INI SERABI AROMA PANDAN, KAWAN

IMPERIUM OF ME



Sabtu, 30 Juli 2011

.....SAILING......

Aku menyepi dan menepi,menyudut dan membuat percakapan dengan diri sendiri
kembali menyapa, merenung hati.Dalam gelap mencari sesuatu bernama hakiki.
bajuku sudah lusuh, celanaku kian kumuh. Tiba saatnya berbenah membersihkan diri dari segenap nohtah. Sudah terlalu lama kularut dalam pesta, tenggelam tubuh ini sampai ke dada. maka ketika kepikukan berubah jadi hampa, aku mesti beranjak mundur dari sang fana.

Lihatlah, badan kapalku mulai retak, layarnya terkoyak dan lecak, dayung tak lengkap, kemudi tak jangkap. Sauhku terlalu lama terantai, lupaku akan waktu yang terus mengintai, tak ingatku akan tenggat yang mesti tercapai, sedang bekal yang tergenggam hanya seuntai.

Maka kubujuk nurani tuk sigapkan langkah, bergegas...kusingsingkan lengan, tangkas. Sudah saatnya mengayuh kembali, demi sepotong hidup yang berarti. Aku lipat sgala ragu, ku kemas segenap rindu, kudepak seluruh benci, kuhancurkan semua iri. Kuputuskan mengangkat sauh...dan berlayar jauh...jauh....

Kamis, 28 Juli 2011

KEPAK SAJAK

Senja meniti, beranjak ku ke dangau menyapa sepi. Menggeliat dan meronta dalam sendiri. Aku duduk melipat dagu, meraut Tanya agar tak keliru. Apakah dalam setiap guna tubuhku, mesti harus kamu yang memandu.

***
Karna dalam kedipku ada kebimbangan yang nyata. Dalam helaan nafasku ada gundah tak terbaca. Maka kulempar sgala risau ke ngarai, kubuang segenap lara kehutan, kularung seluruh nyeri ke pantai. Namun tetap saja aku meragu dan merindu.

***
Aduh, ada duri tertancap diujung jari kaki. Aduh, ada sirip ikan tersangkut ditenggorokan. Ku bekap bibir agar tak mengaduh, ku pinta ludah berhenti mengeluh. Koyaklah bila ingin, cabiklah bila mungkin. Biarkan rasa perih tergenapi. Biarkan pedih terpenuhi. Aku hanya akan menyesap tak peduli.

***
Buku ini pemberianmu. Kusibak, mengais kata, lalu luka. “bacalah” katamu, setiap bait akan kau jumpai aku, maka kamu tak kan lagi mendekap sembilu. Aku tersenyum dalam getir, meremas bukumu yang berbau anyir, setiap huruf dan kata menebar luka. Bagaimana aku bisa lari dari gulana. Demi setiap nektar dalam hatiku, semua kularung menuju pintumu. Bukalah jika ingin kau buka. Tepiskan bila tak ingin ditampa

PAHIT

Aku ingin berlari

dan tak sejengkalpun kakiku beranjak

aku meronta

dan hatiku kian terjerat

aku menjerit

namun suaraku kian tak terdengar

aku limbung dihantam perasaan

yang tak bertuan

dan tak jelas kemana arah muaranya

aku diputar dan dipermainkan nasib

seharusnya aku mampu mencengkram

karna kendali di genggaman

namun aku terlalu rapuh untuk

melawan rasaku sendiri.........

VIRUS

Aku benci mengakui.......

bahwa kamu ibarat sirkuit kecil

yang mendiami salah satu sudut

paling gelap dan sempit dalam otakku

namun mampu mengendalikan seluruh pikiranku

Aku benci menyadari.........

bahwa dalam ingatku, lupaku, bicaraku, diamku

kamu selalu saja tersebut dan terselip

kamu adalah candu yang meracuni dan mengalir

dalam darah dan dagingku

kamu adalah udara yang terhisap dan terhela

aku terantai, terbelenggu, terpasung

dalam euforia yang memabukkan dan menyakitkan

dan sungguh.....aku benci itu.......

Senin, 25 Juli 2011

KETIKA CINTA BICARA (NDANG NGOMONGO....)

“Dasar lonte…” suaranya menggelegar, matanya semerah saga, urat-urat lehernya menegang dan giginya gemerutuk. Aku mengerut terhimpit diantara dinding dan gempal tubuhnya. Tangan kirinya mencengkram dan menekan bahu kiriku ke dinding, sedang tangan kanannya terangkat mengancang hendak melayangkan tamparan. Jauh dilubuk hati aku gentar, namun harga diri memaksaku untuk tetap menantang matanya dan menegakkan badan. “ ayo pukul aku…” meski ku kuat-kuatkan tetap saja ada nada gentar tersembunyi dari suaraku, mataku lekat menatap matanya tak mau kalah, meski tetap tak bisa kututupi ada selaput kaca tipis didalam. “Dari dulu aku memang lonte, sama bajingannya seperti mas, apa mas pikir aku bahagia hidup dengan laki-laki yang suka mencelupkan penisnya dimana-mana” semburan histeris lantang keluar dari mulutku, dan air mata sudah tak mampu lagi aku bendung. Aku terpekik dan terpejam saat tangannya mulai melayang, menunggu rasa sakit yang mungkin akan mendarat di wajah, namun kemudian yang terdengar hanya suara dinding yang menggeretak disampingku karna hantaman, disertai suara teriakannya yang tertahan. Kudapat rasakan tubuhnya bergetar kuat, nafasnya memburu mengandung rasa frustasi yang hebat. Sedang aku tersuruk diantara ketakutan dan kepedihan yang sangat, kakiku tak mampu menahan berat badanku, maka saat dia melepaskan cengkramannya, aku luruh dalam keterguncangan, terisak hebat menahan hati yang sesak. Terdengar suara pintu dibanting dengan keras seiring dengan langkahnya yang jua hilang disergap malam. Aku meringkuk disudut ruangan, bahuku terguncang guncang karena tangisan, gemetar masih terasa. Lalu yang tertinggal hanya hampa, sepi, yang tersisa hanya lirih detik jingkat jarum jam dan suara samar musik dangdut yang berasal dari kamar sebelah. Untuk beberapa saat aku bertahan dalam posisiku, meringkuk memeluk lutut, menumpahkan segala kesal, gundah, benci, risau, takut dan nestapa, semua bercampur aduk, menyatu dan berkoloni dengan rinainya air mata. Meski pertengkaran ini bukan yang pertama kali, namun tetap saja aku tak pernah bisa menahan setiap guncangan, mungkin karna aku sudah terlalu lelah pada sikapnya yang sampai saat ini tak pernah berani menentukan pilihan, sedang rasa cintaku pada laki-laki itu mulai menuntut kejelasan. Akhirnya, ketika linangan mulai mengering, gemetar menguap, aku bangkit dan tersuruk-suruk menuju kamar, jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Aku lelah, penat, sekujur tubuh terasa linu, setelah dipermainkan oleh jeram-jeram katarsis, kuhempaskan tubuhku diatas kasur, dan dengan cepat terjatuh dalam tidur.
Aku terjaga ketika samar terdengar suara derit pintu terbuka, bilah-bilah cahaya yang menembus fentilasi kamar menyilaukan mataku. Belum genap ku mengumpulkan kesadaran, tiba-tiba saja sesosok tubuh jatuh bedebam disampingku. Matanya terpejam, suara igauan tak tak karuan terdengar sayup dari mulutnya yang bercampur dengan aroma alkohol, masam bau tubuhnya terbawa angin dan tertangkap cuping hidungku. Aku menghela nafas, sudah terbiasa dengan adatnya, setiap usai bertengkar denganku, dia akan menghilang dan baru pagi hari akan pulang, membawa remah sisa aroma minuman keras dimulutnya dan ceracau yang ditemani tubuh yang sempoyongan. Aku masih enggan beringsut dari tempatku berbaring. Kupandangi sosok lelaki didepanku yang kini sudah lelap terjatuh dalam dengkuran, kutelusuri setiap lekuknya, mulai dari wajah sampai pangkal pahanya. Lihatlah rahang pipi itu, biasanya mengeras tajam saat berbicara, tegas dan kasar, namun ada kelembutan yang tersembunyi, aku tahu. Lihatlah kedua bibir itu, sedikit menghitam terkorosi oleh rayuan tembakau, namun saat melumatnya aku merasa dihargai sebagai seorang wanita. Lihatlah urat leher dan dada bidangnya, dalam tiap geraknya terlukis keteguhan dan beban berat yang harus dipikul. Lalu mataku menelusuri pangkal pahanya, dibalik celana panjang itu terbungkus urat-urat kokoh yang harus ditegakkan untuk menantang amarah dunia, dan disela pangkal itu ada kejantanan yang dalam setiap hujamannya, aku tak pernah merasa terancam dan dilecehkan.
Aku menerawang, menatap langit-langit kamar yang warnanya kian kusam. Seketika ingatanku tercerabut , menembus lorong waktu untuk kembali pada dua tahun silam. Aku masih ingat ketatnya rok mini, baju tanpa lengan, serta aroma parfum murahan yang kukenakan saat pertama kali berjumpa dengannya. Aku sedang berdiri dipinggir jalan, menjajakan diri dibawah lampu jalan yang bohlamnya sudah mati dan tiangnya karatan, maka cahaya yang didapat hanya bias lampu 5 watt dari warung remang-remang sebelah, dan dari siraman cahaya bulan. Sengaja kupilih tempat yang agak gelap, agar tak terlalu menarik perhatian para pengguna jalan yang tak memerlukan jasaku, atau petugas trantib yang bisa tiba-tiba saja muncul. Para lelaki hidung belang yang menjadi pelanggan sudah tahu area ini, jadi untuk pemasaran, aku tidak khawatir. Maka ketika purnama berubah sabit, dan malam beranjak menua, saat itulah nasib mulai membuka alinea baru dalam hidupku. Laki-laki itu menghampiriku, menyapa, menawar, membuat kesepakatan dan transaksi terjadi. Mulanya semua biasa, aku memperlakukannya seperti pelanggan biasa lainnya. Namun saat bersenggama dengannya, aku mulai merasa ada yang tak biasa. Dia tidak memperlakukanku sebagai seorang pelacur, tapi selayaknya seorang wanita. Dia menjamahku dengan kelembutan dan rasa hormat. Tidak seperti lelaki lainnya yang hanya menjadikanku sekedar ladang untuk melampiaskan benihnya. Meski usapan tangannya terasa kasar menandakan khas tangan pekerja, tapi malam itu aku kembali merasakan indahnya bersenggama setelah bertahun lamanya tak pernah kunikmati sejak perceraianku dengan suamiku. Sejak saat itu dia menjadi pelanggan tetapku, seusai berjibaku dengan truk dan sgala muatannya, dia melepaskan penat bersamaku. Bahkan terkadang aku menyambanginya dipangkalan, ketika rindu tak tahan lagi untuk bertemu.
Dan, permainan hatipun dimulai, meski aku tahu dia sudah beristri, tapi cinta membuatku buta dan tuli. Aku menggenggamnya erat, dia mencengkramku kuat, maka aku merelakan hidupku diinvasi oleh cinta yang penuh ketidak pastian. Dia memintaku berhenti melacurkan diri, bersedia menafkahi dan menyewakan aku sebuah los kontrakan sempit sebagai tempat berteduh. Maka dimulailah segala pergumulan hidupku bersamanya, manis, asam, getir, pahit. Tawa, tangis dan pertengkaran tak pungkiri kerap terjadi, dan sekasar apapun dia padaku, tak pernah seujung rambutpun aku disakitinya, itu yang membuatku makin meneguhkan hatiku.
Hidup tak selamanya indah dan mulus, terkadang aku jenuh, lelah menjadi simpanan, aku mulai menginginkan kejelasan, aku ingin dia menikahiku secara sah, secara legal. Aku tak mau hidup selamanya dengan lelaki yang pada dirinya tak pernah ku temukan hakku. Tapi setiap aku membicarakannya, dia menghindar, aku tau dia menolaknya secara halus tanpa memberiku satu alasanpun yang mungkin bisa kuperdebatkan. Apa salahnya lelaki beristri dua? Bukankah di negeri ini poligami diakui? Bahkan para lelaki bisa memiliki istri empat sekaligus (yang tercatat, mungkin ada juga yang sengaja tak dicatat), bahkan ada yang dapat award lagi. Bukankah jika dia menikahiku maka posisiku adalah istri keduanya. Maka jika aku mulai nyinyir menyulut soal itu, percikan-percikan pertengkaranpun tak dapat dihindarkan, berkonfrontasi, saling teriak, memaki, menegangkan urat syaraf, dan kata-kata kasar, kotor dan berbau sampah saling menyembur dari mulut masing-masing. Namun separah apapun itu, dia tak pernah meringankan tangannya padaku. Sampai kemudian aku lelah dan malas mengungkitnya kembali, merayu perasaanku untuk mau berkompromi dan menerima semuanya sebagai suatu suratan.
Belum lagi masalah ekonomi, aku bisa menerima dan mengerti jika uang yang diberikannya tidak banyak membantu menyiasati kebutuhanku. Karena pada pundaknya ada tiga orang anak serta satu istri yang harus dia hidupi. Upah sebagai supir truk barang ku yakin sangat jauh dari kata cukup untuk menafkahi empat orang anggota keluarga dan satu wanita simpanan. Maka tanpa sepengetahuannya, ketika dia pergi bertugas mengantar barang keluar kota, saat itulah diam-diam aku pergi menjajakan diri kembali, jalan pintas untuk mendapatkan uang, karna hanya itulah keahlian yang kumiliki. Namun selihai apapun aku meloncat akhirnya terpeleset jua, dia memergokiku. Itulah penyebab pertengkaranku semalam, dia merasa harga dirinya sebagai seorang laki-laki kucabik dan kuinjak-injak. Dan aku mendekap argumentasiku sendiri bahwa apa yang kulakukan karna dia tidak memberiku nafkah yang layak.
Ah sudahlah….aku meregangkan otot-otot sebentar, lalu bangkit dari tempat tidurku. Aku harus memasak dan menjerang air untuknya, ah…betapa aku menyayangi laki-laki ini, sebelum berlalu kusempatkan untuk mencium keningnya.

