Emak
terkantuk-kantuk diatas ambin bambu, tiduran dengan posisi miring, tangan
kanannya menopang berat kepalanya, sedang tangan kirinya menepuk-nepuk pantat
si kecil rohim, anak bungsunya yang umurnya belum genap dua tahun. Sebelah
payudaranya dikeluarkan menggelantung, sedang putingnya membelesak kedalam
bibir mungil si bocah. Didalam hati emak merasa kesal, sudah hampir sejam Rohim
mengisap dan menguras air susunya, tapi anak itu belum jua terlelap nyenyak,
padahal puting susunya sudah terasa bengkak dan ngilu. Mungkin karena cuaca
diluar terik dan panas, sehingga udara dalam rumahpun terasa panas dan gerah,
terbukti dari banyaknya keringat yang bercucuran disela-sela tubuhnya,
begitupun pada tubuh mungil disampingnya. Bocah itu sedikit gelisah, meski
matanya terpejam, tapi tangan dan kakinya kerap bergerak-gerak. Sesekali emakpun
mengipas-ngipas berusaha menangkap udara dengan ujung kain gendongan yang
sebagian masih melilit ditubuhnya.
Tiba-tiba sayup
terdengar suara derap langkah kaki bergegas mendekat, kian lama kian terasa
dekat, lalu kemudian terdengar suara pintu depan dibuka dengan keras dan
serampangan.
“Mak….mak….”
suara serempak berbarengan menyeruak masuk dengan keras.
Ssttt….sssttt….emak
menangkupkan jari telunjuknya dibibir, matanya sedikit melotot kearah dua
pemilik suara itu. Nur dan soleh, anak pertama dan keduanya itu seketika
terdiam, mengerti. Namun dengan tersenyum-senyum simpul, soleh
mengacung-acungkan sebuah bungkusan ditangannya, Nur pun tak kalah
sumringahnya. Lalu keduanya berjingkat-jingkat menuju kursi kayu disebelahnya,
dan meletakkan bungkusan yang dibawanya diatas meja. Kedua kakak beradik itu
duduk saling berhadapan, mata mereka tak lepas dari bungkusan didepannya.
Bungkusan itu berupa sebuah tas kresek bening transparan, yang didalamnya
berisi kotak kardus kecil warna merah, seperti kotak nasi pengajian tapi lebih
kecil.
“tunggu emak
dulu…” kata Nur dengan suara pelan, sang adik menganggukkan kepala masih dengan
senyum mengembang penuh dibibirnya. Tak lama, terdengar suara ambin berderit
dibelakang, akhirnya emak berhasil juga menidurkan si kecil, emak beringsut
turun dari ambin sambil menjejalkan sebelah payudaranya kedalam kutang hitam
buluknya, lalu mengancingkan bajunya. Dengan langkah sedikit terhuyung karena efek
dari terlalu lama tidur miring, emak menghampiri kedua anaknya yang masih juga
lekat menatap bungkusan didepannya.
“apa yang kalian
bawa itu??”
“ga tau mak, bu
Edi yang ngasih, katanya mbak Vina yang bawa tadi malam sepulang kerja, dan
katanya juga, dirumah bu Edi sudah ga ada yang mau memakannya, bosan” sahut
Nur.
Emak mendekat
lalu menghempaskan tubuhnya dikursi kayu disamping Nur, ikut menatap lekat
bungkusan itu.
“Emak, saja yang
buka….cepetan mak, itu pasti makanan” soleh sudah tak sabar ingin mengetahui
apa gerangan isi dalam kotak merah itu.
Suara pintu
terbuka, bersamaan dengan dikeluarkannya kotak merah itu dari dalam tas kresek,
serentak ketiganya menoleh, ah rupanya bapak pulang. Seorang laki-laki paruh
baya hitam legam dengan baju yang basah oleh keringat, masuk sambil mengucapkan
salam perlahan.
