam piring seng, berdampingan dengan kendi air minum. Mata Soleh mengerjap riang, terbayang olehnya nanti sepulang dari mengaji di Langgar, daging ayam berbumbu itu menari-nari dilidahnya, ah…..tak sabar rasanya….ia tak mengerti mengapa hari ini rasa lapar begitu cepat hinggap diperutnya. Adzan maghrib sudah bergema dari arah Langgar, sebelum berlalu Soleh mengerlingkan matanya kearah ayam tepung itu.
                Maka di Langgar, bocah laki-laki berusia 8 tahun itu gelisah sangat. Duduknya tak bisa diam, huruf-huruf Hija’iyah yang ia lafalkan dari bibirnya, tak mengena di hatinya. Pelajaran Tajwid dari ustad Rasyid, tak satupun hinggap diotaknya. Benak Soleh dipenuh dengan gambaran-gambaran ayam tepung itu. Dan ketika sholat Isya’ sampai pada akhir salam, Soleh langsung mengendap-ngendap kabur untuk pulang. Sampai dirumah, dengan nafas memburu dan ngos-ngosan Soleh langsung menuju ke meja kecil tempat ayam tepungnya tadi diletakkan. Tapi….apa yang didapatinya, piring sengnya kosong. Soleh mencari emak didapur, siapa tahu ayam itu sedang dihangatkan oleh emak, tapi emak tak ada di dapur. Lalu ia kembali bergegas mencari emak dikamar, dijumpainya emak tertidur disamping Rohim adiknya. Dengan perlahan Soleh menggoyang-goyangkan kaki emaknya.
“mak….mak…” sedikit tersentak emak bangun, lalu menoleh.
“ayamnya mana mak…???”
“ayam apa…??”
“ayam tepung…”
“kan di samping kendi…”
“gak ada mak…!!”, emak langsung bangkit, perasaannya tak enak, karena emak baru ingat bahwa tadi ia lupa menaruh penutup untuk ayam tepung itu. Jangan….jangan….
Mata Soleh berkaca-kaca, hidungnya kembang kempis, dadanya naik turun menahan isak ketika didapatinya emakpun tak menemukan ayam itu. Nur dan Bapak yang baru pulang dari Langgarpun tak mampu berkata, ketika mengetahui bahwa ayam tepung itu raib. Bapak masuk kamar mengambil senter kecil, lalu bergegas keluar rumah. Dengan bantuan cahaya senter, mata tua bapak berusaha menyisir halaman gelap didepan rumah, menyingkap rumpun-rumpun daun beluntas yang tumbuh sebagai pagar rumah, menyibak tumbuhan kemangi dan kenikir, tapi apa yang dicarinya tak jua ia dapati. Ini pasti ulah kucing, bathin bapak geram. Bapak harus segera menemukannya, siapa tau belum terlambat, maka laki-laki tua itu menuju samping rumah, menyinari tiap sudutnya.
Sampai dibagian belakang rumah dekat perigi, disanalah bapak menemukan jawabannya. Seekor kucing kurus belang coklat lahap menyantap potongan ayam tepungnya. Bapak terlambat, karena kucing itu tak menyisakannya sedikitpun, hanya satu serpihan tulang kecil, bapak menghela nafas berat.
                Sudah tiga hari ini Soleh murung. Senyumnya menghilang, tak bersemangat, dan ia menjadi pendiam. Tak kurang kata Bapak, Emak dan Nur membujuknya, namun durja dimata bocah laki-laki itu tak mau sirna. Emak merutuki dan menjadi benci sebab mula kejadian ini, gara-gara ayam tepung “sialan” yang memiliki nama susah dilafalkan lidah itu, anak laki-laki kesayangannya sekarang menjadi bersusah hati.
Coba bapak baca apa namanya ayam tepung itu, nanti emak coba kerumah bu Edi untuk menanyakan dimana membelinya”, meski tak buta huruf, emak tak pandai membaca. Bapak meraih kardus merah kecil itu, sejak kedatangannya dan meski isinya sudah tak ada, kardus merah itu tak dibuangnya, Nur melipatnya rapi dan memajangnya disamping kendi.
Kentukki….fri…et…ce-hi-ken…” begitu bapak mengejanya. Tak paham pula apa itu artinya. Tak habis mengerti pula, kenapa ada orang memberi nama makanan begitu susahnya. Bapak hanya menggeleng-geleng, emak makin dongkol demi mendengar nama dari ayam tepung itu.
Ke-esokan paginya, sambil menggendong Rohim, emak pergi kerumah bu Edi, untuk menanyakan dimana tempat untuk membeli ayam tepung itu. Emak tak peduli meski malamnya bapak sudah memperingatkan bahwa itu akan sia-sia saja, makanan itu makanan orang kaya, dan harganyapun takkan mampu terbeli. Emak kekeh, tak ada ruginya untuk mencoba menanyakannya. Dan karena emak tak pandai melafalkan nama makanan itu, maka kardus merah bungkus ayam tepung itu dibawanya serta.
Sepulang dari rumah bu Edi, sepanjang perjalanan, serasa tak berpijak kaki emak melangkah. Pikiran emak melesat tak tentu arah, namun sayangnya hanya terpantul-pantul dalam kepalanya saja. Kata bu Edi satu potong ayam tepung itu harganya dua puluh ribu, itu berarti upah kerja bapak membersihkan ladang orang selama dua hari, itupun jika ada yang menyuruh. Jika upah dua hari itu dibelikan ayam tepung yang memiliki nama aneh itu, berarti selama dua hari pula mereka tak bisa membeli beras. Terus mau makan pakai apa...masak ayam saja, yang tentu tak kan mungkin mengenyangkan perut, dan habis sekali kunyah saja. Selebihnya terpaksa harus berpuasa. Mau ngutang beras di warung emak malu, catatan bonnya sudah panjang seperti ular, mau menjual barang.....ga ada  satupun barang berharga  yang bisa dijual. Emak pusing tujuh keliling, kalau ia tak bisa membeli ayam tepung itu, berarti emak akan kehilangan senyum ceria anak lelaki kesayangannya dalam waktu yang entah sampai kapan, dan emak tak mau itu. Sepanjang jalan, emak berpikir keras bagaimana caranya untuk mendapatkan uang tambahan, berkali-kali kakinya terantuk batu karena emak tak fokus jalannya. Dalam gendongannya Rohim tertidur terpantul-terpantul, bibir mungilnya tak mau lepas dari puting emaknya.