-------------------- ******* -----------------------

Aku menguap dan menggeliat, terasa pegal seluruh tubuh, tanpa semangat kukerjap-kerjapkan mata mencoba menepiskan rasa pening dikepala karna pengaruh alkohol semalam. Dengan rasa malas yang memuncak kubalikkan badan, tetap tak ingin bangkit dari peraduan. Termenung kutatap jendela kamar yang tertutup kelambu separo, kelabu bercorak bunga yang warnanya sudah buluk dan dibeberapa bagiannya lapuk termakan jamur dan ngengat. Sinar matahari menyeruak menciptakan hawa hangat dalam ruangan, hawa ruangan akan menjadi panas seiring meningginya matahari, petak yang sempit dan atap dari asbes memungkinkan itu semua. Kuraba buku-buku jemariku yang dibeberapa bagiannya mengeras karna kapalan. Kurasa kapalan itu kudapat dari kerapnya tanganku menggenggam kemudi truk dalam waktu yang lumayan lama, bertahun-tahun pula, maka gesekannya akan mengeraskan sebagian kulit tanganku. Kuteguk ludah, terasa pahit saat melewati tenggorokan, kulongokkan kepalaku ke arah meja kecil dimana biasanya Sri meletakkan secangkir kopi untukku. Ah rupanya dia sudah menyeduhkannya untukku, seperti biasanya. Ku sruput kopi itu, rasa legit bercampur pahit mulai mengaliri tenggorokanku dan rasa hangat terasa mengembang dalam dada. Kurogoh saku baju, aha…ada sebatang, mengerut lecak, tak apalah…kusulut lalu kuhisap dalam-dalam, asap bergelung dari mulut dan hidungku.
Sri sedang memasak, dapat kurasakan aroma tempe goreng dari arah dapur, sesekali kudengar dia terbatuk-batuk. Meski semalam kita bertengkar hebat, dan aku meneriakinya dengan kata-kata kotor, tapi dia masih saja menyeduhkan kopi dan memasak untukku. Kupijat-pijat dahiku dengan ujung jempol dan telunjukku. Ah, semua ini begitu memeningkan kepala. Aku tak habis pikir, mengapa dia melakukannya lagi, apa dia tidak bisa mencari pekerjaan lain selain melacurkan diri…sungguh aku tidak terima, tidak rela tubuhnya dijamah lelaki lain, dia milikku dan hanya aku yang berhak menggagahinya. Brengsek….aku mengumpat lirih dalam hatiku. Kuhisap kembali rokokku dalam dan rapat-rapat. Tapi sisi jiwaku yang lain berkata, ini semua salahku yang tak becus menafkahinya, kuakui tak banyak uang yang bisa kusisihkan untuknya, dia selalu kunomerduakan setelah keluargaku dalam masalah keuangan. Jadi harusnya aku bisa menerima jika dia mulai mencari jalan untuk menghasilkan pendapatan. Yang tak bisa kupahami adalah jalan yang dia pilih, haruskah dengan melacur? Bisakah dia tidak mengumbar kemaluannya dan hanya menyuguhkannya untukku?…….lalu ada suara lain tiba-tiba menggema dalam dada “ayolah Bambang, kesetiaan macam apa yang kau harapkan dari seorang mantan pelacur, dan apakah kau tidak berkaca pada dirimu sendiri, apakah kau lelaki setia? Lelaki setia tidak akan memelihara simpanan, lelaki setia tidak akan diam-diam menancapkan penisnya dilokalisasi murahan, meski dengan alasan stress bertengkar dengan simpanan. Ayolah Bambang…kaupun seorang bajingan, maka jangan mengharap lebih”.
Suara lain itu memantul-mantul dalam benakku, menciptakan echo yang menjungkir balikkan harga diriku. Suara itu dengan terang benderang membeberkan kebusukanku sendiri. Dan lagi, apa hakku atas dirinya, bukankah aku tak bisa (belum berani tepatnya) memberi kepastian akan status keberadaannya dalam hidupku, sehingga membuat hidupnya merasa kugantung dan ku ombang ambingkan. Bukannya ku tak mau menjadikannya istri kedua, tapi sungguh aku tak ingin membuat hidupnya lebih menderita, aku takut akan banyak lagi ketidakadilan yang dia terima jika dia kuseret dalam lingkaran hidupku. Sri masih muda, dia berhak mendapat sesuatu yang lebih baik dari ini, menemukan seseorang yang lebih tepat dan layak untuk tempatnya bergantung. Haruskah aku melepaskannya?......kuhisap rokokku hingga kepangkal dan memuntung, lalu kujentikkan begitu saja, diam, tak punya jawaban.
Dia sedang asyik memetik sayuran, saat kurengkuh ramping pinggangnya dari belakang.
“ Sri…” bisikku sambil menggosok-gosokkan cuping hidungku ketelinganya. Dia mengerut karna geli, “mas sudah bangun toh…” ujarnya tanpa menoleh.
“Aku minta maaf soal semalam “ dia tak menjawab, tanganya menyibukkan diri dengan sayuran, namun samar kulihat sebuah anggukan kecil
“Sri…aku tahu, aku belum mampu membahagiakanmu, belum berani mengambil keputusan apapun tentang langkahku bersamamu, begitu banyak penderitaan yang kau sembunyikan selama disampingku. Tapi sungguh Sri, aku mencintaimu lebih dari yang kamu tahu. Dan aku tak mau egois lagi, jika kamu ingin pergi dariku Sri, ingin mencari lelaki yang jauh lebih baik dari aku…silahkan, aku mengikhlaskanmu” suaraku berat dan serak, karna emosi membelesak dalam hatiku, kurangkul pinggangnya erat dan kusurukkan kepalaku dilehernya. Aku siap mendengar sepahit apapun kata yang meluncur dari bibirnya.
Hening…hening….tangannya terdiam, nafasnya memberat, dan aku menyusut dalam kecemasan yang menggunung. Lalu dia berbalik, menghadapku, menantang mataku dengan tajam.
“Bercintalah denganku…sekarang…” suaranya mantap, memalu-malu hatiku hingga nyeri. Aku gemetar….tak dapat berbicara, sejenak kuragu, namun dengan ketegasan nyata dia merangkulkan tangannya dileherku, lalu kubopong tubuhnya menuju peraduan dengan beragam rasa yang tak mampu kujelaskan.

Jumat, 22 Juli 2011

CATATAN YANG HAMPIR DIBUANG

Nama aseli ku Siti Rohima, tapi aku lebih suka dipanggil Rahma, lebih keren dan “ngota”. Pekerjaan tetap dan terakhirku adalah tukang pijat “plus-plus” di sebuah tempat yang berkedok salon kecantikan, sebelumnya aku pernah mencoba berbagai macam pekerjaan, mulai dari pegawai lepas tukang sapu jalanan, sales minuman berenergi yang biasa mangkal di terminal, pelabuhan, atau dari spbu ke spbu lain, karyawan disumah makan padang sampai buruh cuci mingguan. Tak banyak pilihan pekerjaan yang bisa ku dapatkan apalagi hanya berbekal ijazah SMP, sulit dan mengenaskan, segala sesuatu yang berhubungan dengan kata “keberuntungan” sepertinya tak pernah berpihak padaku. Sampai entah bagaimana ceritanya, nasib yang mempermainkan hidupku, akhirnya aku terdampar di rumah border terselubung ini. Pekerjaan yang sangat menyenangkan, tak perlu kepanasan terpanggang teriknya matahari, tak perlu susah payah bergumul dengan peluh, dan yang penting uang mudah mengalir, bisa sepuluh kali lipat dari gajiku sebagai tukang sapu jalanan.
Awal mulanya sangat tak nyaman, risih, pertarungan hati yang begitu sengit, terjebak dalam dilemma pilihan antara dosa dan kebutuhan akan materi, namun waktu mulai membiasa dan lambat laun menjadi rutinitas. Semua kulakukan karna aku ingin mendapatkan uang yang banyak secara instant, terus terang aku lelah dan jenuh bekerja keras, banting tulang dari pagi sampai sore bahkan sampai malam, tapi uang yang dihasilkan tak cukup memenuhi makan satu bulan. Aku tak mau munafik, tidak mau ikut-ikutan membuat alas an standard an klasik hanya untuk membenarkan dan menutupi kelakuan bejatku, biasanya teman seprofesiku memakai alasan2 murahan agar orang memaklumi pekerjaan yang dipilihnya, misalnya: kecewa karena disakiti laki-laki, produk broken home dan lainnya, aku tak mau seperti itu, aku sangat jujur dengan hatiku, toh ini pilihanku dan aku sendiri yang akan menanggung konsekuensinya.
Hidup adalah ketentuan, menjadikan hidup itu baik atau buruk itu adalah sebuah pilihan, itu yang kubaca dari sebuah buku, dan aku menjatuhkan pilihan hidupku pada hal yang terakhir. Gunjingan dan cemooh dari orang lain yang awalnya sangat meremukkan hati, kini seperti angina lalu saja bagiku, sudah kubilang ini adalah pilihan hidupku, aku yang menjalani dan aku sendiri yang akan menanggung karmanya, ini pergulatanku dengan Tuhan.
Dosa???? Aku tau ini dosa, dosa sangat besar, kelak di akhirat MUNGKIN Tuhan akan menempatkan aku di kerak neraka yang paling dasar, hah…. MUNGKIN….pede banget aku, kenapa aku tak memakai kata PASTI, karma aku tak mau melangkahi Tuhan, hanya Tuhan yang berhak menilai dan menghakimiku bukan manusia. Meskipun aku bejat, tapi aku tak pernah menyalahkan Tuhan atas apapun yang berlaku dan terjadi pada hidupku, jadi untuk area spiritual cukuplah aku dan Empunya jiwaku saja yang tahu.

Yang berkunjung ke salon tempatku bekerja berasal dari beragam latar belakang dan profesi, dan yang pasti kebanyakan adalah para pria hidung belang dengan membawa beragam alas an murahan lainnya, aku tak pernah peduli jika mereka menceritakan kenapa mereka akhirnya memilih rumah bordir untuk memenuhi hasrat seksualnya, sebagai pelacur seperti aku, hanya dua hal saja yang kupedulikan, aku melakukan pekerjaanku dan mereka membayarku, beres urusan. Yang penting mereka sanggup membayarku dan uang dengan mudah tergenggam, aku tidak melacurkan diriku pada birahi atau seks, aku melacurkan diriku pada yang namanya uang, asal tahu saja….aku mati rasa pada yang namanya kelamin dan perbuatannya. Jika aku sedang melayani tamu, aku berpura-pura menikmati permainan, padahal sesungguhnya aku muak dan mau muntah, tapi itulah tuntutan profesiku.

Ah…entahlah sampai kapan akan kujalani pekerjaan nista ini, tapi sungguh jauh dilubuk hati ada niatan tuk kembali kejalan Ilahi, tak pernah surut, aku percaya seburuk apapun, sebejat apapun seseorang, pasti ada setitik niatan untuk kembali berbuat benar, dan aku yakin Tuhan maha pengampun bagi hamba-hambanya yang tersesat. Saat ini aku masih belum bisa meninggalkan surga dunia ini, aku hanya bisa berharap, semoga kelak, sebelum ajal menjemputku, aku masih punya waktu untuk bertaubat.

BERSELINGKUHLAH DENGANKU

Berselingkulah denganku
kan kuajak kau ke laut untuk
meramu waktu
memainkan riak gelombang
mengerutkan batu karang
menciduk pasir pantai
lalu mencubit kepak camar yang usil

Berselingkuhlah denganku
kan kuhela kau kehutan
bersenggama dalam rapatnya pepohonan
meniup kabut pekat yang membasah
melembab, memadat
agar kesepianmu tak lagi lecak dan berurat

Maka mari berselingkuh denganku
ikut aku menyelinap ke langit
mengoyak gumpalan mega yang legit
mencumbu remah-remah bianglala
merapatkan setangkup rindu dan candu asmara
dalam terang dan petaknya angkasa

Dan ketika hati telah ditinggalkan rasa
jangan kau pupus jua ingatan tentang cerita
kamu......aku........