“sedang apa
kalian?” Tanya laki-laki itu
“sini pak, duduk
dekat soleh, yang dimeja itu makanan pak….makanan orang kaya”. Bapak tak segera
duduk, melainkan membuka baju lusuhnya lalu menggantungkan bajunya pada paku
yang tertancap didinding dekat pintu kamar. Sekilas dilihatnya rohim anak
bungsunya tertidur pulas diatas ambin. Ruangan itu memang tak bersekat,
dibagian depan terdapat kursi-kursi kayu yang ditata sedemikian rupa, dan
dibagian belakangnya sebuah ambin bambu diletakkan menempel kedinding yang juga
terbuat dari bambu. Disamping ambin diletakkan sebuah meja kecil, dan diatas
meja itu ada sebuah kendi air minum yang terbuat dari tanah liat, air dalam
kendi itu selalu terasa sejuk terutama ketika cuaca sedang panas.
Bagi keluarga
miskin itu, ruangan tak bersekat berlantai tanah dan berdinding bambu ini,
memiliki arti tersendiri dan memiliki banyak fungsi. Sebagai tempat menerima tamu saat lebaran,
karena pada hari-hari biasa tak ada orang yang mau bertandang ke rumah reot
itu, mungkin takut jika tiba-tiba saja rumah itu ambruk dikarenakan posisinya
yang memang agak doyong. Kedua sebagai ruang makan, karena selain dapur mereka
sempit, juga karena satu-satunya meja dan kursi yang mereka miliki ya diruang
tamu itu. Ketiga sebagai tempat berkumpulnya keluarga, tempat Nur dan soleh
belajar, tempat bapak membersihkan arit dan cangkulnya, tempat emak mengeroki
punggung bapak ketika masuk angin dll. Hampir seluruh aktivitas keluarga itu
dilakukan diatas kursi-kursi kayu lapuk dan ambin bambu di ruangan itu. Rumah
itu hanya memiliki satu kamar saja, yang didalamnya terdapat sebuah ambin bambu
cukup besar, tempat emak, Nur, Soleh, dan
Rohim tidur, sedang bapak tidur di ambin luar.
Akhirnya bapak duduk disamping
Soleh, tangannya sibuk melinting tembakau. Nur dan Soleh dari tadi
bergerak-gerak gelisah, tak sabar ingin segera melihat isi bungkusan. Dan
akhirnya emak membukanya juga, semua kepala merubung mendekat. Dalam kotak
merah itu terdapat satu potong utuh penganan dan yang satunya lagi hanya
separuh. Mungkin sisa bu Edi yang tak habis memakannya karena bosan. Emak
mencuil kulit penganan itu, Nur dan Solehpun ikut-ikutan.
“ini tepung,
tapi rasanya enak dan gurih” ujar emak, Nur dan soleh mengiyakan. Lalu emak
mencuil bagian dalamnya, Nur dan Solehpun ikut-ikutan.
“ayam mak…ini
ayam…”Soleh terlonjak sambil berseru keras, matanya nyata sekali berbinar-binar
“sstt….pelankan
suaramu, nanti Rohim bangun” Nur mengingatkan adiknya itu, yang saking
girangnya sampai lupa bahwa ada Rohim yang sedang tertidur di ambin belakang.
“wah…rejeki
nomplok, kebetulan sekali hari ini emak hanya masak oseng genjer sebagai pauk”
“tapi jangan
dihabiskan semua ya mak….yang utuh kita bagi berempat, dan yang separuh untuk
Soleh nanti malam ya mak…” ujar Soleh sedikit merengek
“iya mak, Nur
juga mau..” Nur menimpali, emak mengangguk dan tersenyum. Kemudian mata emak
bersiborok dengan mata bapak, ada cakap bahasa yang hanya mereka pahami berdua
saja, bapak menghisap rokok lintingnya dalam-dalam, dan emak kemudian berlalu
ke dapur untuk menyiapkan hidangan, Nur mengekor dibelakangnya untuk membantu.