Dalam kegalauannya tiba-tiba ada suara lelaki yang memanggil emak. “mak Munah...mak Munah...”, rupanya laki-laki itu pak Sanip, juragan kacang. Emak datang menghampiri pak sanip yang berdiri di samping pick up hitamnya.
“ada apa gan...??”
“gini mak....Romlah pegawai saya ijin pulang kampung tiga hari, jadi saya kekurangan orang untuk ngupas kacang, kalau mak Munah mau, emak bisa gantiin Romlah sementara, gimana mak...” tanya juragan Sanip. Tanpa berpikir dua kali emak langsung setuju mengiyakan, dan dengan hati-hati sedikit meminta pada juragan Sanip untuk bersedia membayarkan upahnya dimuka. Emak menceritakan peristiwa “ayam tepung” yang menyusahkan hatinya saat ini. Untunglah juragan Sanip orang yang baik, ia mengabulkan permintaan emak, bahkan juragan memberi tambahan lima ribu. Emak senang bukan kepalang dan berkali-kali mengucapkan terima kasih pada juragan Sanip.
Emak tak jadi pulang, dengan sedikit bergegas emak kembali menuju rumah bu Edi, ia harus segera, dalam benaknya emak takut warung yang menjual ayam tepung itu keburu tutup, karena hari telah memasuki waktu Ashar. Tangannya saat ini menggenggam uang sejumlah dua puluh lima ribu rupiah. Emak tak peduli bahwa untuk itu tiga hari kedepan jemari tangannya akan melepuh karena harus mengupas biji-biji kacang. Lima ribu rupiah untuk 10 kg biji kacang, Ah....biarlah, itu urusan belakang. Sesampai dirumah bu Edi, emak kembali memohon agar bu Edi bersedia membantunya. Bu Edi tersenyum, lalu segera menelpon Vina anaknya, agar membelikan titipan mak Munah sepulang kerja nanti.
“jangan khawatir mak, nanti sekalian saya suruh Vina mengantarnya kerumah emak, sekalian lewat bukan...!!”
Emak tak tahu harus berkata apa lagi, hatinya mengharu biru, sepanjang jalan pulang dari rumah bu Edi, tak henti air matanya mengalir, Rohim si bungsu dalam gendongan belum mengerti apa yang telah terjadi, mata mungilnya hanya bisa menatap wajah tua emaknya basah oleh air mata.

Kamis, 31 Mei 2012

PRASANGKA


Awan putih tercecer dilangit, membentuk gerombol gerombol kecil yang tak bernama. Beberapa diantaranya memang terlihat seperti siluet dan bentuk yang bisa terbaca, namun selebihnya terberai dalam gugusan-gugusan kecil. Langit biru tampak tak keberatan dijadikan tempat bergantung, bergantungkah??? Tampaknya seperti itu jika dilihat dari bawah. Namun siang ini terasa menusuk, terik tak ramah pada penghuni bumi. Beberapa orang yang terpapar langsung dibawahnya, tampak tak mampu menghentikan keringat yang mengalir bagaikan bah. Debu-debu jalanan menyeruak, menyergap setiap pengguna jalan, memaksa mereka untuk menutup hidung atau menyipitkan mata. Aku menguap sambil mencari-cari udara lewat ruas-ruas jemari yang ku kibaskan, namun yang kudapat adalah udara hangat yang tentu saja tak mampu mengusir rasa gerah yang menyergapku. Ah sialan…bosku terlalu pelit untuk memasang sebuah kipas angin kecil untuk anak buahnya, toko kecil ini jadi terasa kian pengap dan kumuh. Seringkali aku mengumpat pada nasib yang tak berbelas padaku dengan menjerembabkanku disebuah toko kecil yang dipenuhi bau cat, semen, plitur dan sejenisnya, yang sesekali waktu membuat rasa mual memenuhi ulu hatiku. Lihatlah toko ini, barang-barang jualan berjejalan tak karuan, saking tak muatnya bahkan ada yang dijejalkan begitu saja, padahal jenis barangnya berbeda, ah…biarlah….aku tak mampu lagi mengurusnya sendirian, yah…sendirian, karena hanya aku satu-satunya pegawai ditoko ini. Penjaga toko dengan profesi serabutan lainnya. Bosku jarang sekali ke toko, dia hanya datang sesekali, untuk melihat pembukuan ataupun sekedar menanyakan stok barang yang ada, setelah itu raib entah kemana, paling-paling juga kerumah istri simpananannya, itupun kalau bisa disebut istri. Dan karena ulahnya itu aku sering kecipratan getahnya, untuk pandai-pandai berbohong jika istri sahnya menanyaiku. Praktis semua kendali toko aku yang memegang, bosku terima beres saja. Namun gaji yang kuterima tak sepadan, sudah dua tahun ini tak ada tanda-tanda atau gejala akan naik, jika kutanyakan….ada saja alasannya, yang ekonomi negara belum stabillah, yang menyalahan pemerintah yang dipenuhi orang-orang oportunis, sampai perbandingan harga cabai, kol dan BBM yang turun naiknya tidak bisa diprediksi, seperti naik turunnya kolor saja, sehingga jika ia menaikkan gajiku sedikit saja bisa mempercepat kolapsnya perusahaan, selalu itu alibinya. Dan jika aku tak bisa mengerti keadaan itu, apalagi sampai minta berhenti bekerja, mau tak mau, dengan berat hati dia akan mencari penggantiku, yang sangat mudah ditemukan karena jumlah pengangguran dan lahan pekerjaan yang tak seimbang, itu katanya. Hmm....ancaman yang terselubung bukan??????