YANG TERHARAMKAN

Pukul tujuh seperempat, sebentar lagi dia akan keluar dari kamarnya untuk memanaskan mesin motornya, lalu dia akan duduk lesehan diteras depan sambil menghisap sebatang rokok sembari ditemani secangkir kopi hitam. Kemudian saat dia melihatku keluar dari kamarku, dia akan tersenyum padaku, hanya tersenyum, huh…padahal aku menginginkan lebih dari itu. Jantungku berdegup, ah…begitu hafalnya aku dengan rutinitas paginya, ah tidak, bukan hanya kebiasaan paginya, tapi kebiasaannya yang lain sedikit tidaknya aku juga hafal.
Kulirik jam di dinding, tujuh dua puluh, tapi kenapa belum terdengar juga suara motornya. Aku mondar mandir dalam ruang petak 4 x 4 ini, meremas jemari tangan untuk menyamarkan gelisah, menarik nafas panjang untuk meredam degup jantung. Aku benci situasi seperti ini, meraba dalam duga, menerka dalam tanya. Apa gerangan yang terjadi, tak dapatkah ia merasakan kerisauan ini, kerisauan yang sering kutiup lirih lewat kelambu jendela dan pintu. Aku terlonjak, saat lamat kudengar suara gerendel pintu terbuka, lalu semenit kemudian disusul deru suara motor. Ahai….si dia rupanya, dengan gemetar kusingkap bibir korden, mengintipnya dalam gelisah yang kian membuncah. “tenang” kuyakinkan diriku sendiri seperti biasanya, menarik dan menghela nafas panjang dalam beberapa hitungan dengan teratur, merapikan ujung kaos dan celana panjangku, menyisir anak-anak rambut dengan ujung jemariku.
Kubuka pintu kamar kos yang kebetulan langsung berhadap-hadapan dengan pintu kamar kosnya, pura – pura meregangkan badan mencoba menarik perhatiannya. Kulirik dia dengan ujung mataku, namun sepertinya ia tak mempedulikanku, atau tepatnya tak mau peduli. Dia begitu asyik dengan rokok dan kopinya, pandangannya kedepan menatap angin. Apa gerangan yang sedang dipikirkan laki-laki itu, tidakkah dia menyadari kehadiranku….gelisah kembali menyergapku, aku harus mencari cara untuk bisa menarik perhatiannya, syukur-syukur bisa bercakap, tidak hanya mendapat suguhan sekelumit senyum datar seperti biasa. Ehem…ehem….aku berdehem ….shit, trik kuno yang kampungan, tidak bisakah aku mencari cara yang lebih elegan dari hanya sekedar berdehem. Namun tak kunyana trik kunoku berhasil. Dia menoleh dan tersenyum padaku, hatiku berdesir, kudukku meremang, kakiku serasa tak berpijak. “pagi dik, aku telat bangun” ujarnya, aku semakin mematung tak percaya, benarkah pendengaranku itu, dia berbicara….ya dia bicara padaku, tidak hanya sekedar tersenyum, aku kian tenggelam dalam keterkejutanku. “Dika, namamu Dika kan???” dia mengulang menyapaku, mungkin dia keheranan demi melihat keadaanku yang seakan terbeku melihat sesuatu. “ha hai…Bram” aku tergagap, Tuhan…sudah sebulan aku menjadi tetangganya, namun dia masih belum yakin akan namaku, sedangkan aku malah sudah tahu akan kebiasaannya, bahkan lebih dari itu, aku juga tahu ukuran sepatu dan warna celana boxer kesukaannya, semua itu kuketahui secara tak sengaja saat aku melihat sepatunya dijemur di kursi plastik kecil yang diletakkan didepan terasnya. Dan tentang celana boxer itu, kuketahui dari hasil intipan yang sengaja, karna sungguh aku sudah tak mampu menahan rasa ingin tahuku akan segala tentangnya. Meski aku tahu balasan yang kudapat hanya ketidak pedulian yang sangat terang benderang. Tapi tak mengapalah, setidaknya pagi ini dia menyapaku, ada kemajuan kecil dari hari-hari sebelumnya. Saat aku berhasil menguasai kegagapanku dan ingin menyapanya lebih jauh, dia sudah menghilang dari hadapanku, tak kusadari motornya sudah berhenti berderu, cangkir kopinya tak lagi ditempatnya, yang tersisa hanya puntung rokok yang masih mengasap dan tergeletak begitu saja dilantai. Aku lunglai, ah mungkin dia harus bersiap diri untuk pergi bekerja, cukuplah untuk hari ini, bukankah akupun harus bersiap untuk bekerja pula, esok hari pasti akan lebih baik dari ini, dan aku kembali menutup pintu kamar dengan meninggalkan ragam rasa dalam hati yang tak lagi samar.
            Malam merenta ketika kutiba, angin malam berhawa hangat meniup ujung cuping telinga. Beberapa penghuni kos masih terjaga, ada yang hanya sekedar duduk di teras sambil merokok, ada yang sedang mengobrol dengan tetangga sebelah, bahkan diteras kamar paling ujung kulihat ada empat atau lima orang sedang bergerombol, ah mungkin sedang berjudi dengan kartu domino seperti biasa. Semua laki-laki, karna memang ini tempat kos yang hanya diperuntukkan untuk laki-laki, dan…bujangan, meski aku tahu tak semua penghuninya adalah bujangan. Kulirik kamar tetangga depanku, lampu kamar masih menyala, lamat kudengar suara riuh  televisi yang rupanya sedang menayangkan acara bola. Hmm…ini sabtu malam, Bram pasti tidak akan melewatkan tayangan olah raga kesukaannya. Dengan rasa penat yang membeban kubuka pintu kamar, dan langsung merobohkan badan diatas peraduan. Hari ini pekerjaan begitu menumpuk, sampai ku tak sadar aku bekerja hingga larut malam. Kulonggarkan dasi, kulepas dan kulempar sepatu sekenanya, memejamkan mata sambil mencoba merilekskan pikiran dan benak, akupun terjatuh dalam pulas.
Aku tersentak dari tidurku, ketika terdengar suara ketukan dari pintu kamar. Kulihat jam dipergelangan, pukul satu dini hari, gila….siapa sih yang tak tahu adat tengah malam begini mengetuk pintu kamar orang. Jangan-jangan joni lagi tetangga sebelah kananku, yang biasanya dengan seenaknya mengetuk pintu kamar orang tak kenal waktu hanya untuk keperluan yang tak penting.  Aku bergegas membuka pintu dengan rasa sebal yang tak terkira. “hai dik, aku boleh numpang nonton bola ga…antena teveku tiba-tiba rusak, kulihat lampu kamarmu masih menyala, jadi aku kesini” dia berdiri tidak sampai sejengkal dariku, hanya mengenakan kaus oblong dan celana pendek. Dia…ya dia….laki-laki yang belakangan ini kerap menghantui siang dan malamku, membuat mandiku tak basah, makanku tak bergairah, tidurku tak lena, hanya demi memikirkan siluet bayangnya saja. Tanpa kata aku mengangguk, mempersilahkan dia masuk. Tanpa sungkan dia menghidupkan sendiri televisiku dan langsung mengambil posisi yang nyaman untuk menonton. Aku tercekat namun tak keberatan, tiba-tiba aku merasa memang seharusnya seperti ini. Kututup pintu kamar perlahan, tak melepas pandangan meski yang kudapat hanya sebuah punggung yang aduhai sungguh bidang, dan aku disergap rasa bimbang. Nafasku sedikit tersengal, degupku tak karuan, keringat dingin meleleh disela kulit kepala untuk kemudian luruh menyingkap leher dan tengkuk. Aku terlempar dalam sebuah angan, bagaimana jika aku duduk disana menemaninya, memeluk sang pemilik punggung dari belakang, dan merebahkan kepala diatas punggung itu, oh….dapat kucium aroma tubuhnya, kusesap perlahan, kubelai punggung bidang itu, lalu aku cumbu dengan sedikit sentuhan…aku terpejam…
“Dika, ngapain kamu?” lamunanku buyar, saking kagetnya tanpa sadar tanganku melibas frame foto diatas meja sampai terjatuh. Kutangkap ada rasa heran dan segurat tanda tanya dari air mukanya.
“ee…Bram, mau kubuatkan minuman” aku mencoba mengalihkan keheranannya, sialan…betapa cerobohnya aku, dengan terang aku tertangkap basah sedang memejamkan mata seperti menahan birahi. Bagaimana jika dia tahu bahwa dialah yang berkecamuk dalam anganku? Ah semoga tidak, aku tak tahu bagaimana menyembunyikan muka menanggung rasa malu, jika dia sampai  tahu.
“Ga usah Dik, kamu lanjutkan saja tidurmu, suara tevenya kukecilkan biar ga ganggu” tolaknya. Ah bagaimana aku bisa melanjutkan tidurku jika dia ada disini, berada dalam satu ruangan sempit…berdua …dimana hatiku menyimpan rasa yang tak biasa. Aku mengganti pakaian kerja ku dengan kaus tanpa lengan dan celana pendek, saking lelahnya tadi aku tidak sempat mengganti pakaian. Aku mengambil tempat duduk dibelakangnya sambil menyandarkan tubuhku dibibir ranjang, aku akan berusaha sebisa mungkin menjaga jarak, karna sungguh malam ini hatiku benar-benar liar dan bergejolak. Dia menoleh sebentar padaku, tersenyum, lalu kembali pada tontonannya. Aku membalas senyumnya tertahan. Malam ini akan menjadi malam yang panjang dan paling menyiksa dalam hidupku, karena lelaki itu begitu terasa dekat dan tak berjarak. Tuhan, aku tahu ini tak boleh, semua ini begitu dosa dan haram, bahkan meski hanya dalam perasaan. Tapi bukankah Engkau yang menciptakan aku seperti ini? Mengapa aku Tuhan? Mengapa kau hadirkan aku dibumi ini tanpa pilihan?, sungguh semua ini telah membuat hidupku sangat frustasi. Aku tak menginginkan hidup seperti ini, terkungkung dan terkucil untuk menyembunyikan jati diri secara rapat, agar tak satupun orang tahu siapa aku sebenarnya, karna dibelahan bumi ini, orang seperti aku tak dikehendaki. Aku adalah lelaki matang dan dewasa, dalam aliran darah dan nadiku tersimpan hormon testoteron yang hanya meletup pada sesama jenisku. Ini tidak normal, tidak wajar, tapi aku sendiripun tak memiliki jawaban. Aku pernah mencoba mengalirkan hormon itu pada seorang wanita untuk beberapa lama, dan untuk kesekiankalinya pun aku gagal. Aku merasa menipu diri, pengecut, tak berani dengan jujur menghadapi kenyataan, dan cepat atau lambat itu hanya akan melukai hati pasanganku. Maka kemudian aku memutuskan untuk tidak lagi bersembunyi, kupongahkan dagu, kutekurkan tengkuk. Inilah aku yang dalam dadaku sudah tersemat kata “GAY”. Aku sadar dunia akan menentangku dengan gemilang, mencemoohku dengan sangat terang. Bahkan dalam kitab sucipun termaktub bahwa orang sepertiku najis dan terlarang. Dan Tuhan, jika Engkau memilihkan aku jalan hidup seperti ini, maka aku tau Engkaupun punya rahasia tersendiri, yang kuyakin bisa kusingkap dikemudian hari.
Maka malam ini, setelah digempur dengan perasaan yang berkecamuk, aku tertidur dalam hati yang  kelelahan, dalam kepenatan rasa yang melinukan. Tertidur bersandar ditepi ranjang, mencoba merangkai mimpi indah yang sudah lama terpendam. Lalu tipis kurasa…diujung kulit tanganku, ada sebuah tangan perlahan menggenggam…….

Senin, 18 Juli 2011

....SELALU.......

Selalu saja seperti ini
setiap habis bertandang
ada saja yang tak habis dibawa, pulang
menjeram laksana sekam
memerih serasa tertikam

Selalu saja seperti ini
tiap obrolan adalah omong kosong
tiap cinta terperangkap dalam semacam bong
bergelut, bergelung, berputar
hanya berderak dalam satu ruang bundar
tak berani berlayar lebih jauh
karena pemilik buritan, tlah lama melempar sauh

Dan selalu saja seperti ini
setiap habis bertemu
aku masih saja tak bisa membereskan rindu
masih saja tak melumatkan rasa
dalam lesung dosa berbusa