Sejurus kemudian, didalam piring seng keempat orang itu, ada menu tambahan
istimewa yang biasanya hanya mereka dapatkan pada hari-hari tertentu---lebaran
misalnya---itupun hasil dari pemberian tetangga. Ayam adalah lauk istimewa buat
mereka, dan sekarang mereka sedang menikmati lauk istimewa itu---bukan di hari
Lebaran--- meski masing – masing hanya mendapat bagian yang ukurannya tak
sampai dua kali ukuran jempol orang dewasa. Bahkan Emak dan bapak, porsi kulit
tepungnya lebih besar dari isi dagingnya. Ah…tak apalah yang penting daging
untuk Nur dan Soleh cukup. Melihat kedua anaknya lahap menyantap makanan siang
itu, mata emak langsung berkaca-kaca, dadanya sesak dan serasa tak mampu
mengunyah makanan dimulutnya. Bapak menangkap gundah itu, dengan isyarat
matanya seakan bapak ingin berkata: “sudahlah…tak perlu bersedih, nikmati dan
syukuri saja apa yang diberikan Tuhan hari ini”.
Hari hampir petang, sebentar
lagi matahari terhisap batas langit di sebelah timur. Di sebelah timur pula
awan-awan berwarna oranye mengambang sempurna. Semburat cahaya membilah-bilah
langit dengan indahnya, dan burung-burung plekok membuat formasi anak panah
hilir mudik untuk kembali kesarang, menambah sempurnyanya tampilan cakrawala.
Emak menimba air di perigi, meski terpisah tapi letaknya hanya sepelemparan
pandangan dari rumah. Suara timba ditarik berderit keras, ini karena
kumparannya jarang diminyaki. Emak mengisi air ke dalam gentong lumutan yang
bagian samping bawahnya sudah dilubangi, lubang kecil itu disumpal dengan
potongan kayu yang tentunya disesuaikan dengan ukuran lubang, agar air tak
mancur keluar. Dan gentong itu sendiri diletakkan disebuah batang kayu yang
dipasang berdiri sebagai penopang, kira-kira tingginya setengah badan orang
dewasa. Sehari-hari gentong itu dijadikan tempat menampung air untuk berwudhu.
“Nuurrr….Leeehhh….cepetan
ambil wudhu, gentongnya sudah mak isi…” dengan sedikit berteriak emak memanggil
kedua anaknya itu. Lalu tak lama dari pintu belakang rumah, muncullah Nur dan
soleh. Nur yang menggendong Rohim adiknya, segera mengangsurkan bocah kecil itu
kepada emaknya kembali. Setelah mengambil air wudhu, kedua anak itu kembali
memasuki rumah, melewati dapur yang kecil dan berjelaga disana-sini. Sampai di
ruangan utama, Soleh menyempatkan diri menengok ayam tepung “separuhnya” yang
emak sisihkan diatas meja kecil dekat ambin. “Ayam tepung” itu berada dalam
piring seng, berdampingan dengan kendi air minum. Mata Soleh mengerjap riang,
terbayang olehnya nanti sepulang dari mengaji di Langgar, daging ayam berbumbu
itu menari-nari dilidahnya, ah…..tak sabar rasanya….ia tak mengerti mengapa
hari ini rasa lapar begitu cepat hinggap diperutnya. Adzan maghrib sudah
bergema dari arah Langgar, sebelum berlalu Soleh mengerlingkan matanya kearah ayam
tepung itu.
Maka di Langgar, bocah laki-laki
berusia 8 tahun itu gelisah sangat. Duduknya tak bisa diam, huruf-huruf
Hija’iyah yang ia lafalkan dari bibirnya, tak mengena di hatinya. Pelajaran
Tajwid dari ustad Rasyid, tak satupun hinggap diotaknya. Benak Soleh dipenuh
dengan gambaran-gambaran ayam tepung itu. Dan ketika sholat Isya’ sampai pada
akhir salam, Soleh langsung mengendap-ngendap kabur untuk pulang. Sampai
dirumah, dengan nafas memburu dan ngos-ngosan Soleh langsung menuju ke meja
kecil tempat ayam tepungnya tadi diletakkan. Tapi….apa yang didapatinya, piring
sengnya kosong. Soleh mencari emak didapur, siapa tahu ayam itu sedang
dihangatkan oleh emak, tapi emak tak ada di dapur. Lalu ia kembali bergegas
mencari emak dikamar, dijumpainya emak tertidur disamping Rohim adiknya. Dengan
perlahan Soleh menggoyang-goyangkan kaki emaknya.