Hanya ada tiga ruko yang berdiri dilahan ini, termasuk toko tempatku bekerja, tokoku tepat ditengah. Sebelah kiriku adalah toko onderdil dan accessories motor, pemiliknya adalah tauke dari Surabaya. Dan disebelah kananku adalah toko sembako milik haji hasan. Kedua orang tua itu lebih dulu menempati lahan ini, aku baru enam bulan disini, sebelumnya tokoku  ada dijalan Majapahit. Tapi karena kena gusur untuk lahan hijau, jadi disinilah aku berada sekarang, dengan pekerjaan yang sama, suasana tak jauh beda, bos yang sama pula, nasib?? Sudah kuceritakan diatas.
 Kulirik jam bundar usang yang tergantung mengenaskan didinding toko, jarum menunjukkan pukul satu siang, lohor sudah lewat dari tadi. Pembeli sepi hari ini, aku perhatikan begitu pula pengunjung di toko kanan kiriku. Ditempat tauke hanya ada dua motor yang sedang dipreteli untuk diganti velgnya, padahal hari-hari biasanya tak kurang sepuluh bahkan lebih motor yang keluar masuk. Sang tauke hilir mudik sambil memperhatikan montirnya bekerja. Haji Hasan kulihat sedari tadi terkantuk-kantuk menopang dagunya diatas etalase kaca jualannya. Huh….jenuh semakin mencengkramku.
Tiba-tiba dari arah tikungan gang dekat jalan raya, muncul dua orang pengemis, ibu beranak saling bergandengan, si anak kutaksir mungkin usianya sekitar 5 atau 6 tahun. Tampang penampilannya ya selayaknya pengemis pada umumnya, kumal dan lusuh. Siapa bilang modal pengemis hanya membuang rasa malu dan mengulurkan tangan saja, penampilanpun harus menunjang profesi. Yah pengemis  sekarang ini bukan lagi keterpaksaan karena tidak keberpihakan nasib, namun sudah menjadi profesi yang menjanjikan dan…basah…. Dua ibu beranak itu berdiri didepan toko Haji Hasan sambil memasang tampang menyedihkan sambil mengulurkan tangan, dan….seperti biasa haji hasan hanya melambaikan tangan menandakan penolakan, wajah datar tanpa ekspresi maupun senyuman. Pengemis itupun berlalu tanpa perlawanan, seperti sudah mahfum dengan perlakuan yang sering diterimanya dari haji hasan. Aku heran, padahal kulihat dua pengemis itu sudah sering jadi langganan mengemis di tempat ini, masak dia tak mengerti juga akan kelakuan haji Hasan, sudah menjadi rahasia umum bahwa hampir tak pernah terlihat Haji hasan menyedekahkan satu atau dua keping recehannya pada setiap pengemis yang datang. Beberapa pengemis yang datang sudah hafal akan perlakuan yang diterimanya jika mereka mengemis di toko haji hasan, makanya mereka sering tak mampir tapi langsung ke tokoku atau ke toko tauke sebelahku. Sering secara tak sengaja kudengar mereka kasak kusuk menggunjingkan Haji hasan dan kekikirannya, dan tak jarang pula aku mendengar mereka membanding-bandingkannya dengan kedermawanan si tauke. Bahkan penduduk sekitarpun yang kukenal tak jarang menggunjingkan perbedaan yang kontras ini. Aku tidak mengatakan bahwa orang cina tak “lumrah” untuk bersedekah, tidak....akupun tidak mengatakan bahwa seorang haji “wajib” bersedekah.....hanya saja dinegeri tercinta yang kupijak ini, dimana penilaian kebaikan pribadi seseorangkebanyakan dinilai dari “status dan harta” yang menyertainya. Tapi tentu saja tidak semua orang berpikiran begitu. Menurut sebagian....ingat sebagian.....seorang haji itu haruslah bersikap selayaknya seorang haji, yang harus bagus hubungan horizontal dan vertikalnya. Jangankan kepada pengemis, kepada orang-orang yang berkeliling membawa kotak amal, baik itu untuk pembangunan mesjid atau panti asuhan, seingatku....selama aku menempati  ruko ini, tak pernah sekalipun kulihat haji hasan meringankan tangannya. Sebetulnya letak utamanya adalah karena title haji yang ia sandangnya. Dimana seorang haji haruslah mampu memberi contoh yang baik tentang “membagi sedikit harta” nya kepada para fakir miskin. Kalau saja haji hasan bukanlah seorang haji, seorang biasa sepertiku, aku yakin tak kan ada orang yang menilainya, memperhatikan setiap geriknya, maupun menggunjingkannya.
Namun sebaliknya, lihatlah si tauke, dia orang cina yang begitu dermawan, tak pernah seorangpun yang datang meminta belas kasihan kepadanya pulang dengan tangan hampa, barang seribu atau dua ribupun pasti didapatnya. Makanya tak heran jika si tauke menjadi idola para pengemis ataupun peminta sedekah. Tidak hanya itu, saban hari jumat, selepas orang-orang pulang dari mesjid, puluhan pengemis sudah mengantri didepan bengkel tauke, karena tiap hari jumat tauke akan membagi-bagikan sembako. Yang kudengar sih, ada 30-40 bingkisan sembako yang dia sediakan tiap jumatnya. Satu bingkisan sembako berisi beras, minyak goreng, mie instant, kopi, gula dan susu kaleng. Yang menjadi pertanyaanku adalah, kenapa mesti milih hari jumat yang notabene adalah hari yang dianggap hari terbaik diantara hari-hari lainnya oleh umat muslim, padahal setahuku tauke adalah non-muslim. Jika kutanya, tauke hanya mengibaskan tangannya sambil tersenyum, tak ada jawaban. Dan yang lebih membuatku bertanya-tanya adalah, bagaimana perasaan haji hasan melihat itu semua, tidakkah terketuk hatinya, atau merasa tersindir oleh kedermawanan  si tauke. Karena asal kalian tahu saja, semua sembako yang dibagikan si tauke selalu membelinya dari toko haji hasan, aku sering menggeleng-gelengkan kepalaku melihat fenomena kontras ini. Kalau aku sendiri mah jangan ditanya, terus terang sedekahnya kembang kempis, naik turun, kadang ngasi, keseringan nggak...hi...yah, disesuaikan dengan kantong seorang penjaga tokolah. Tapi setidaknya aku lebih baik dari haji hasan yang tak pernah sekalipun kulihat bersedekah, batinku dalam hati, sambil terbersit sedikit rasa pongah.