Minggu, 17 Juli 2011

KETIKA USIA MENGUKUR

Pagi menapak, bilah bilah cahaya mentari menyeruak di ufuk timur, dan langit belum begitu membiru ketika srindit di rerantingan mulai berkicau merayu. Semilir angin pagi berhembus perlahan, menyapa titik titik embun yang berjingkat-jingkat di pucuk dedadunan, bersenggama diantara hijaunya rerumputan untuk kemudian menguap terhisap hangat sinar mentari.
aku menandaskan tegukan kopi terakhirku, lalu bergegas menuju teras depan untuk memanaskan mesin sepeda motor, aku telah berjanji pada istriku untuk mengantarnya berbelanja ke pasar pagi ini. Kuambil selembar kain lap yang tersampir begitu saja di besi jemuran, lalu kupakai untuk membersihkan badan sepeda motor dari sisa-sisa debu yang menempel, ah…seadanyalah, toh tidak terlalu kotor. Sesekali kuhisap batang rokok yang tinggal separuh dan kini masih tertungging manis dibibir, asapnya mungkin akan sedikit mencemari udara sejuk pagi ini, tapi biarlah, cuek saja lah…bagaimana tidak, aku belum bisa menjauh dari benda satu itu, benda yang dijadikan salah satu nominator dari salah satu penyebab kematian nomer satu di dunia, bahkan ada yang lebih sadis dengan menyebutnya “pembunuh berdarah dingin”. Rokok ibarat istri keduaku, tidak percaya???? Tengoklah raut istriku saat mendapatiku sedang merokok, ada roman muka cemberut nyaris cemburu…hi…atau bisa juga kuibaratkan rokok bagiku adalah seperti Si buta dari gua hantu dengan monyetnya, jika dipisahkan…maka salah satu dari mereka hidupnya akan merana.
Terdengar suara langkah dibelakangku, rupanya istriku sudah siap untuk berangkat. Tak perlu mengenakan helm, karena letak pasar tidak begitu jauh dari tempat tinggalku. Ku bonceng dia menembus tipisnya kabut yang mulai merangkak menuju langit, bersiul sendiri menyusuri jalanan yang sedikit lengang. Disisi kanan kiri jalan, ada dua atau tiga ekor lebah dan kupu-kupu saling menyikut untuk mendului menyesap manisnya putik sari, dan kokok ayam jantan yang bangun kesiangan mengantar laju motorku keluar dari palang pintu perumahan.
Letak pasar berdampingan dengan jalan utama menuju area pusat perkantoran, ramai, riuh, seperti biasanya. Pagi ini jalanan rupanya agak macet, maka suara jeritan klakson kendaraan sahut menyahut memekakkan telinga, mewakili perasaan tak sabar dari sang pengemudinya. Suara-suara klakson itu tumpang tindih dengan lolongan para pedagang yang menawarkan barang jualannya. Dan matahari mulai meninggi, untuk menghindari teriknya aku memilih tempat parkir dibawah pohon perindang. Ah kutunggu saja istriku disini, urusan belanjaan kuserahkan saja pada ahlinya.
Sembari menunggu, kuambil sebatang rokok dari saku baju lalu kusulut. Mengedarkan pandangan, memerhatikan orang-orang hilir mudik, semua bergerak dalam tempo yang serba cepat, seperti ada yang harus lekas dibuat. Lapak-lapak pedagang ramai dengan dialog tawar menawar, menimbang, menakar, membungkus lalu membayar.
Diujung jalan dekat pintu keluar masuk pasar, pandanganku terhenti. Sepelemparan batu jaraknya dari tempatku menunggu, ada sesuatu (tepatnya, seseorang) yang menggelitik perhatianku. Seorang lelaki tua, kukisar usianya beranjak 70an, bungkuk dan renta. Duduk menepi di salah satu anak tangga bangunan pasar. Berkacamata tebal, mengenakan kaos lusuh yang berlubang dibeberapa bagiannya, dipadu dengan celana panjang rombeng yang tak kalah kusamnya, dan lihatlah kakinya hanya beralaskan sandal jepit yang juga tak kurang tipisnya dengan kulitnya sendiri. Dibawah kakinya seekor kucing kurus kurapan berbulu kelabu meringkuk, mengeong, sambil sesekali menjulurkan kepalanya dan menggesek-gesekkannya ke ujung jari kaki si kakek berharap dibagi sedikit makanan oleh sang tuan. Kakek tua itu sedang asyik menekuri sarapan paginya, yang baru dibelinya disebuah warung yang tak jauh dari tempatnya duduk kini. Sekepal nasi yang dibungkus daun pisang dan hanya berlaukkan sayur lodeh dan kerupuk. Mulutnya rupanya bekerja keras untuk mengunyah dan melumat makanannya, karna mulut itu telah dikhianati oleh gigi-giginya sendiri, tandas tak bersisa, yang tertinggal hanyalah sepotong lidah yang tergopoh-gopoh dan kesulitan mencerna makanan yang masuk. Disampingnya segelas teh (entah tawar, entah manis) menemani, bersiap dan bersedia jika tenggorokannyapun tak kuasa menelan makanan yang tak terkunyah secara sempurna Aku terenyuh dan miris melihatnya. Haruskah aku menghampirinya dan membelikan makanan yang layak buatnya? Bagaimana kalau dia menampik? Bagaimana jika dia menyalah artikan kebaikanku dan tak ingin dikasihani?, tanpa berkedip aku terus memperhatikan lelaki tua itu sampai dia menandaskan makanannya. Lalu aku dibuatnya tersentak, saat kulihat dia menyisakan makanannya untuk si kucing kurapan, sekepal nasi yang dari aromanya saja aku bisa menakar bahwa itu tak kan mampu mengenyangkan perutnya sendiri, tapi dengan lapangnya dia membaginya untuk si kucing. Sekecil kebaikan langka yang sudah sangat susah ditemukan di nusantara ini. Dengan tersenyum melihat si kucing kegirangan dia berlalu, menuju tumpukan karung yang penuh sayuran, langkahnya sedikit tertatih, letih, namun tetap tegar ketika karung itu terpanggul dipundaknya. Terseok-seok menahan muatan beban yang sudah tak mampu lagi dia taklukan. Ah, orang setua itu, serenta itu, masih gigih bekerja menjadi kuli panggul, demi sekepal nasi dan nasib yang masygul. Kubaca sebuah ironi ditengah negeri dimana pemimpinnya selalu berkoar tentang kemakmuran dan kesejahteraan, dimana nun jauh disana di sebuah gedung tempat para dewan berdasi dan merasa terhormat, justru menghamburkan dan memperlakukan uang secara tak terhormat.
Aku resah, resah demi melihat keadaannya dan ketuaannya, dengan melihatnya, ada sesuatu yang serasa mencubit hati, ada beberapa gambaran berkelebat dalam benak. Tiba-tiba aku seperti melihat pantulan diriku sendiri, bagaimana jika aku yang disana, bagaimana ketika sesuatu yang bernama tua telah memakan usia, saat tulang punggungku sudah tak mampu lagi berdiri tegak, ketika kulit mulai mengeriput dan meretak, mata tak lagi awas, urat-urat tangan dan kaki mulai gemetaran, uban berjejalan, mulut tak lagi bergigi, dan yang lebih menakutkan lagi…bagaimana jika sampai masa itu tiba, aku belum mampu juga menghargai apa yang ada, apakah aku akan menjadi tua dalam sia-sia. Lalu bagaimana jika nasibku pun seperti kakek itu, tetap bergumul dengan peluh hingga tua dan terlunta-lunta, tanpa sanak, tiada keluarga, ah bisa kurasakan betapa nestapanya. Aku bergidik memikirkannya. Lalu pantulan itu berubah, berbelah menjadi bayang ayahku, lelaki tua nun jauh disana, sekejap pula aku merindukan laki-laki itu, merindukan tawanya saat bercengkrama, merindukan tatapan matanya saat berbicara, merindukan segala hal tentang dia. Aku jadi teringat akan salah satu baris sajak dari Hasan Aspahani, dalam buku “telimpuh” nya.

Ada yang mesti lekas kau buat tuntas
Sebelum tanganmu tak lagi tangkas
Sebelum langkah tinggal kulai
Sebelum nafas sisa sengal
Ada yang harus segera kau bikin selesai
Sebelum waktu habis mengukur umur

Yah…banyak hal yang harus lekas kubuat tuntas, membenahi remah lalai yang masih berserakan, menyeka alpha yang kerap menggenang, membasuh khilaf yang tak jua insyaf, dan mulai menata apa yang belum tertata. Semua harus lekas dan tuntas, sebelum usiaku mengentas. Dan aku beranjak, saat kulihat istriku sudah melambai diujung jalan…….

NOTE: based on true story of mbah joyo sokromo nyruput kopi

DIAM SAJALAH

apa yang mesti diiyakan
karna tanya tak lagi memeluk jawaban
apa yang harus ditidakkan
karna rasa masih terjebak keraguan

aku ini tak jua becus
tak lekas menata cinta yang kian terjerumus
cinta yang tak pernah tertulis dalam kamus
antara meranggas atau menghumus

aku ini masih seperti bocah gagu
tak beres beres jua membereskan rindu
mengerat ngerat selaksa sembilu
menadah ketidakmungkinan sambil lalu

maka diamlah sejenak
bungkam saja sgala benak

AKU DAN IMANKU

Aku dan sujudku
kadang naik
kadang turun
mengembang penuh
mengempis perlahan

Aku dan dzikirku
rapat di hulu
tercecer di hilir
semerbak di awal
bias kemudian

Aku dan imanku
menanjak
lalu bergelombang
teguh lalu rapuh

Manusiawikah????
atau aku yg kurang istiqomah

AKU DAN SIFAT PELACURKU

Aku adalah pelacur bagi egoku
ego yang sering kuturutkan
untuk mengaburkan smua kesalahanku

Aku adalah pelacur bagi hatiku
hati yang tak pernah puas
mengorek setiap ketidaksempurnaan
padahal kesempurnaan hanya milik Dzat yg satu

Aku adalah pelacur bagi hasratku
hasrat yang kerap kutempatkan
pada keadaan yg tak semestinya

Aku adalah pelacur bagi jiwaku
jiwa yg slalu mengembara, mengawang
jiwa yg tak ingin terikat dam mengikat
jiwa yg bingung dan kosong
dan aku.....berada dlm keterpurukan

BALANCING

kamu bilang "ayo ikut aku, akan kutunjukkan pelangi terindah yg pernah ada" maka aku menggenggammu. Kamu bilang "jangan ke danau, karna jalan setapaknya penuh duri dan hewan buas" maka aku menggamitmu. Semua karna kupercaya cinta menuntunnya, dan hanya yg terindah yg ingin kamu tunjukkan. Tapi tahukah kamu, beragam rasa terpendam bahwa aku pun ingin kau memahami. Tahukah kamu, aku tak suka lebah yg selalu hinggap tidak pada satu bunga saja. Tahukah kamu, aku tak suka melihat kera jantan bertingkah utk menarik perhatian para betina dan dia berhasil melakukannya. tahukah kamu bahwa semua terasa indah dalam keseimbangan....

PANAS

Cemburuku adalah luka
jika tidak segera diobati
lukanya akan melepuh
dan menjadi borok

Cemburuku irrasional
menggelapkan
menyesakkan
sgala dalil terpental

Cemburuku adalah lintah
likat melekat
menyesap darah
merobek jantung dan hati
sporanya kian berbiak
tunas dari berbagai penyakit hati

SECANGKIR KOPI YANG BIMBANG

Apakah setiap malam melulu kelam, hitam dan mencekam? Aku meragu…maka kuintip atap jagad raya dari balik bingkai jendela, jawabannya adalah ketidakpastian. Pada buram malam, pijar cahaya berkejaran, meletup bergantian lalu membentuk siluet-siluet dan rasi yang sebagian tak kumengerti, tak kupahami dan aku tak peduli. Yang kutahu malam ini menyempurna dalam pelukan tingkap-tingkap kecil para galaksi.
Maka malam ini aku memutuskan untuk meletakkan pensil dan pena, menanggalkan khayalan beserta kata yang menjejal di kepala, melucuti gundah dan onak yang menikam benak. Akan kunikmati malam sempurna ini dengan membaca, hanya dengan membaca…..membaca dalam hingar. Apa yang hingar? Kerinduanku akan kamu yang terlalu bingar, saling sahut menyahut menciptakan echo yang memekakkan, membentuk stalaktit dan stalakmit yang mengendapkan, aku jenuh, aku muak pada kerinduan yang mulai melilit dan enggan bersahabat ini, sebab kau bagiku tetap sesuatu yang tak tersentuh, tak terpeta, tak terurai, tak terbasuh.
            Maka malam ini biarlah kuadukan dukaku pada buku, kudesaukan risauku pada secangkir kopi, sebagian hatiku membenarkan, sebagian lagi mencari alibi atas nama simpati “mengapa harus dienyahkan jika tak ingin mengenyahkan” lalu debat yang membosankan dan tak berkesudahan timbul tenggelam kembali, mulai bersahut-sahutan. Dan membacapun hanya menjadi semacam pelarian.
Jika dengan membaca tak mampu jua terpecahkan, lalu apa lagi? Maka kusesap kembali secangkir kopi panas itu….perlahan….sembari menyelipkan sedikit harapan tentang kebebasan, malam ini ingin kupupus rautmu sejenak, ingin kubredel segala sesak, lalu kan kupanggil kunang-kunang untuk membawanya terbang ke belantara, “bawalah sejauh mungkin” bisikku, bawa pergi sajalah menembus langit, hingga tak terlihat mataku, tak terdengar telingaku, tak terjangkau rabaku, tak terkecap rasaku….pergi, pergilah sejenak dalam diam. Ijinkan aku menikmati malam ini dengan kebebasan, ditemani aroma kopi yang berloncatan……hanya malam ini, cukuplah semalam ini.
            Pintaku pada malam, bantu aku untuk menceraikan tentangmu dari hatiku, hingga ku puas, hingga ku jatuh dalam lena yang pulas. Namun aku kembali meragu, bisakah malam membiusku dan melontarkanku ke ngarai yang sunyi dimana yang kudengar hanya semilir angin dan gemericik air? Mampukah ia menghantam ingatanku, lalu mencampakkanku ke pantai dimana hanya debur ombak dan butiran pasir yang menyisir?. Tak ada jawaban dari malam, aku menunggu….dan menunggu…tetap saja malam bisu dalam diam. Maka akupun menutup buku, menandaskan ampas kopi, sedang kamu tetap berjelaga dalam hati