“mak….mak…”
sedikit tersentak emak bangun, lalu menoleh.
“ayamnya mana
mak…???”
“ayam apa…??”
“ayam tepung…”
“kan di samping
kendi…”
“gak ada
mak…!!”, emak langsung bangkit, perasaannya tak enak, karena emak baru ingat
bahwa tadi ia lupa menaruh penutup untuk ayam tepung itu. Jangan….jangan….
Mata Soleh
berkaca-kaca, hidungnya kembang kempis, dadanya naik turun menahan isak ketika
didapatinya emakpun tak menemukan ayam itu. Nur dan Bapak yang baru pulang dari
Langgarpun tak mampu berkata, ketika mengetahui bahwa ayam tepung itu raib.
Bapak masuk kamar mengambil senter kecil, lalu bergegas keluar rumah. Dengan
bantuan cahaya senter, mata tua bapak berusaha menyisir halaman gelap didepan
rumah, menyingkap rumpun-rumpun daun beluntas yang tumbuh sebagai pagar rumah,
menyibak tumbuhan kemangi dan kenikir, tapi apa yang dicarinya tak jua ia
dapati. Ini pasti ulah kucing, bathin bapak geram. Bapak harus segera
menemukannya, siapa tau belum terlambat, maka laki-laki tua itu menuju samping
rumah, menyinari tiap sudutnya.
Sampai dibagian
belakang rumah dekat perigi, disanalah bapak menemukan jawabannya. Seekor
kucing kurus belang coklat lahap menyantap potongan ayam tepungnya. Bapak
terlambat, karena kucing itu tak menyisakannya sedikitpun, hanya satu serpihan
tulang kecil, bapak menghela nafas berat.
Sudah tiga hari ini Soleh
murung. Senyumnya menghilang, tak bersemangat, dan ia menjadi pendiam. Tak
kurang kata Bapak, Emak dan Nur membujuknya, namun durja dimata bocah laki-laki
itu tak mau sirna. Emak merutuki dan menjadi benci sebab mula kejadian ini,
gara-gara ayam tepung “sialan” yang memiliki nama susah dilafalkan lidah itu,
anak laki-laki kesayangannya sekarang menjadi bersusah hati.
“Coba bapak baca apa
namanya ayam tepung itu, nanti emak coba kerumah bu Edi untuk menanyakan dimana
membelinya”, meski tak buta huruf, emak tak pandai membaca. Bapak meraih kardus
merah kecil itu, sejak kedatangannya dan meski isinya sudah tak ada, kardus
merah itu tak dibuangnya, Nur melipatnya rapi dan memajangnya disamping kendi.
“Kentukki….fri…et…ce-hi-ken…”
begitu bapak mengejanya. Tak paham pula apa itu artinya. Tak habis mengerti
pula, kenapa ada orang memberi nama makanan begitu susahnya. Bapak hanya
menggeleng-geleng, emak makin dongkol demi mendengar nama dari ayam tepung itu.
Ke-esokan
paginya, sambil menggendong Rohim, emak pergi kerumah bu Edi, untuk menanyakan
dimana tempat untuk membeli ayam tepung itu. Emak tak peduli meski malamnya
bapak sudah memperingatkan bahwa itu akan sia-sia saja, makanan itu makanan
orang kaya, dan harganyapun takkan mampu terbeli. Emak kekeh, tak ada ruginya
untuk mencoba menanyakannya. Dan karena emak tak pandai melafalkan nama makanan
itu, maka kardus merah bungkus ayam tepung itu dibawanya serta.