                Waktu bergulir begitu cepat, tahu-tahu sudah mau lebaran lagi, Ramadhan sudah didepan mata, kurang tiga hari lagi. Hmm...aku harus pandai-pandai mengelola keuangan nih, agar lebaran nanti bisa pulang kampung. Keadaan tak banyak berubah, toko yang kujaga masih begitu-begitu saja, meski tak bisa dibilang sepi. Bengkel tauke seperti biasa ramai pelanggan. Toko sembako haji hasan tak kurang orang hilir mudik keluar masuk.
Ketika memasuki pertengahan puasa, aku dikejutkan berita duka. Penghuni ruko sebelah kananku tutup usia, yaitu haji hasan, kudengar karena serangan jantung. Maka jumat pagi, bergegas aku kerumahnya untuk melayat, yang kira-kira berjarak 500 m dari tokonya. Kulihat tauke sudah berada disana lebih dulu, wajah-wajah sedih dan berduka tampak ramai terlihat dirumah haji hasan, selayaknya aura kehilangan karena ditinggal oleh orang yang dikasihi pada umumnya. Setelah turut menyolati dan mengantarkan haji hasan ke peraduan terakhirnya, aku bergegas kembali pulang ketoko. Aku mengernyitkan dahi ketika kulihat toko sudah terbuka, oh rupanya bosku sedang mampir. Toko memang dibuatkan kunci ganda, yang asli dipegang bosku, dan duplikatnya aku yang pegang. Aku sudah bekerja bertahun-tahun dengannya, sehingga aku diberi kepercayaan penuh.
“ramai tadi yang datang him?” tanya bosku ketika baru saja aku menjejakkan kaki.
“lumayan pak....semoga arwahnya diterima ditempat yang layak”
“amin...”. hening beberapa saat
“tapi kudengar dia orangnya sangat pelit ya him?” tanya bosku sambil menghembuskan asap rokok dari hidungnya.
“yang saya lihat sih begitu pak, tapi ga usah diomongin deh pak, baru juga dikubur..” bosku sedikit terkekeh sambil mengangguk-ngangguk. Dia menarik nafas panjang sebelum kemudian menghempaskan kembali kepulan asap rokoknya yang kali ini bukan hanya dari mulutnya, tapi hidungnya juga. Namun pertanyaan bosku tadi, membangkitkan imajinasi nakalku, membangunkan kebengalan otak kotorku yang dengan beraninya tiba-tiba menciptakan dialog drama dalam awang.
“hai hasan, selama didunia, kau pergunakan untuk apa saja hartamu?” tanya malaikat penjaga kubur dengan mata menyala-nyala
Haji hasan tergagap, “un...un...untuk hidupku dan keluargaku saja Tuan” keringat bercucuran dari wajahnya, karena hawa panas dari uap neraka terbayang dimatanya.
“untuk itu saja?”
“iy...iya”
“tak ada yang lain?”
“ti...tidak...”
“tak kau sisihkan sedikitpun untuk saudaramu yang kekurangan?”
Haji hasan menggeleng gemetar, lalu malaikat penjaga kubur mengeluarkan cambuk apinya yang menyala-nyala.....
Hiii....aku bergidik, naudzubillah....aku mengusap wajahku dan langsung membuyarkan hayalan ngawurku itu.
Pukul setengah dua belas bosku pamit meninggalkan toko, mau jumatan katanya. Aku tersenyum dengan sedikit meledek “tumben bos...”. dengan santai ia menjawab, takut bentar lagi tiba gilirannya menyusul haji hasan. Ah dasar si bos....
Pulang jumatan aku duduk-duduk didepan toko, sedang tak ada pembeli. Sebelah kananku tentu saja ditutup karena sedang berduka. Sebelah kiriku milik tauke sedang ramai pengunjung, baik itu pembeli maupun pengemis yang antri untuk mendapatkan sembako. Namun tak sampai lima menit para pengemis itu mengantri, tauke membubarkannya, katanya tak ada pembagian sembako hari ini. Itu sedikit tidaknya pasti ada hubungannya dengan kematian haji hasan, menurut perkiraanku, tauke belum sempat mempersiapkan semuanya, karena si pemilik toko langganannya membeli sembako tahu-tahu subuh tadi meninggal. Karena setahuku biasanya bungkusan-bungkusan sembako itu sudah dipersiapkan sebelumnya oleh haji hasan, dan tauke tinggal terima beres, lalu mengambilnya menjelang pembagian.
                Tiga bulan setelah kematian haji hasan, setidaknya ada tiga perubahan yang kuperhatikan terjadi. Pertama, toko haji hasan tutup dikarenakan tidak ada yang meneruskan. Anak-anak haji hasan berkecimpung dengan usahanya masing-masing, dan itupun diluar kota semua. Kini toko haji hasan diambil alih oleh orang lain yang membuka usaha loundry. Kedua, perubahan drastis bosku sendiri, dia yang biasanya tak ambil pusing dengan keadaan toko, lambat laun mulai sedikit peduli, setidaknya dua kali dalam seminggu dia datang, bahkan menemaniku bekerja. Yang lebih mengejutkan lagi, dia menjadi....lebih religius....aku tak percaya sepenuhnya jika semua itu dikarenakan oleh kematian haji hasan, meski tak kupungkiri semuanya bermula sejak kematiannya.