KABUT SUTRA UNGU

Awan mengandung mendung, padat dan likat, mungkin sebentar lagi akan melahirkan hujan. Dia mempercepat laju motornya, dan aku kian mengencangkan cengkraman diujung kemejanya.
 “ sebentar lagi kita sampai, sudah dekat kok” suaranya timbul tenggelam ditingkahi suara angin dan deru motor. Namun rupanya langit sudah tak mampu menahan kemih, hujan tiba-tiba mengguyur deras, lebat sekali, membuat kita berdua basah kuyup.
Tiba disebuah ruangan persegi kecil, dia merogoh-rogoh saku celananya, mencari-cari sebuah kunci, aku menggigil kedinginan tertiup angin.
“masuklah!” ujarnya, aku mengekor saja dibelakangnya.
Sampai didalam ruangan persegi itu, kuedarkan pandangan keseliling, minimal dan khas kamar laki-laki. Sebuah televise, lemari kecil, home theater kecil, selembar kasur ukuran kecil, tepat diujung kamar ada gitar listrik warna hitam tergantung, lalu dibawah rak teve ada sepasang barbel, stik game, bola basket dan beberapa disk film dan lagu berserakan. Dia rupanya membaca pikiranku, “bujangan” katanya sambil tersenyum, lalu dia mengangsurkan sepotong handuk kering padaku. Aku kuyup, basah seluruh tubuh, kurasa sampai ke pakaian dalamku, duh…bagaimana ini, dimana kudapatkan baju ganti!!!. Dia menatapku sejenak, lalu membuka lemari kecilnya, mengambil sebuah baju dan celana pendek. “pakailah punyaku dulu, itu kamar mandinya dibalik lorong”, aku menurut. Kukeringkan rambut dan badanku, kulucuti semua pakaian yang membungkus tubuhku, aku terdiam sejenak…aku telanjang…begitu dekat dengannya, hanya dibatasi oleh sebuah tembok. Ada aroma nakal dan liar yang tersembul malu-malu  menggodaku, aku bergidik, lalu kupecahkan balon-balon kenakalan yang sempat melambung dikepala, dan buru-buru ku bungkus kembali badanku dengan pakaian kering miliknya.
            Keluar dari kamar mandi, aku tertegun, tenggorokanku tercekat melihatnya, dia berdiri didepanku bertelanjang dada, hanya mengenakan celana boxer biru bergaris. Aku menelan ludah, karena tak pernah merasa sedekat ini, tak pernah berada disituasi seterang dan sejujur ini. Lihatlah dada telanjang itu, begitu laki-laki dan bidang, bagaimana jika kuletakkan tanganku disana, menelusuri tiap lekuknya dengan lembut. Nafasku tertahan, beratus kunang-kunang terbang mengelilingi kepalaku, ada apa ini, mengapa hanya membayangkannya saja sudah membuatku pening….
Lalu aku tersadar dari lamunan saat kulihat dia juga terpana menatapku, ada yang salahkah???? Sejurus kemudian aku merasa darahku berdesir, degupku seakan terhenti, ketika kusadar akan ketelanjanganku sendiri. Dibalik baju yang kukenakan, tak selembarpun  pakaian dalam menangkup bagian kewanitaanku, maka dua tonjolan di dada itu tak dapat disamarkan hanya oleh selembar pakaian. Aku wanita dewasa, dia lelaki dewasa, kita saling mencintai, kini berada dalam satu ruangan kotak persegi, masing-masing terhimpit oleh ketelanjangan yang disamarkan, maka atmosphere birahi itu sulit untuk ditutupi dan dihindarkan.
Dia mulai menghampiriku tanpa kata, akupun mematung dalam gemetar yang tak terbaca, mata kami saling bertaut, berpandangan lekat, ditingkahi deru yang tak menentu. Ah…semoga ini hanya mimpi, semoga ini hanya sebuah ilusi yang menggelembung dalam pundi-pundi otakku saja. Namun….ketika ada sentuhan lembut melumat bibirku, maka tersentakku bahwa ini semua nyata. Dia merengkuh pinggangku, membawaku dalam dekapan yang hangat, mengulum bibirku dengan lembut dan perlahan. Ada naluri yang menuntun tanganku untuk merangkul lehernya, ada desakan yang membisikiku untuk meraba dada bidangnya dan membalas setiap lumatan bibirnya. Lalu ciuman lembut itu berbalas dan berubah menjadi ciuman panas yang liar, saling memagut, mengulum, membelesakkan lidah, menyusupi setiap guratan birahi hingga tuntas. Kami terengah-engah dalam panas yang membakar tubuh.
            Hujan tak jua reda, angin dingin berembus melewati kisi-kisi jendela dan pintu, tapi didalam ruang kotak ini, dua insan diselimuti hawa panas yang tak biasa. Kami masih saling berciuman, namun kini tak lagi berdiri, tiba-tiba saja tubuhku sudah berbaring diatas kasur, menahan berat tubuhnya yang menindihku. Kewanitaanku berdenyut dan terasa panas saat jemarinya mulai meremas buah dadaku yang mengeras. Aku menggeliat dibawah himpitan tubuhnya, meliuk mengikuti alur birahi yang menghanyutkan. Aku tersentak sejenak, saat kurasakan kejantanannya mengeras menindihku, ada kepanikan menjalariku, namun sungguh aku tak bisa keluar dari situasi ini (tepatnya tak ingin keluar). Nafasku…nafasnya…memburu. Aku terpejam saat dia mulai menanggalkan pakaianku dan pakaiannya dengan gemetar. Ini ketelanjangan yang sempurna dan sangat memalukan, namun semua terasa sah dan benar saat dilakukan atas nama sebuah kata yang paling absurd didunia, yaitu cinta.
Aku terkesiap dan menggelinjang saat dia menghujani tubuhku dengan ciuman-ciuman kecil, mengecap cuping telingaku, menyesap buliran keringat dileherku, menjelujuri buah dadaku, sampai ke area perutku dengan lidahnya. Aku mengerang, terpekik tertahan sambil mencengkram punggung telanjangnya yang basah oleh peluh, bergumul diantara suara gerimis yang merintik. Dan aku kian menancapkan kuku jemariku dipunggungnya saat kurasakan kejantanannya menusuk kewanitaanku, dia membungkam lenguhanku dengan melumat kembali bibirku, mengajakku bermain mengikuti irama, perlahan meniti tapak-tapak anak tangga birahi, berdansa, meliuk mencengkram dalam deru desahan dan gigitan, kadang cepat, kadang perlahan.
Semua terasa basah saat tempo irama kian cepat, ada gejolak yang meletup-letup serasa ingin meledakkan tubuh, kejantananya menghunjam kian cepat dan dalam, pekikan kecil tertahan silih berganti bersahutan. Dan dunia serasa berpusat hanya pada satu titik saja, terjepit diantara kedua paha. Lalu sejurus kemudian….dipusat titik itulah semua terbakar dan bermuara, meledak, meletup, membakar semua urat nadi, dan… nafas terhenti tersengal, erangan mereda, peluh menyusut, cengkraman meninggalkan bekas, dan birahipun terlampiaskan sudah. Aku…dia….berpelukan dalam kelelahan yang basah dan gelisah. Dan lihatlah diluar…hujanpun genap sudah.

....ATHEIS.....

Aku kehilangan Tuhan pagi ini
saat kutemui lelaki tua cacat
berseteru dengan anjing dan kucing
mengorek ngorek makanan busuk di tong sampah
sedang sedepa didepannya, tuan dan nyonya
tertawa menikmati kemewahan dengan pongah

Aku kehilangan Tuhan siang ini
saat kulihat di ujung jalan
tangan-tangan kurus dan kecil
mengulur diantara rapatnya kaca mobil
mengais belas diantara ketidakacuhan
bahkan umpatan
sedang diseberang, orang tuanya hanya diam
membiarkan
mengerdilkan diri dibalik kata kemiskinan
rasa miskin yang dipupuk menjadi humus kemalasan

Aku kehilangan Tuhan malam ini
lihatlah di televisi
batu, botol, bom molotov berseliweran
manusia sedang bermain dengan kematian
meributkan sesuatu yang tak seharusnya diributkan.

Lalu ada maling ayam sekarat meregang nyawa
remuk dihakimi pengadilan jalanan
maka malaikat mautpun kehilangan pekerjaan
Sedang mereka para garong uang rakyat
melenggang plesiran berdalih atas nama "berobat"

Nusantara ini memang sudah sakit
karna SEBAGIAN penghuninya suka menjadi sakit

aku sendiripun sedang sakit.....

Sabtu, 16 Juli 2011

USELESS

Lari, larilah sejauh mungkin
percuma
karna kau sendiri tak tahu
kau lari dari apa
pergi dan sembunyilah semampumu
sia-sia
karna kaupun tak mengerti
mengapa kau harus sembunyi
jika itu pedih, maka rasakanlah
jika itu perih, maka endapkanlah
jika itu menyakitkan, hadapilah dengan jantan
karna lari dan sembunyi
hanya akan menggandakan
sgala kepenatan yang menyerikan
dan kau tahu.....kau akan kalah

Jumat, 15 Juli 2011

CATATAN KECIL BUAT EMAK

Emak.......................
aku tak punya cukup kata untuk
mengungkapkan
betapa beruntungnya aku
memilikimu
garis-garis keriput kini berpendar
diseputar matamu
namun tatapan teduh itu
telah melukiskan beribu peristiwa
mengiringi aku tumbuh dewasa
merekam tangis dan tawa
dan mematri kasih seluas semesta

Mak...............
ijinkan aku bersimpuh untuk
meluruhkan rasa trimakasih dan maafku
Trimakasih............
atas kerelaanmu membiarkanku
merampas smua waktu hidupmu
untuk mengasuh dan mendidikku
Dan beribu maaf..................
karna sampai detik inipun
tak banyak kebahagiaan yang
bisa kupetikkan buatmu

Tapi, tahukah kau mak.............
dalam setiap buliran air mata
yg menetes
dalam setiap sujudku
dalam untaian dzikirku
tak pernah alpa kusebut
namamu

......NAK.......

Anakku, kemarilah
dan tidurlah di pangkuanku

Kau memang terlahir dari
rahimku
tapi bukan berarti aku punya kuasa
atas hidupmu, sepenuhnya

Lelah dan penat tak ku pungkiri
tapi bukan alasan untuk meminta
balas
atas sgala peluh dan linangan yg menetes
karna kau adalah
ANUGRAH dan TANGGUNG JAWAB
bukan beban

Nak, jika kau melakukan kesalahan
aku hanya berhak mengingatkan
tanpa teriakan
tanpa penghakiman
karna akupun belum tentu (TIDAK)
sempurna

Nak, di depan terbentang
rimba, lautan, ngarai
laluilah dengan tegar
dan percayalah
aku tak kan biarkan kau sendiri
kasihku akan menyertaimu
meraih sgala mimpi

SILENCE

Aku mengenalnya dalam nuansa pelangi, dalam semarak pijar kembang api, meletup, membuncah penuh warna. Semburat nuansa merah, biru, kuning keemasan terbungkus dalam tawa. Aku mendekatinya dalam nuansa ungu jingga, saat letupan-letupan kembang api itu kerap muncul diantara gumpalan awan dan birunya langit. Ku ajak dia kesungai, bercengkrama diantara liatnya bebatuan. Saat kutatap matanya, ada sosok laki-laki sedang merangkul putra dan putrinya dengan penuh kasih. Saat kulihat hidungnya, ada gambaran laki-laki berlutut dibawah kaki seorang perempuan tengah baya. Saat kulihat bibirnya, kutemukan ketegasan dan kejujuran. Ku lihat lengannya, ada perempuan molek berwajah keibuan menggamitnya. Kutatap kakinya, kulihat ada kekerasan, keuletan, keteguhan, pantang menyerah dan petualangan-petualangan hebat. Dan kulihat dadanya, ada rona biru, merah jingga dan abu-abu. Kujangkau, tak terjangkau. Ku jamah, tak tersentuh. Ku berhasrat....lalu kosong......

SAYAP

Wanita itu mematahkan sebelah sayapnya utk diberikan pada kekasihnya, karna sayap sang kekasih retak di sisi kiri. Direkatkannya sayap itu dengan lembut sambil berkata lirih pd sang kekasih "terbanglah kau bersama sayapku ini, dan jangan lupa kembalilah pulang saat pundi2 cintamu mengering". Saat sang kekasih terbang bergumul diantara kapas putih diangkasa, lewat kilat matanya dia berjanji "percayalah,aku pasti pulang", wanita itu tersenyum sambil melambaikan tangan, meski sebenarnya ada gelombang besar dalam hatinya. Dan, kulihat laki2 bersayap itu duduk termenung, kakinya menjuntai dipeluk bulan sabit yg tersembul malu-malu, mungkin dia kesepian, lelah mengelana sendirian. Aku sentuh sayapnya, dia terpana, merona dan tersenyum. Aku raih sayapnya, dia merentangkannya lalu merengkuhku "ikut aku" ujarnya, bersamanya ak terbang mengintip gugusan bintang, mencumbu angin, meliuk dalam rona senja. Saat laki2 itu kian erat menggenggamku, sayap kirinya gemeretak, berdarah dan dia merintih.

aku tak ingin membuat sayap laki2 itu kembali patah, maka kulepaskan genggamanku, namun laki2 itu kembali menggapaiku dengan sayap kanannya sambil berujar " jika aku melepaskanmu, maka sayapku tak mampu kurentangkan utuh, bersabarlah....suatu saat, saat pundi2 cintaku kering, aku harus kembali pulang. Namun saat ini temani aku agar saat aku kembali pulang tak ada cacat dikedua sayapku ". Aku terhunjam luruh dan hanya mampu berkata "pulanglah sekarang, sebelum kedua sayapmu benar2 patah, karna aku tak mampu mengisi pundi2 cintamu sebesar wanita itu mengisinya". Dan genggaman laki2 bersayap itu kian lemah.....