Sepulang dari rumah bu Edi, sepanjang perjalanan, serasa tak
berpijak kaki emak melangkah. Pikiran
emak melesat tak tentu arah, namun sayangnya hanya terpantul-pantul dalam kepalanya
saja. Kata bu Edi satu potong ayam tepung itu harganya
dua puluh ribu, itu berarti upah kerja bapak membersihkan ladang orang selama dua hari, itupun
jika ada yang menyuruh. Jika upah dua
hari itu dibelikan ayam tepung yang memiliki nama aneh itu, berarti selama dua
hari pula mereka tak bisa membeli beras. Terus mau makan pakai apa...masak ayam
saja, yang tentu tak kan mungkin mengenyangkan perut, dan habis sekali kunyah
saja. Selebihnya terpaksa harus berpuasa. Mau ngutang beras di warung emak malu,
catatan bonnya sudah panjang seperti ular, mau menjual barang.....ga ada satupun barang berharga yang bisa dijual. Emak pusing tujuh keliling,
kalau ia tak bisa membeli ayam tepung itu, berarti emak akan kehilangan senyum
ceria anak lelaki kesayangannya dalam waktu yang entah sampai kapan, dan emak
tak mau itu. Sepanjang jalan, emak berpikir keras bagaimana caranya untuk
mendapatkan uang tambahan, berkali-kali kakinya terantuk batu karena emak tak
fokus jalannya. Dalam gendongannya Rohim tertidur terpantul-terpantul, bibir
mungilnya tak mau lepas dari puting emaknya.
Dalam kegalauannya tiba-tiba ada suara lelaki yang memanggil emak. “mak
Munah...mak Munah...”, rupanya laki-laki itu pak Sanip, juragan kacang. Emak
datang menghampiri pak sanip yang berdiri di samping pick up hitamnya.
“ada apa gan...??”
“gini mak....Romlah pegawai saya ijin pulang kampung tiga hari, jadi saya
kekurangan orang untuk ngupas kacang, kalau mak Munah mau, emak bisa gantiin
Romlah sementara, gimana mak...” tanya juragan Sanip. Tanpa berpikir dua kali
emak langsung setuju mengiyakan, dan dengan hati-hati sedikit meminta pada
juragan Sanip untuk bersedia membayarkan upahnya dimuka. Emak menceritakan
peristiwa “ayam tepung” yang menyusahkan hatinya saat ini. Untunglah juragan
Sanip orang yang baik, ia mengabulkan permintaan emak, bahkan juragan memberi
tambahan lima ribu. Emak senang bukan kepalang dan berkali-kali mengucapkan
terima kasih pada juragan Sanip.
Emak tak jadi pulang, dengan sedikit bergegas emak
kembali menuju rumah bu Edi, ia harus segera, dalam benaknya emak takut warung
yang menjual ayam tepung itu keburu tutup, karena hari telah memasuki waktu
Ashar. Tangannya saat ini menggenggam uang sejumlah dua puluh lima ribu rupiah.
Emak tak peduli bahwa untuk itu tiga hari kedepan jemari tangannya akan melepuh
karena harus mengupas biji-biji kacang. Lima ribu rupiah untuk 10 kg biji
kacang, Ah....biarlah, itu urusan belakang. Sesampai dirumah bu Edi, emak
kembali memohon agar bu Edi bersedia membantunya. Bu Edi tersenyum, lalu segera
menelpon Vina anaknya, agar membelikan titipan mak Munah sepulang kerja nanti.
“jangan khawatir mak, nanti sekalian saya suruh Vina mengantarnya kerumah
emak, sekalian lewat bukan...!!”
Emak tak tahu harus berkata apa lagi, hatinya mengharu biru, sepanjang
jalan pulang dari rumah bu Edi, tak henti air matanya mengalir, Rohim si bungsu
dalam gendongan belum mengerti apa yang telah terjadi, mata mungilnya hanya
bisa menatap wajah tua emaknya basah oleh air mata.