“jangan mengernyit seperti itu him....aku nih udah taubat, minuman kutinggalkan, istri simpanan kulepaskan, meski untuk itu aku harus menguras dompetku dalam-dalam untuk pesangonnya. Sekarang isi kepalaku ku fokuskan ke keluarga dan pekerjaan him...” katanya suatu hari. Yah...syukurlah kalau begitu....
Dan yang ketiga, tak kulihat lagi antrian pengemis untuk minta sedekah maupun yang antri sembako di toko tauke. Itupun dibarengi dengan perubahan sikap tauke sendiri, sekarang tak kulihat lagi ia mengeluarkan recehan untuk para pengemis, tak pernah lagi kulihat ia menyelipkan lembaran rupiah kedalam kotak-kotak amal peminta sedekah, tak pernah lagi kulihat ia menyusun tumpukan-tumpukan sembako untuk dibagikan, ini aneh....sungguh aneh. Yang kudapati sekarang, justru sosok haji hasan kedua, lambaian tangan tanda penolakan dan ekspresi datar bahkan terkesan tak senang jika ada pengemis datang. Mau tidak mau, ini menimbulkan pertanyaan besar dihatiku, ada apakah gerangan dengan si tauke, mengapa ia berubah secara drastis seperti ini. Jika kemudian aku mempunyai sedikit keberanian untuk menanyakannya, itu bukan dikarenakan aku nyinyir dan selalu mencoba menilai orang lain, tapi lebih dikarenakan rasa penasaran yang tak lagi mampu kubendung.
Aku bertanya pada tauke di suatu siang, ketika tokonya sedang sepi pelanggan. Tentang mengapa ia tak lagi memberi sedekah pada para pengemis.
“apa yang mau disedekahkan him...la wong si pemberi dana sedekah sudah meninggal...” dahiku berkerut, tak jua memahami kata-katanya.
“yang kusedekahkan selama ini uangnya haji hasan him...dia menitipkannya padaku untuk dibagikan jika ada pengemis atau peminta sedekah datang. Begitupun dengan sembako-sembako itu...itu juga dari dia him, aku hanya diminta bantuan untuk membagikannya. Dan selama dia hidup, aku diminta merahasiakannya”
Speechless....aku tak mampu berkata apa-apa. Ya Allah, maafkan aku yang selama ini menggunjingkannya, dan berprasangka tidak baik pada haji hasan, tiba-tiba aku merasakan seperti ada tamparan keras diwajahku....aku malu, sungguh malu.....

Kamis, 01 Maret 2012

KETIKA WAKTU MENGGENANG

Ada suara jerejak seperti pelepah dan ranting pohon yang diseret, ada derit suara timba yang ditarik diperigi. Kelopak mataku bergerak-gerak hendak menuruti telinga yang lebih dulu terjaga....lalu sunyi.....seorang laki-laki bertelanjang dada, dengan caping bambu dikepalanya sedang duduk menepi disebuah dangau ditepi sawah, sebelah tangannya menarik-narik seutas tali yang rupanya terhubung pada orang-orangan sawah yang terbuat dari gumpalan jerami yang dibentuk, sebelah tangannya lagi memegang sebuah buku yang sedang terbuka. Sesekali ada suara seperti siulan yang kasar, desahan serampangan yang keluar dari mulutnya sejalan dengan orang-orangan sawah yang bergerak-gerak, membuat takut segerombolan burung emprit yang berpijak pada pucuk-pucuk padi yang mencari celah untuk mencuri bulirnya. Namun mata lelaki itu, tekun tertuju pada buku ditangan satunya. Tiba-tiba....ia menoleh kepadaku lalu tersenyum.....kelopak mataku kembali bergerak-gerak, kali ini dibarengi kepalaku yang mencoba menjejak dan menerobos batas jagaku. Lalu kembali ada suara seperti air yang dijerang, ditingkahi suara desau angin yang membuat gemerisik rumpun bambu. Aku seperti mendapati tubuhku berbaring diranjang empuk kesayanganku di Surabaya, kuraba ruang kosong disampingku yang harusnya ada sepotong tubuh suamiku disana....namun tak kudapati....sunyi.....sekejap kudapati tubuhku terpental-pental dikursi penumpang kereta jurusan Surabaya-Jember, didepanku duduk seorang laki-laki yang rupanya serupa dengan lelaki yang kujumpai di dangau....dia tersenyum padaku....
Aku tersentak...nafasku berkejaran tak teratur, mengedarkan pandangan, mengumpulkan kesadaran....ini bukan ranjangku, bukan kamarku....aku melenguh seperti kerbau, menggeliatkan tubuh untuk mengendorkan urat yang tegang. Suara air terjerang, kusangka pasti dari dapur, aku menuju....seorang perempuan tua duduk pada sebuah dingklik kayu kecil, didepan sebuah tungku yang menyala, ia membelakangiku. Aku menyentuh bahunya dari belakang.
“eh, sudah bangun kau mar....sholatlah segera, sebentar lagi matahari mengintip”
Aku mengangguk, bergegas menuju perigi disamping rumah. Huh...airnya sedingin es, tak seperti air dirumah, yang selalu hangat setiap waktu, mau pagi buta, mau malam, tetap saja terasa hangat.
                Seusai sholat, sholat yang terlambat....aku duduk dikursi pentil yang ada diberanda. Ah...kokoh nian ini kursi, dari aku kecil sampai sekarang, tak reot rangkanya, hanya warnanya yang tentu saja memudar, dan kulit besinya sudah banyak yang mengelupas, seingatku dulu kursi ini berwarna biru, namun sekarang berubah menjadi putih bening. Aku memandang kosong ke jalan aspal kecil yang membujur dihadapanku, tak banyak kendaraan maupun orang berlalu lalang. Tak seriuh dan tak sepadat di Surabaya, tentu saja...ini hanyalah sebuah kampung yang masih merangkak-rangkak mengejar segala ketertinggalan, ketertinggalan yang diam-diam aku syukuri dikarenakan rasa bosanku pada gedung-gedung pencakar langit yang berhimpitan dan udara yang selalu saja kelabu. Malah dalam hati, aku berharap kampungku tetaplah menjadi sebuah kampung yang jika pagi tiba, aroma tanah yang segar dan embun-embun yang merambati pucuk dedaunan menyebarkan aroma kesegaran yang melonggarkan setiap rongga tubuh. Yang jika senja datang, langit dipadati serombongan burung plekok yang membentuk formasi V terbang berjejer untuk kembali pulang kesarang. Yang jika malam tiba, suara orang mengaji di surau timbul tenggelam bersahutan lirih, dan kunang-kunang bisa dijumpai dengan mudah menyembul riang diantara kelopak-kelopak bunga sepatu. Aku tak berharap kampungku cepat bertransformasi menjadi sebuah perkotaan dengan segala kegaduhannya.