LANJUTAN SOPO IKI

Jika kamu berdiri diberanda belakang, maka sejauh mata memandang yang akan kamu temui adalah hamparan sawah yang menghijau dan beberapa pepohonan yang tersembul diantara pematangnya, nun jauh diujung timur, sebuah bangunan rumah tersamar ditutup kabut. Orang2an sawah berdiri membisu, terkadang melambai tertiup angin. Jika senja tiba, lukisan alam kembali tercipta seperti goresan warna sempurna yang semburat dalam lembar kanvas, indah....sangat indah.
Diberanda belakang ini sering kuhabiskan waktuku di pagi atau sore hari saat lukisan alam tercipta dalam mozaik yang begitu rupawan dan sempurna, segelas kopi hitam manis dan sebungkus rokok menjadi teman setiaku. Seperti sore ini, sepulang kerja untuk melepas penat yang serasa meremukkan badan, kumanjakan tubuhku menikmati hembusan angin yang bertiup lembut menyapa pucuk2 padi yang menguning, hmmm..what a wonderful moment. Ditengah kekhusyukanku menikmati suasana, aku dikejutkan oleh suara langkah kaki.
"sore mas..."
"sore...." aku menjawab lirih sambil membalas senyumannya, kuikuti perempuan yang menyapaku tadi dengan ekor mataku sampai dia menghilang dibalik pintu.
Beruntungnya aku, selain mendapat tempat kost yang asyik dan strategis, aku juga mendapat bonus dua tetangga molek, bohai, semok, geulis dll, ini cewek lho....perlu diingat CEWEK. Aku tidak tertarik dengan jenis kelamin yang : sesama, plin plan (tergantung situasi), apalagi yg hermaprodit...hi amit-amit.
Kamar mereka berada tepat disebelah kanan dan kiriku, artinya aku ditengah2 (kamarku maksudnya), sebagai makhluk hidup yang berpredikat makhluk sosial, rugi dong kalau tidak memanfaatkan keadaan, tepatnya dikemas dalam program simbiosis mutualisme, ibaratnya : jika mereka bunga aku lebahnya, jika mereka kuda aku penunggangnya, jika mereka TV rusak aku tukang servisnya (heleh....intine ra gelem rugi). Oke gini, biar tak menimbulkan praduga bersalah, aku beberkan peristiwanya, jika ada plafon bocor, kompor rusak, perlu tukang angkat lemari, tukang angkat elpiji, relawan megangin kawat jemuran, megangin antena diatas genteng, sepeda motor carteran, sasaran utama mereka adalah aku. Untuk mengimbangi ketidakbermakhlukan mereka, aku cuma memanfaatkan dua hal (hayo...kurang baik apa aku), hal itu adalah secangkir air panas untuk kopi jika komporku ngadat atau kehabisan gas, dan yang kedua...ini asyik, sangat asyik....menikmati pemandangan yang terhampar begitu saja didepan mata, tak kalah indah dan uniknya dengan panorama beranda belakang, yaitu cara berpakaian mereka yang menganut aliran "minimalis style", eits..... tunggu dulu, aku bukan parafilia, apalagi voyeurisme, meski aku hidup berjauhan dengan istriku, tapi kehidupan seksku normal...sangat normal. Jadi jangan berpikiran yg macam2, aku cuma tidak ingin menyia-nyiakan sesuatu yg telah tersedia, sayang...mubazir...(mubazir itukan dosa, hehheh cari pembenaran).
Aku tak habis pikir dan kagum atas kekebalan imun tuh cewek2, aku saja yg terbiasa dengan kaos oblong dan celana boxer, bisa2 kena penyakit angin duduk, kembung, jika terlalu lama membuka pintu belakang yang berhadapan langsung dengan persawahan, apalagi disaat cuaca tak bersahabat. Tapi mereka sungguh luar biasa, bukan main perkasanya, tak peduli subuh, terik menyengat, malam menggigit, dengan santainya hanya mengenakan baju "you can see" separo...(of course i can see), dan dipadu dengan bawahan celana pendek yang mungkin lambat laun bisa dikategorikan kegolongan "cawat-cawatan". Setahuku mereka slalu prima, ga pernah masuk angin, kembung, ga pernah terlihat bekas kerokan dipunggungnya, tempelan koyo' atau sejenisnya, ajaibnya juga kostum mereka tak pernah mengenal yang namanya musim dan acara. Mau musim penghujan, kemarau, angin ribut, angin puting beliung, musim duren, musing rambutan, musim mangga...huahh...begitupun acaranya, mau acara masak, nyuci, nyari kutu (petanan), manjat pohon jambu, godain tukang sayur lewat, kawinan (yg ini ngarang, ga pernah diajak sih)...aku jadi curiga, jangan2 koleksi pakaian mereka yg selemari isinya cuma dua model saja.
Sebagai lelaki normal, kebanyakan, pada umunya dan bukan hipokrit, aku suka melihatnya, hanya suka, hiburan semata, tak pernah ada keinginan lebih. Kalaupun, andaikata, seandainya mereka gelap mata menawarkan diri secara suka rela, aku akan menolaknya, sungguh....bukan karna terbebani tanggung jawab moral yg hrs kupertanggung jawabkan kepada Tuhan dan istriku, tapi terlebih karna aku adalah lelaki yang hidup dengan tantangan, aku lebih suka mendaki gunung, menuruni ngarai, menjelajah samudra, merambah rimba hanya untuk mendapatkan yg kuinginkan. Bukan juga congkak, tapi jika terlalu mudah didapatkan, akan kehilangan esensi kenikmatan dari proses mencapainya, "aku ini tipe penyerang, bukan diserang".
Tapi setan tak pernah letih menghasut manusia, sebagai lelaki yg hidup berjauhan dgn pasangan, yg baru bisa bertemu dua bulan sekali, dan terlahir sebagai lelaki normal yang memiliki tingkat keimanan dibawah rata2, tak kupungkiri terkadang molekul2 hormon testosteronku membelesak, membuncah.....awalnya aku panik, tidak siap dgn keadaan genting spt ini, namun waktu menempaku, pengalaman mengajariku untuk menguasai keadaan spt ini secepatnya. biasanya aku alihkan dengan menelpon istri dan anak2ku, canda tawa dan celoteh si bungsu menghapus semua gejolak, atau aku alihkan perhatianku dengan menonton siaran bola. Putus asakah setan??? jawabnya tidak....ditengah upayaku yg mati2an meredam dorongan birahi, tanpa sopan santun sedikitpun para setan menghasut lingkunganku, tidak percaya??? tengoklah dibesi jemuran yang terpancang tepat didepan pintu masuk kamarku, berpuluh-puluh underwear perempuan dengan aneka corak warna dan jenis, berkibar kibar mengerling padaku, busyet dah....knapa sih harus dipajang ditempat yg mudah dijangkau oleh mata hiii........semoga Tuhan masih melindungiku, jangan sampai tergiur rayuan underwear yg melambai.....
So...ada yg tertarik berkunjung ke tempat kost ku??? terutama bagi kalian para lelaki tulen, saranku bawalah celemek untuk menadah air liur yg kemungkinan besar akan menetes......

SOPO IKI

Aku terjaga saat kurasakan hembusan angin dingin menggelitik ujung jari kakiku, ku picingkan mata, kulirik weker yg duduk manis dimeja sebrang, pukul 6.30. huah....menggeliat sebentar lalu kubenamkan kembali kepalaku di bantal, sebenernya aroma dari bantal ini sangat jauh dr kata harum bin wangi alis menyegarkan, bentuknyapun sudah tak layak disebut bantal, tipis, kempes, seperti bokong nenek2. Aku meringkuk semakin dalam, dibalut sarung butut yg keadaannya tak kalah merananya, duh mata ini terasa berat banget utk dibuka, aku ingat hari ini piket pagi, tapi badanku ga mau diajak bekerjasama untk keluar dari keadaan nyaman ini. Tapi kemudian cuping telingaku menangkap suara alunan musik dari kamar sebelah berdentum-dentum, ah....sepertinya aku tak kan bisa meneruskan tidurku. Tersuruk-suruk aku menuju dapur, hal pertama yang selalu berdentang dikepalaku tiap bangun pagi adalah secangkir kopi hitam panas, manis....hmm belum apa2 aku sudahmembayangkan rasa legitnya dilidahku, mataku belum melek sempurna saat ku jerang air, ctet...ctet...duh apalagi sih ini, knapa lagi dengan komporku, mudah2an ga ngambek lagi, shit...aku baru ingat, gas habis, sial banget, tanpa sadar aku mengacak acak rambutku, otakku berputar cepat, yup...saatnya beralih ke plan B yg slalu bisa diandalkan disaat2 genting seperti sekarang ini, cepat2 kubasuh muka seadanya, lalu kurapikan rambut landakku, sip...waktunya beraksi, guess what?...menyatroni tetangga sebelah, berharap mereka bermurah hati memberiku sedikit air panas, secangkir saja, demi kelancaran dan keamanan acara ngopiku hhehhehe, doakan misiku berhasil, biasanya sih ga pernah gagal, sementara kalian berdoa, here my description....biar ga penasaran (obsesi slalu pengen terkenal)....

NAMA:
Ah ga penting, kata salah satu nenek moyangku (kayaknya bukan pelaut deh) "apalah arti sebuah nama", yang jelas namaku ga akan bisa dipakai jaminan dalam hal apapun, ga beken habis, jd jangan coba2 mencatut namaku buat jaminan hutang, bakalan gagal total....

ANATOMI:
Struktur wajah "ga karuan" hehehe....., standar orang asia lah, sama seperti kebanyakan homo sapien di ranah melayu, ga jelek2 amat, tapi jauh dari kata ganteng, ya beda tipis sama Rio febrian (jangan percaya, ini fitnah). Hanya ada satu bagian wajah yg bisa mendongkrak angka di alat pedemeterku yaitu hidung, jika kuperhatikan dan kuukur dgn jari, hidungku mempunyai angka yg lbh tinggi dibandingkan dengan hidung "Sule", itu lho komedian yg beken dengan kalimat "prikitiw". Posturku seperempat dari badannya Ade rai, jadi aku ga heran kalau ga ada satupun tawaran untuk membintangi iklan produk makanan/minuman yg berhubungan dengan pengekaran tubuh.....yah ngelantur deh......

STATUS:
Setahuku di KTP sih menikah, tapi dalam keseharian statusku adalah bujangan terselubung, terkadang aku risih dengan ketidakjelasan statusku ini, serba salah.....bagi pria yang disinyalir memiliki fans club seperti aku "kejelasan status" adalah hal utama, agar tidak mengecewakan para fans hahahaha just kidding. The true is aku adalah suami dari satu istri (tenang ga niat nambah kok, belum siap dengan akibat buruk dari poligami) dan ayah dari dua orang anak, lah...apanya yang ga jelas????, karna aku tinggal berjauhan dengan keluargaku, jadi dalam keseharianku slalu terlihat sendiri. Sedih??...jelas.... i am a lonely ranger and really lonesome man, disaat hatiku penat, kosong, canda tawa keluargaku adalah moment terindah yang sangat kurindukan, bertahun2 aku kehilangan begitu banyak hal indah yg seharusnya bisa kulewati bersama anak dan istriku, tapi apa boleh buat, keadaan yang tak memungkinkan, udah ah ga usah dicritain, ntar pada bersimbah air mata hehehhe.
Sebagai gentlemen tulen, bukan style ku untuk menutup2i statusku, justru aku bangga dengan identitas "menikah" ku, karna otomatis aku akan didiskualifikasi untuk dikategorikan dalam sub "bujang lapuk". Jadi bagi para fans yang merasa kecewa, maaf kesalahan bukan terletak pada kejelasan statusku, tapi terletak pada ketidakkuatan insting kalian untuk membedakan mana bujangan aseli dan mana yang imitasi.

ATRIBUT:
Diluar jam kerja, aku lebih suka memakai celana panjang jeans, baju kaos atau denim yang agak press body yang dipadukan dengan sebuah topi dan sepatu kasual dari bahan kain. Kaca mata min....itu bukan atribut, benda itu sudah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dariku, ibarat kapak 212 dengan Wiro sableng, intim, sangat intim.....
Istriku sering protes dengan kostum yg kukenakan, terlalu muda, tidak sesuai umur katanya. Kalau kuperhatikan benar juga sih, aku merasa seperti lelaki berumur yang terperangkap dalam kostum anak muda, but this is my style, the real i am...aku merasa comfort dengan semua yang kukenakan, tidak sedikitpun bermaksud untuk memanipulasi umur, karna sifat manipulatif bagiku ibarat jamur, benalu yang harus dicabut sampai keakar2nya. Satu hal yang tanpa kusadari melekat padaku adalah cara berpakaianku secara tidak langsung menjadi trendster dilingkungan kerjaku, padahal usia mereka jauh dibawahku. Satu kebanggan juga sih, tapi memiliki tanggung jawab yang cukup besar untuk selalu mengingatkan jika ada diantara teman kerjaku yang terlalu memaksakan diri, sampai2 terlihat kontras sekali kesenjangan antara wajah dan penampilan hihihih.....intinya ga matching boy......

AKU DAN HP KU:
Handphone bagiku ibarat oksigen bagi penyelam, tongkat bagi sibuta, wajan bagi tukang gorengan dan beruk bagi pemetik kelapa, tak usahlah dipusingkan betapa narsisnya perumpamaan yg kubuat, intinya HP ibarat istri keduaku. Selain sebagi "crucial weapon" untuk berkomunikasi dengan keluargaku, dengan HP aku bisa menyambangi dunia antah berantah lewat fasilitas internet yg disediakan atau sekedar ber haha hihi disalah satu jejaring sosial, selebihnya adalah musik dan musik, aku suka sekali mendengarkan musik, any kind of musik, yang penting enak didengar. But the main point is apapun yang kulakukan semata mata untuk mengusir rasa kesepianku, rasa terpurukku yang kerap muncul saat bayangan senyum dan tawa anak2ku bermain dipelupuk mata, dan bisikan manja istriku menggelitik telingaku. Mereka adalah hal terhebat dan paling berharga yang Tuhan berikan padaku, ah...kok jadi sentimentil sih.

itulah sekelumit gambaranku, bagi yang berminat, silahkan menghubungi call center terdekat hahhahahha

ABI

 Aku memanggilnya Abi, dia adalah suami dr bibi ibuku, perawakannya dan warna kulitnya seperti kebanyakan org asia, sedang, agak kurus dan kuning langsat. Daya tarik dr Abi adalah senyum tulusnya, ketegasan tatapannya dan sifat pendiamnya. Pekerjaan utama Abi adalah sebagai guru Madrasah di siang hari dan guru mengaji dimalah hari, profesi laen yg ditekuninya adalah sbg tukang cukur. Saban hari Abi memulai aktifitas pd pukul 4 pagi, hal pertama yg dia lakukan adalah membangunkan para santri yg menginap di langgar (musholla) kecil miliknya utk sholat subuh. Langgar butut itu terdiri dr dua lantai, dan terbuat dr kayu, lantai atas buat anak perempuan dan laki2 yg dibawah. Jika ada anak yg msh tertidur Abi akan mengeluarkan senjata utama yg slalu ia selipkan pd kopiah hitam bututnya yaitu selembar bulu ayam, Abi akan menggelitik telinga atau hidung anak itu, jika pd hitungan kesepuluh blm jg bangun, maka abi akan menyuruh salah satu muridnya mengambil air segayung, tiga kali percikan tdk bangun, walhasil wajahnya akan basah kuyup seperti ayam kecemplung dicomberan. Sehabis sholat subuh ada pengajian kecil kira2 30 mnt lamanya, lalu semua akan bubar pulang utk memulai aktifitas masing2. Sedang Abi akan mengeluarkan sepeda jengki warna birunya yg dibeberapa bagiannya sdh mulai karatan, dilapnya sepeda itu dgn hati2 dan lembut, setahuku benda itu satu2nya hasil tekhnologi modern yg dia miliki, oh iya selain alat cukurnya tentunya. Pukul 7.15 dia akan mengayuh sepedanya ke los cukurnya dipasar Sukorejo yg kira2 jaraknya 1 km, seingatku dulu ada tiga potong stel pakaian yg selalu ia kenakan saat dinas : kemeja batik abu2 tangan panjang dan celanan panjang coklat, baju koko krem dan celana panjang coklat, kemeja garis2 dua saku dipadankan dgn celana panjang coklat pula, aku curiga celana panjang itu satu2nya celana panjang yg dimilikinya. Dilos tpt dia bekerja hanya da 4 item barang yg dijejalkan pada space yg hanya berukuran 120x150 cm yaitu meja kaca, kursi tinggi bulat utk pelanggan yg sedang dicukur, bangku panjang utk pelanggan yg nunggu giliran, dan sebuah jam dinding bulat. Pelanggan setia Abi hanya terdiri dr dua jenis usia, anak laki2 kecil usia 6-9 th dan laki2 renta usia diatas 60 th, jd jgn heran jika model rambut yg abi kuasai hanya 3 model potongan rambut saja, cepak spt tentara, model batok kelapa dan gundul. Untuk tarif jangan kau tanya brapa kisarannya, Abi memasang tarif "seikhlasnya, seadanya, sepunyanya", paling tinggi dua ribu perak, selebihnya seribu dgn senyuman atau lima ratus dgn gerutuan. Abi tak pernah mengeluh, menghela nafas panjangpun jarang dia hanya tersenyum dan bergumam "trimakasih". Aku pernah menyarankan Abi utk pasang tarif tertentu yg lbh masuk akal, demi kemajuan usahanya, tp Abi berkata" tdk smua pelangganku org berpunya, siapa tahu mereka lbh tdk beruntung dr aku, yg penting mreka puas dgn hasil kerjaku". Bagi anak hasil karbitan zaman yg disebut modern, spt aku ini, Abi terlalu nrimo, terlalu pasrah pd keadaan, terlalu patuh pd garis edarnya. Bagaimana tdk, utk hasil krjnya sebagai tukang cukur dia pasang tarif seikhlasnya, kpd murid2 madrasah dan ngajinya ia hanya memungut iuran 200 perak utk membeli minyak tanah pengisi lampu minyak yg digunakan utk kegiatan mengaji, dan itupun tdk semua anak mematuhinya, dan abi pun tak pernah menanyakannya. Dan yg lebih mengherankanku, umi istrinya menjadi partner yg kompak dlm mengukuhkan rasa nrimo itu. Umi berjualan nasi pecel dipagi hari, kebetulan letak rumahnya hanya sepelemparan batu dari sebuah sekolah dasar. tahu tdk berapa rupiah yg hrs dikeluarkan demi utk mendapatkan sepincuk nasi pecel plus tempe goreng ditambah dua lembar krupuk nasi hanya 500 perak, ya lima tratus perak. menurut perhitungan ekonomiku harga itu tidak akan cukup menutupi setengah dari biaya produksi, tapi Abi dan Umi adalah sebuah ikon dari ketulusan dan kesederhanaan. Niatan utama mereka adalah memberi meskipun sebenarnya mereka pun butuh diberi.