Aku menyesap secangkir kopi hitam, merasakan aromanya, lalu kehangatan yang mulai merambat dalam rongga dada. Suara kliningan kalung sapi menarik perhatianku, kudapati sebuah gerobak yang dihela seekor sapi melintas, diatas gerobak seorang lelaki paruh baya sehitam arang menjadi saisnya. Gerobak itu meninggalkan setumpuk tahi sapi yang jatuh berceceran seakan memberi jejak. Tak lama... kumbang tahi dan lalat hijau berebut tempat mengerubuti tumpukan tahi itu. aku mengalihkan pandangan untuk mengalihkan rasa jijik, karna tak terbiasa. Seorang perempuan sedikit muda, bersarung dan berkaus biru memanggul sekeranjang sayuran dikepalanya, ia menoleh dan mengangguk kepadaku....amiittt.....aku membalasnya dengan anggukan dan senyuman. Keramahan khas kampung yang tak lekang, adab yang mengajarkan untuk sekedar menyapa atau mengangguk jika melintas didepan rumah orang. Sejurus kemudian sebuah pick up hitam merayap dengan kecepatan sedang, didalamnya duduk dua orang... laki-perempuan...tanpa obrolan. Si lelaki yang duduk dibelakang kemudi, ketika tepat berada didepan rumah...menoleh....aku terkesiap, sepertinya tak asing dimataku, tatapan mata yang sangat familiar. Kurasa dia pun merasakan yang sama, dahinya mengerut, ujung alisnya beradu, sampai pick up nya menjauh tak lepas tatapannya ke arahku, perempuan disampingnya tak mengetahuinya, ia tetap duduk kaku menatap kedepan. Pick up itupun menghilang dibalik pepohonan perindang dilajur jalan....menyisakan degup yang muncul tiba-tiba.
“wak....”
“hmmm....”
“apa kabar si Yusuf..???” sunyi...tak ada jawaban, lalu derap langkah kaki perlahan mendekat. Perempuan pemilik kaki rapuh itu menjejalkan pantatnya di kursi pentil yang berada disebelahku.
“ku kira kau tak akan menanyakannya....enggan mungkin...”
“tadi kulihat laki-laki serupa dengan dia...”
“pakai motor, apa pick up?”
“pick up....”
“hitam...?”
Aku mengangguk, kujumput sepotong ubi jalar rebus yang masih mengepulkan asap disebuah piring seng yang terdapat di meja kecil disampingku. Uwak memang merebuskannya untukku, katanya mencabut dari kebun yang ada dibelakang rumah. Aroma ubi itu khas, dan rasanya sangat manis.
“anaknya sudah tiga sekarang Mar, sukses dia sekarang. Sawahnya banyak, belum lagi dua buah toko kelontong di pasar semanding...”
“kau ingat Haji saleh...juragan gabah di kampung krajan?? Dialah mertua Yusuf. Kau ingat pula Zubaidah, anak keenamnya, yang dulu kalau sekolah tak pernah bersisir rambutnya, dan kau bilang baunya seperti terasi dibakar....” aku dan uwak tergelak pelan.
“itulah istri Yusuf, Mar....” uwak menarik nafas panjang, dijumputnya selembar sirih yang lalu diatasnya ditaruh sejumput kapur sirih, pecahan biji pinang dan sedikit taburan cengkeh, digulungnya dengan sedemikian rupa lalu dijejalkannya kedalam mulutnya, suara kunyahan parau terdengar.
“meski tak kerap, sesekali Yusuf menengokku Mar.....kedatangannya selalu membawa buah tangan, tak enak hati aku jadinya. Sebagai imbalan, aku kerap menceritakan perihalmu Mar, meski tak sekalipun ia menanyakan...”. uwak menyemburkan cairan dari ludahnya, berwarna merah menyala.
“sebagai orang tua yang telah banyak menyesap ragam kehidupan, aku tahu Mar...sangat tahu...Yusuf tak pernah menyisihkanmu dalam hatinya”
“ah....sudahlah wak....masa lalu...”
“bagaimana dengan istrinya wak....pernahkah Yusuf membawanya kemari, untuk sekedar dikenalkan??”. Uwak menggelengkan kepalanya.
“kudengar, tiga tahun yang lalu Yusuf hendak menceraikan istrinya...” aku menoleh ke arah uwak yang tatapannya justru tertumpu pada setumpuk kayu kering yang tersusun rapi di para-para. Sejurus kemudian uwak menyemburkan cairan berwarna merah, meludahkannya tandas, membuat cipratan-cipratan merah ditanah. Lalu kembali menjejalkan segulung kecil tembakau kedalam mulutnya, digosok-gosokkanya tembakau itu keseluruh permukaan giginya.
“aku maklum....orang kampungpun maklum....tabiat istrinya seburuk rupanya. Aku tak habis pikir, apa yang Yusuf lihat dari wanita itu, padahal sedari muda sudah terang benar tabiatnya. Kusangka....dulu Yusuf menikahinya karena melarikan diri dari sesuatu, tapi entah apa....”. keriuhan menyela, keokan ayam betina yang terbirit-birit dikejar ayam jantan yang menanggung birahi, mengalihkan percakapan. Ayam betina itu memberontak ketika paruh ayam jantan mematuk kepalanya. Si betina meloncat dan terbang keatas tumpukan kayu dipara-para, sang jantan tak menyerah, disusulnya si betina...si betina tersudut lalu tak dapat berkutik ketika beban tubuh sang jantan menindih kuat tubuhnya.