Mereka menikmati semua kesederhanaan itu, kemiskinan tepatnya, tapi mereka paling tidak suka bila dikasihani. Bagi Abi, kemiskinan akan menjadi beban yang menyakitkan bila dijalani dengan penuh rasa penderitaan, dan ketidak bersyukuran, tapi Abi merasa bahagia, dia tidak menjadikan kemiskinan sebagai beban. Abi bahagia menjalani kemiskinan dan kesederhanaan itu. Rejeki baginya adalah apa yang habis dimakan hari ini, apa yang bisa dikenakan hari ini dan apa yang bisa dilakukan untuk orang lain hari ini.

Esok.. hari esok adalah milik Allah, Abi sangat yakin Tuhan tidak akan pernah menelantarkan hambanya. Bagi Abi, dia hanya punya dua tugas penting saja di dunia ini yaitu menjalani masa hidupnya di dunia dengan sebaik-baiknya dan menyiapkan bekal sebanyak-banyaknya untuk kelak yang akan dibawa dihari akhirnya.

NAURA

 Hujan kembali mengguyur malam ini, saat kutiba dirumah, hujan mulai mereda, kuucapkan salam terdengar jawaban lirih, kulirik jam yang tergantung di dinding, jarum menunjuk angka 22.20. Suamiku masih terjaga, sedang asyik di depan computer, ku longok kedalam kamar dua malaikat kecilku mendengkur pulas, ku duduk ditepi ranjang, kuciumi mereka bergantian, terutama si besar Naura…ku dekap dia erat, tak henti kucium pipi mungilnya, teringatku akan kejadian siang tadi, kita berdua sempat bersitegang yang lalu berujung pada hancurnya egoku yang makin menggaris bawahi ketidakmampuanku menjadi seorang ibu. Semua berawal dari kepanikanku sendiri, ketidakbecusanku mengatur waktu, aku adalah ibu rumah tangga sekaligus wanita pekerja, otomatis waktuku tersita pada dua tempat, rumah dan kantor. Dan pagi ini aku terlambat bangun, padahal pekerjaan rumah sangat menumpuk, masak, nyuci, setrikaan segunung, panic…sampai tdk tahu harus yang mana dulu aku kerjakan, ku hela nafas panjang seperti biasa, berusaha menenangkan pikiranku…..pertama yang kulakukan menjerang air, kusiapkan peralatan masakku, kulirik sekilas tumpukan baju kotor menggunung pula “giliranmu menyusul” gumamku dalam hati. Naura terbangun, dia langsung mencariku kedapur, ku sapa dia seperti biasa
 “Pagi sayang, anak ibu paling hebat sudah bangun rupanya”, naura menguap lalu memelukku.
“Bu, hari ini naura ga sekolah ya”, ujarnya
“Kan kemaren kakak udah ga sekolah, masak hari ini ga sekolah lagi” jawabku sambil melanjutkan pekerjaanku.
“Kan hujan bu, nanti basah gimana?”
“Kan kakak bias pake raincoat” sanggahku, masih tetap berkutat dengan masakanku.
“Pokoknya Naura ga mau sekolah”, dia mulai merajuk, kubujuk dia dengan berbagai alas an, kurayu dia dengan kata kata indah dan iming iming hadiah, rajukannya mulai menjadi tangis, aku menyerah, kubiarkan dia dengan tangisnya, tanganku sibuk memilah milah pakaian kotor, sekali-kali kulirik masakanku diatas kompor.
“Ibu….boleh ya Naura ga sekolah” Naura masih pantang menyerah merayuku, air mata kian mengalir deras dipipinya, kudiamkan saja, aku hilir mudik antara dapur dan kamar mandi untuk merendam cucian, naura mengikuti dari belakang, tangannya menjumput bajuku. Karna merasa tidak dihiraukan, tangisnya kian keras, tarikannya diujung bajuku kian kencang, gigiku gemelutuk, kepalaku terasa berat seakan akan mau pecah, darahku memuncak ke ubun-ubun, tanpa sadar aku membentaknya,
“Ya udah, kalau kakak ga mau sekolah, terserah, jangan jadi anak ibu lagi, jangan ngomong sama ibu lagi”
Balasan yang kuterima ternyata jauh dari dugaanku, telak menohok jantungku, dengan histeris Naura balas berteriak.
“Ibu ga sayang Naura…..Naura kan cuma pengen lama sama ibu”
Aku tersentak, mataku berkunang-kunang, Naura terduduk memeluk lututnya, kepalanya terselip diantara lututnya, punggungnya terguncang-guncang karma isakan. Dan aku….gemetar, kakiku lemas, serasa tak berpijak, seperti ada palu besar menghantam dadaku, ah….dia hanya seorang anak kecil berumur 5 th yang ingin diperhatikan, ingin didengarkan, kenapa aku begitu keras padanya, dadaku naik turun lalu terguncang, air mata luruh dipipiku, aku bersimpuh dilantai, kurengkuh dia, kubawa dalam pangkuanku, kudekap erat, sangat erat.
“Ibu sayang Naura…...ibu sayang  Naura, maafin ibu”, tangisnya kian pecah, dan aku kian remuk redam. Tuhan….betapa slama ini aku terlalu banyak mengabaikannya, betapa sedikit waktu yang kuhabiskan bersamanya, jika aku kerja pagi, aku meninggalkannya masih dalam keadaan tertidur dan baru akan bertemu sore harinya, jika aku kerja siang, hanya dua jam waktu yang bias kumanfaatkan yaitu sepulang dia sekolah, karma setelah itu aku akan berada dirumah kembali pukul sepuluh malam dan dia sudah tertidur, anakku sangat merindukan waktu untuk bias bermain bersamaku, seharusnya aku bisa memahaminya, Naura melepaskan pelukkannya, lalu mengusap air mataku.
“Ibu kok ikut nangis sih….” Aku tak mampu berkata-kata, tenggorokanku tersekat, ku gendong dia, kumatikan kompor, kutinggalkan cucianku, masa bodoh dengan semua pekerjaan itu.
“Ayo….ibu temenin main Barbie” dia menatapku sambil tersenyum, ada kilatan bahagia dimatanya, hatiku serasa diremas-remas.
“Main puzzle aja yuk bu…”, aku mengangguk cepat, dia langsung melompat dari gendonganku menuju ke keranjang mainannya.

CINTA DALAM SEPOTONG ROTI

 Aku menyuguhkannya tiap pagi, kuletakkan dimeja kecil dekat jendela yg menghadap ke taman belakang, sepotong roti bakar dan secangkir kopi hitam. Menu pagi yg sama, takaran yg sama, adukan yg sama pula, selama 10 th pernikahanku, pernah ku berpikir apakah suamiku tidak bosan dengan menu sarapan yg sama selama bertahun-tahun?, aku pernah menanyakannya, tapi suamiku hanya menjawabnya dengan gelengan dan senyuman, pernah pula aku menggantinya dgn sepotong pisang goreng, suamiku tak menyentuhnya, hanya kopi yg tandas di hirupnya. Belakangan ini ada perasaan yg mengganjal, ada tanya yg perlu jawaban, entahlah......aku tahu tak seharusnya mengembangkan dugaan yg bisa menggiringku pada satu kesimpulan yg belum tentu kebenarannya. Beberapa minggu ini, roti itu tak pernah habis dimakannya, selalu tersisa, kopipun tersisa setengah, tak pernah terjadi sebelumnya, ada apa?.....mulai jemukah dia?. Ku coba bertanya, suamiku hanya tersenyum dan diam, tanpa kata, lalu semua seakan yg terangkai menjadi mengurai, terburai, menyisakan tanya yg kerap menjadi sebuah keraguan dan ketakutan. Bermula dari sepotong roti yang tersisa, kopi yang tak tandas, senyum dan sapa yg tak lagi kerap, tatapan yg tak lagi hangat, sentuhan yang kian datar, salahkah bila aku kemudian mencari jawaban......aku adalah istri yang dalam peranku ku tahu tak selalu sempurna, kadang alpa, tapi setahuku aku telah berusaha. Aku adalah seorang istri yang dalam abdiku ada cinta yang tak ingin dan rela kubagi.....apakah sudah terbagi? semua berawal dari sepotong roti, yang dalam tiap gigitannya tergambar beribu makna dan tanya.......

LOVE YOU UNCONDITIONALY

 Kujelajahi perempuan didepanku dgn sudut mataku, dia berdiri memunggungiku, rambut panjangnya di ikat sekenanya, dan lihatlah, daster yang dikenakannya, lusuh, warnanya sudah tidak jelas, antara kuning atau krem terang. Kutelusuri kembali cuping telinga dan guratan lehernya, tdk ada satupun yang menggelayut diantaranya, kosong, jangankan logam mulia seperti emas, plastik murahanpun seperti tak sudi singgah. Dadaku sesak melihatnya, ku hirup kopi pahit yang disuguhkannya beberapa saat yg lalu dan kujumput sepotong singkong rebus yang masih mengepul dimeja, ku tiup lalu kukunyah perlahan. Kulayangkan kembali pandanganku ke perempuan tadi, tangannya sibuk mengerat tempe menjadi irisan kecil. Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan, ingin kutahu sebabnya, tapi selalu saja aku tak punya keberanian untuk menanyakannya, bukan takut utk mengatakannya, tapi takut mendengar jawaban yang akan ku terima, aku ngeri, malu, sebab akan terbongkar semua ketidakmampuanku sebagai seorang laki2. Tapi sungguh pertanyaan2 itu menggelitikku setiap saat sampai tak melenakan tidurku, sudah dua minggu ini aku memikirkannya. Dan sepertinya sekarang waktu yg tepat, tapi aku bingung harus memulai dari mana.
"ehem...ehem" prolog, tapi dia masih sibuk dgn tempe yang sekarang sudah akan digorengnya, kuhela nafas panjang
"bu..." akhirnya keluar juga kata pertamaku
"ya.." dia menjawab, tapi tidak menoleh
"sudah berapa lama kita menikah?" dia menoleh sekilas, ada kerutan dikeningnya, lalu kembali meneruskan pekerjaannya
"seingatku 25 tahun, kenapa?"
"pernahkah ibu merasa jemu dengan perkawinan kita?'
"sebagai istri atau sebagai wanita?" dia balik bertanya
"dua duanya" sahutku, ku hisap dalam2 rokok lintingku
"sebagai wanita aku terkadang jemu, jemu sekali, tapi sebagai istri, aku tau tak berhak mengeluh, karna ayahpun punya jawaban yg sama "keadaan"...dia menekankan kata terakhirnya. Asap mengepul dari mulutku, aku mengangguk angguk kecil
"menurut ibu, ayah ganteng apa jelek?" kulihat sekilas ada sedikit senyuman di sudut bibirnya
"jelek...." singkat, jelas, padat
"jelek dan miskin" gumamku, beretorika
"memang..." hmmm, ringan sekali dia menjawabnya, hatiku mulai melorot
"saking miskinnya sampai2 tidak bisa membahagiakan istrinya, tdk bisa membelikan ibu pakaian baru, bedak, gincu, apalagi perhiasan, padahal sebagai seorang wanita, ayah tau ibu menginginkannya"
"bukan ingin lagi, sangaatttt ingin" dari melorot, hatiku langsung nyungsep
"ayah juga payah, tidak mampu membelikan lauk yg pantas dan enak buat keluarga, masak tiap hari tempeee melulu" suaraku kian serak
"bu.....dari semua alasan diatas yang makin menggaris bawahi ketidakmampuan dan kekurangan ayah sebagai laki2, kenapa ibu masih mau mendampingiku?"
"karna ibu mencintai ayah" jawaban yg tdk memuaskanku
"cinta karna apanya?" penasaran
"ya ga tau, cinta aja"
"harus ada alasannya donk bu!!!" mulai gregetan
dia membalikkan badan dan menatapku lekat2, sejurus dia diam, lalu meluncurlah kata2 terindah yang pernah ku dengar
"untuk mencintai ayah, aku tak perlu alasan apapun, karna cinta bagiku adalah rasa, bukan materi dunia"