“sudahlah wak.....tak baik membicarakan rumah tangga orang lain...”
“astaghfirullaahhh.....kau ni yang cari gara-gara, kenapa pula kau menanyakan Yusuf yang membuatku akhirnya tak dapat menjaga lidahku” uwak melemparkan kesalahan padaku, aku tergelak pelan.
“tandaskan kopimu, segeralah ke makam, tuntaskan keinginanmu menyesap kampung ini, sebelum kepulanganmu ke kota esok....” aku mengiyakan perkataan uwak, menyisakan cangkir dengan ampas kopi, lalu beranjak meninggalkan perempuan tua itu.
**********
                Bukit hijau kecil itu masih menggunduk dibalik persawahan dan rimbunan pohon asam yang banyak tercecer di sepanjang jalan. Meski kudapati tak seterjal dulu, tapi keindahannya tetaplah tak dapat dipudarkan usia dan waktu. Dikaki bukit itulah kedua orang tuaku terbaring, bersama tubuh-tubuh tak bernyawa lainnya yang namanya hanya dikenali lewat batu-batu nisan yang telah lumutan.Tiga hari yang lalu orang tuaku menyambangiku lewat mimpi, meski hanya menyodorkan senyuman, namun ada semacam pertanda dengan makna tersembunyi yang kutangkap. Ada rasa bersalah yang lambat kusadari, bahwa sudah tiga tahun lebih aku tak menjenguk makam orang tuaku. Maka keesokan harinya aku cudak dari kantor dan pamit pada suamiku untuk pulang kampung dua hari saja, dengan tujuan menengok makam kedua orang tuaku.
Disinilah aku sekarang, setelah menaburkan irisan daun pandan bercampur dengan bunga kenanga, bunga gemitir dan bunga kantil diatas kedua pusara, aku takzim menundukkan kepala, memanjatkan doa kepada sang pencipta agar arwah kedua orang tuaku ditempatkan ditempat yang layak. Selesai berdoa, kuusap perlahan nisan putih yang memudar, mengharu biru dalam pendar sketsa wajah kedua orang tuaku. Tiba-tiba dari kejauhan kudengar suara deru sepeda motor melaju, suaranya mendekat, semakin mendekat, mendekat, lalu berhenti seperti tepat dibelakangku, terdengar suara motor dimatikan. Aku palingkan wajah mencari asal sumber suara, didepan pintu makam yang letaknya hanya sepelemparan batu dari tempatku jongkok, berdiri seorang laki-laki tegap dengan bertopi hitam. Aku tak mengenalnya, namun tatapan mata lelaki itu mengarah kepadaku....ya kepadaku, karena kulihat sekeliling tak tampak keberadaan orang lain di area pemakaman selain aku. Dan ketika lelaki itu membuka topinya....teranglah penglihatanku....darahku berdesir perlahan, dan aku sedikit mengumpat dalam hati. Kuhampiri laki-laki itu yang kini tengah bersandar pada sepeda motornya.
“kau kah itu Yusuf..???”
“apa kabar Mar....” suaranya tersangkut ditenggorokan, tingkahnya secanggung anak Tk yang baru pertama kali tampil kedepan, tangannya memilin-milin topi hitamnya. Aku tersenyum....sama kikuknya.
“tadi pagi waktu hendak kepasar, saat melintas didepan rumah uwak....kusangka ada yang silap pada penglihatanku, hatiku tak tenang ingin memastikan. Aku kembali ke rumah uwak kemudian untuk bertanya, dan uwak membenarkan bahwa pandanganku tak salah. Dan kesinilah aku menyusulmu....”.
Disisi kiri dekat pintu makam, ada sebuah tempat duduk semen setinggi lutut, yang sengaja dibuat untuk para peziarah yang ingin menikmati panorama bukit atau hamparan sawah yang menghijau seusai ziarah kubur. Panjang tempat duduk itu cukup untuk diduduki tiga atau empat orang, mirip halte namun tak beratap, dibawahnya...tepatnya disisi belakangnya, melajur selokan kecil yang airnya tak menutupi isi dan dasar selokan, seperti aquarium sehabis dibersihkan. Disanalah kami duduk, sedikit membuat jarak, sehasta mungkin....
“kira-kira 20 tahun ya suf....??” laki-laki itu tak menjawabku, kucuri pandang lewat ekor mataku, tak banyak perubahan yang kudapat, mungkin sedikit lemak yang menggantung di pipi dan perutnya, namun justru itu membuatnya kelihatan lebih segar daripada yang kujumpai dalam mimpi.
“berapa anakmu sekarang, Mar?”
“dua...”
“kenapa tak kau ajak anak dan suamimu ?...aku ingin mengenalnya..”
“aku hanya sekejap, esok pagi sudah balik lagi...”. lelaki itu memandangku, mengerjap...lalu bangkit.
“aku ingin menunjukkan sesuatu padamu, mumpung kau disini....mumpung kita diberi kesempatan untuk bertemu, yang mungkin tak kan pernah lagi”. ia meraih tanganku, sedikit menyeretku untuk mengikutinya. Aku menepis genggamannya perlahan...mata kami saling beradu....diam...lalu ia meneruskan langkahnya, dan aku mengekor dibelakangnya. Kami melewati beberapa pematang sawah yang arahnya ketimur, sedikit berbelok untuk melingkari bukit. Setiba dibawah pohon asam yang besarnya dua kali lipat pelukan orang dewasa, ada bayangan dua remaja tanggung...laki perempuan....duduk bertumpu pada akarnya yang mencuat keluar. Si lelaki menyelipkan setangkai bunga bakung pada lipatan rambut sebelah kiri wanitanya....wajah lelaki remaja itu serupa Yusuf, dan wanitanya serupa denganku. Lalu kemudian bayangan remaja itu bias dan pecah, terberai oleh hembusan angin yang tiba-tiba berdesir menerpa wajahku. Ku terka Yusuf pun melihat bayangan yang sama, ada helaan nafas yang berat tersendat-sendat dari rongga hidungnya. Yusuf tak bersuara....aku menelan ludahku perlahan.
Kami terus melanjutkan perjalanan ke arah timur, dalam diam. Kira-kira lima puluh langkah, tibalah kami pada tanah lapang yang ketika kuperhatikan letaknya berada diantara bukit dan jalan raya.
“Masih ingat tempat ini Mar..?”
“ya....tempat kita dulu kerap menghabiskan waktu seusai Madrasah. Benteng-bentengan, sodor pasang, kasti....” aku tergelak mengingat semua.
“sekarang ini tanahku Mar....”
“sukses kau sekarang Suf....”
“tidak....aku terpuruk, pengecut, pecundang...”Yusuf menghentak sebatang rumput dengan kasar, meremasnya, lalu membuang mukanya dariku.
“ketika kau tak lagi membalas surat-suratku Mar, aku bertekad selepas SMA akan menyusulmu kekota. Namun tak kudapati kau disana, kata tetanggamu yang berwajah bulat itu, kau telah pindah. Aku kebingungan, tersesat dalam rimba kota yang sama sekali tak pernah kukenal. Berbekal ijasah SMA ku, aku mencoba bertahan dikota, mengais pekerjaan sambil berharap jejakmu dapat kutemukan. Namun kau seperti menghilang ditelan bumi, dan kota tak memperlakukanku dengan baik. Aku frustasi Mar....ke-tidakramahan kota masih bisa kutanggung, namun menyadari kehilanganmu untuk selamanya membuatku merasa terdepak dan tak diinginkan oleh dunia...”
Aku hanya mampu diam, tak dapat kujelaskan bagaimana dulu kudapati kedua orang tuaku menyita dan membakar surat-surat yang Yusuf kirimkan.
“aku kembali kekampung Mar, kuyu seperti seorang panglima yang kehilangan panji dan dipermalukan diarena pertempuran. Di kampung aku mengolah sebidang tanah warisan emak yang tak seberapa, merintis usaha kelontong kecil-kecilan. Lalu ada seorang Haji kaya raya yang mencari lelaki untuk dijadikan menantunya, untuk menutup aib yang dicorengkan anak perempuannya didahinya. Aku terima Mar, karena bagiku hidupku adalah kehampaan, dan jiwaku sudah lama mati...”. suara Yusuf bergetar....ada setitik air disudut mataku yang kutahan agar tak tumpah. Yusuf meraih pundakku, saling berhadapan, saling menatap lekat.....
“aku membeli tanah ini Mar, semata untuk mengekalkan kenangan akan kamu yang masih tersisa. Karna sampai saat inipun tak beres-beres ingatanku untuk menghapusmu. Ditanah ini aku berencana membangun sekolah Taman kanak-kanak, menampung bocah tak berpunya, tanpa memungut iuran wajib. Seperti cita-citamu dulu Mar.....”. bulir-bulir air itu tak mampu kutahan lagi, ia luruh perlahan menelanjangi perasaanku yang kututup-tutupi. Ibu jari dari sebuah tangan kasar menghapusnya....sunyi....aku tak ingin memperpanjangnya.
Ketika senja hampir usai, aku beranjak meninggalkan Yusuf, laki-laki itu terjejer dibelakangku dengan segala diamnya, sepanjang jalan pulang tak ada percakapan, seakan tak ada udara yang dihirup dan dilepas. Jika sesekali kakiku terpeleset ketika melintasi pematang, tangan Yusuf menyanggaku...sesaat, kami saling menepis....diam....
Sesampai didepan pintu pemakaman, dimana motor Yusuf terparkir semula. Aku hanya bisa menyeru namanya perlahan...
“Suf....ak...” sebuah bibir melumat ujung bibirku lembut, menghentikan kata yang ingin kuujar. Untuk sesaat jantungku serasa berhenti berdetak.
“tak usah kau katakan apa-apa Mar....aku tahu semua adalah masa lalu, aku hanya ingin kau tahu bahwa aku tak pernah berhenti mencintaimu, sampai saat ini’
“maaf Mar, aku tak bisa mengantarmu pulang....aku tak ingin orang kampung mendapat bahan obrolan untuk mereka gunjingkan, tahu sendiri tabiat mereka. Salam ya buat uwak.....salam juga buat keluargamu dikota”. Kami berpisah....dalam ketercanggungan....sama seperti tadi ketika kami kembali bertemu. Motornya menjauh meninggalkanku.
                Keesokan paginya, sebuah becak mengantarku ke terminal. Ketika melintas didepan sebuah toko kelontong yang besar, ditengah riuhnya suasana pasar. Seorang laki-laki memanggul bocah perempuan kecil dipundaknya. Laki-laki itu melambai dan tersenyum padaku....aku membalasnya, lalu membuang pandangan kedepan dan tak lagi menoleh kebelakang. Suara derit becak terngiang-ngiang ditelingaku, berkejaran dengan deru nafas  sang pengayuh yang tersendat-sendat karena beban muatan.

Rabu, 30 November 2011

SELINGKUH MALAM


SELINGKUH MALAM

Boleh jadi malam melebam
Karena mendung menghisap gemintang
Boleh jadi langit memeluk durja
Karena rembulan tak lagi tertawa
Lalu, masihkah kau tampak elok
Wahai malam...?
Kala bulan dan gemintang kehilangan benderang
Lalu, masihkah kau tampil rupawan
Wahai pekat....?
Dipeluk langit memar yang liat
Angin lincah menderas
Menggiring hawa dingin yang membilas
Semakin malam tampaklah mencekam
Namun tiba-tiba, barisan kafilah kunang-kunang
Mencoba menyapa
Maka sambutlah mereka tanpa prasangka
Biarkan pendar cahayanya memerca
Menikam kemurungan malam yang gulita.