KESETRUM

Kawan, pernahkah kamu kesetrum? Jika pernah maka tak perlu lagi kujelaskan bagaimana rasanya ketika ada sensasi sakit luar biasa saat ada aliran kekuatan besar menghantam tubuh sehingga mampu melemaskan seluruh persendian tubuh kita.
Ya sedikit tidaknya gambaran sensasi sakit seperti itu yang kutrima siang ini, semua berawal dari kesombonganku yang ternyata tak siap menerima konsekuensi dari ulahku sendiri, dibawah pohon yang buahnya kusebut buah singapur (entahlah apa nama resmi dan latinnya), aku dan temanku duduk mengobrol sambil menikmati segelas es kelapa muda, topic yg dibahas beragam dan campur2 mulai dari rutinitas yang menjemukan sampai acara pernikahan KD dan raul lemos, hmmm…sangat melenceng jauh dan keluar garis, tapi itulah yang disebut obrolan ngalor ngidul. Lalu entah bagaimana mulanya tiba-tiba aku membuat api dan menyulut petasan bagi diriku sendiri, seingatku aku hanya meminta temanku untuk menilai pribadiku secara jujur dan menanggalkan semua rasa sungkan karna rasa pertemanan, lalu mengalirlah kalimat-kalimat penilaian yang sensasi dahsyatnya seperti sensasi kesetrum tadi, menyakitkan memang tapi sekaligus mencerahkan. Aku terpaku mendengarnya, speechless…kurasakan keringat dingin menetes dipunggungku, demi melihat keadaanku, temanku meraih tanganku dan menanyakan apakah aku baik-baik saja, aku tahu dia merasa tidak enak padaku karena penilaiannya tentang aku terlalu jujur dan lugas, tapi begitulah seharusnya seorang teman, aku tersenyum dan berkata “yes, I am oke”.
Namun kawan, kritikan-kritikan pedas itu masih terngiang sampai jauh malam, aku terbaring dan tak bisa memejamkan mata, kutatap langit-langit kamar dan berusaha kembali mencerna kata-kata temanku tadi siang. Aku tidak anti kritikan pedas, hanya saja tak kukira sepedas ini, kejujuran terkadang menyakitkan, tapi setidaknya aku jadi tahu penilain orang lain yg sebenarnya akan diriku. Temanku bilang aku adalah orang yang sembrono dan loss, terkadang tak bisa menempatkan diri dan terlalu across the limit dalam pergaulan terutama over keramahan terhadap lawan jenis, yang memungkinkan adanya peluang negative yang mengesankan aku terlalu gampangan, sehingga secara tak langsung menjatuhkan nilaiku sendiri (bahasa kasarnya “aku mengobral diri terhadap laki-laki”). Begitukah aku???? Mungkin iya, kalau tidak temanku tak kan mengatakannya, entahlah…yang aku tahu aku pribadi yang mudah akrab dengan orang lain yang bisa saja baru kukenal, lelaki atau perempuan (tapi memang pada kenyataannya temanku kebanyakan dari kaum adam), sungguh aku tak pernah punya niatan sedikitpun untuk menonjolkan diriku sendiri, yang sayangnya kesupelanku terkesan menggoda dan bisa saja ada salah satu dari mereka mengintrepetasikan keramahanku berbeda, “RAMBU” itu yang harus kuperhatikan.
Aku tidak marah, tidak sakit hati atau merasa terhina atas kritikan itu, justru aku sangat malu menerima kenyataan bahwa ternyata aku selama ini tanpa sadar menguliti ketelanjanganku sendiri sampai-sampai mungkin bisa kehilangan respect dari orang lain, bahwa ternyata selama ini aku menilai diriku sendiri over value, bahwa apa yang kupikirkan dan kulakukan tak pernah mengindahkan atau mempertimbangkan dampak buruk yang pasti tidak akan menyenangkan bagi diriku atau bahkan orang lain.
Kawan…..bukankah memang hanya orang-orang disekeliling kita yang bisa menilai kita secara terbuka dan jujur, bukan diri kita sendiri, terkadang juga mereka yang pertama menyalakan alarm untuk memberi peringatan saat kita mulai melewati batas, bukankah teman yang baik adalah teman yang mampu menilai kebaikan dan keburukan kita secara transparan……
Aku menangis, malu dan bahagia…..malu akan penilaiannya dan bahagia memiliki teman yang menyayangiku apa adanya.

SELALU SEPERTI INI

Ku lihat Bang Arsyad duduk terpekur di beranda rumahnya, wajah bujang lapuk itu begitu durja, matanya menatap lurus menerawang, kosong. Hal apakah yang menggundah gulanakan hatinya, aku jadi nyinyir ingin tahu karna tak pernah sebelumnya ku lihat Bang Arsyad menekuk wajahnya seperti ini, begitu kusut dan dalam.dia adalah laki-laki penebar senyum, meski di usia menjelang 40 tahun belum ada tanda-tanda pasangan hidup akan menghampirinya, tapi Bang Arsyad tak pernah risau, tak ambil pusing.
 “Aku percaya manusia diciptakan berpasangan Im….pasti ada wanita untukku diluar sana masih belum ditampakkan oleh Tuhan, mungkin Tuhan ingin tahu seberapa besar usahaku menemukan wanita itu”. Kalimat itu yang selalu dikatakannya padaku, jika aku sudah mulai menyinggung tentang jodoh. Bang Arsyad adalah laki-laki baik yang selalu berprasangka baik, dengki tak pernah ada dalam buku besarnya, meski teman-teman seangkatannya sering mencibir akan status bujang lapuknya, Bang Arsyad hanya menanggapinya dengan tersenyum simpul.
“Ada apa gerangan dengan Abangku yang ganteng ini, pagi-pagi sudah bermuram durja” aku menepuk pundaknya dan mengambil tempat disisinya, dia tersenyum dan melirikku sekilas.
“Ah….ku kira siapa kau Im, membuatku kaget saja” ujarnya. Lalu dia mengubah posisi duduknya dengan bersila, samar kulihat dia menarik nafas panjang dan dalam, kalau sudah begini pasti urusannya berat. Aku diam tak berani menanyakan apa-apa lagi, tapi aku tau perlahan dia pasti akan menceritakannya padaku. Karna hanya aku yang selama ini menjadi tempat keluh kesahnya, dan aku adalah satu-satunya orang yang tak pernah mau repot mengrecokinya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang nasibnya yang sampai saat ini dijauhi oleh asmara, topik tabu untuk dibahas dalam kesepakatan yang tak tertulis.
“Im…..kau adalah teman terbaikku, hanya kau yang paling mengerti tentang aku, selain Emak tentunya. Bisakah kau dipercaya untuk menyimpan sebuah tabir?” Bang Arsyad menatapku sungguh-sungguh, sinar matanya menginginkan jawaban pasti dan meyakinkan.
“Menurut Abang....?”, ini retorika teman, dan kutahu dia benci kalau aku sudah begini.
“Aku sudah tak kuasa menanggung perasaan ini sendirian Im….aku perlu teman untuk kuajak bicara, tak perlulah tanggapan atau nasihat, asal dia mau mendengar keluhku itu sudah cukup” aku manggut-manggut sambil meraba janggutku yang hanya ditumbuhi beberapa helai bulu saja.
“Aku jatuh cinta Im…” aku terperanjat, hamper saja terjengkang dari tempat dudukku, untung aku cepat bisa menyeimbangkannya kembali, kalau tidak, bisa-bisa jatuh tertungging aku. Aku melongo menatapnya, sejenak aku tak mampu berkata-kata, sungguh. Bertahun-tahun aku berteman dengannya, baru sekali ini aku mendengar dia mengucapkan kalimat keramat itu.
“Ah….tak usahlah kau mendramatisir ekspresimu, wajarkan kalau aku jatuh cinta” pipi Bang Arsyad bersemu merah bak buah jambu air dibelakang rumah.
“Aih….siapakah wanita yang beruntung itu, yang bisa membuat Abangku ini mabuk kepayang!!” aku menggodanya, maka kian memerahlah wajahnya mirip kepiting rebus.
“Dia wanita yang sangat manis Im...lebih manis dari seratus batang tebu, dia lembut melebihi adonan kue bikang, dia menawan seumpama merak lagi birahi, ah….tak cukup kataku untuk melukiskan pesona kekasihku”, mata Bang Arsyad berbinar-binar seperti kejora menggantung, senyumnya merekah lebar seakan ada benang tak tersamar yang menarik kedua ujung bibirnya. Tak perlulah cerdik cendikia atau ahli metafisika untuk bisa menyimpulkan bahwa panah cupid telah tertancap di dada Bang Arsyad..
“Lalu apa yang Abang risaukan, bukankah gayung tlah bersambut, tak baik menyembunyikan berita bahagia…” demi mendengar kataku, tak dinyana bintang kejora itu meredup, dan senyum itu tergulung. Aku merasa bersalah, aku bimbang untuk bertanya, adakah khilaf dalam pertanyaanku sehingga membuat Bang Arsyad menjadi kuyu.
“Masalahnya Im…...wanita itu telah bersuami” ini kejutan kedua kali yang kutrima dari Bang Arsyad.
“Mulanya semua begitu terasa indah, manis dan merona, dalam empat purnama ini kita menjalin kasih, mencuri-curi waktu untuk bertemu. Tak kuhiraukan statusnya, ku abaikan sgala kemungkinan terburuk akan terpergok suaminya, karna aku begitu kasmaran dengan wanita itu Im….”
Teman, kalau berbicara tentang perasaan aku lebih baik diam, karna aku tahu terkadang cinta bisa begitu membutakan, menulikan, memati rasakan, sehingga seseorang mampu melakukan hal-hal yang tak masuk logika sekalipun.
“Lalu Im, aku mulai cemburu dan memelihara perasaan benci dan sesal. Mengapa dia jadi milik orang lain bukan milikku, mengapa baru sekarang Tuhan mempertemukan kita, sesak dadaku rasanya Im…jika ketika malam tiba dan kubayangkan yang ada disampingnya adalah laki-laki lain, bukan aku. Aku benci perasaan ini, ingin rasanya ku lari dan berteriak, namun saat senyumnya membayang dipelupuk mata, maka luluhlah hatiku, dan aku kembali merindu…..” terang sekali Bang Arsyad merintih.
Dan aku bersimpati pada kepedihan hati Bang Arsyad, betapa tidak….bertahun-tahun dia setia dengan kesendiriannya, menanti-nanti cinta dating tuk menyapa. Dia tulikan telinganya saat teman-temannya mencibir, tak dia hiraukan repetan Emaknya yang kebelet punya mantu, diabaikannya sgala kesepian hatinya bila malam memeluk gemintang, semua karna dia percaya ada seorang wanita yang Tuhan simpan untuknya diluar sana, dan bila waktunya dia akan menyambutnya dengan senyum terindah.
Namun rupanya nasib masih belum lelah jua mengujinya, saat asmara malu-malu menyapa dan dengan pongahnya meniup-niup helium kedalam hati laki-laki malang itu sehingga melambungkannya, namun diwaktu yang sama diam-diam asmarapun dengan lihai menyelipkan sembilu yang tak terkira pedihnya, dan laki-laki itupun merana.
“Lalu, apa yang akan Abang lakukan selanjutnya?” tanyaku
“Entahlah, pening aku dibuatnya, tak kusangka cinta itu begitu rumit dan memedihkan, ampuuunnnn…..tak kuasa aku menanggungnya Im. Aku mencintai wanita itu dengan rasa dan cara yang tak mampu aku jelaskan”.
Aku termangu membisu , dan Bang Arsyad semakin tenggelam dalam kepedihannya. Ada rasa bersalah terbersit dihatiku karena aku tak bisa memberi jalan keluar atas permasalahan asmara Bang Arsyad. Namun teman, sudah pernah kubilang cinta itu perhitungannya lebih rumit dari harga cabai, diaplikasikan dengan rumus apapun tak mempan, dan aku sendiri masih meraba-raba untuk masalah hati seperti ini.

REMAH PERTEMUAN

Awan putih berarak perlahan, seumpama gumpalan-gumpalan kapas yang mendekap birunya langit, diufuk barat rona jingga menyembul tersipu dan sesekali dua tiga atau lebih burung melintas berpasangan maupun berkelompok. Dan sudah satu jam aku duduk disini, dibangku kayu tua dibawah rindangnya pohon Angsana yang sama tuanya. 25 November, aku mulai gelisah, ku edarkan pandangan kesegala sudut berharap ada sosok yang akan muncul, menanti sebuah bayangan yang sudah 25 tahun ini membayangi dalam tiap tidurku dan bangunku.
Kurapatkan syal yang melilit leherku saat angin meniupkan udara dingin dan mempermainkan anak rambutku yang memutih, desaunya membelai kulit wajahku yang tak lagi kencang, usia telah mendekapku dan mengeriputkan seluruh kulit tubuh, tak ada satupun manusia di dunia ini yang mampu lari dari sesuatu yang bernama TUA. Kulirik kembali jam ditangan, kegelisahanku menjadi, detak jantung berderap, kecemasan mulai mendekap dan beribu tanya membuncah dalam dada. Akankah dia mengingatnya? Akankah dia menepati janjinya? Akankah dia datang? Atau mungkinkah ada halangan yang tidak memungkinkannya untuk datang?.....tapi bukankah janji telah tersepakati bahwa apapun yang terjadi, aral apapun yang menghadang, masing-masing harus tetap mengusahakan agar pertemuan tetap terjadi. Ini semua bukan semata demi sebuah romansa, tapi demi kenangan yang pernah tercipta dan dilalui bersama, demi semua keindahan, kepahitan, kebahagiaan, kekecewaan, keceriaan dan kegetiran yang pernah ada.
25 tahun yang lalu, dia perempuan masa laluku, perempuan rahasiaku, perempuan terlarangku. Dia adalah kesalahan paling indah yang pernah singgah dalam hidupku. Jika sore ini aku duduk disini menantinya, bukan berarti aku ingin menyambung kembali cerita yang sudah lama terputus, bukan berarti aku ingin mengais kembali sisa romansa yang pernah pupus. Tapi sekali lagi, ini demi sebuah janji, penghargaan dan kenangan yang secara jujur kuakui masih tetap membekas meski sudah 25 tahun tak bertemu. Demi sebuah ikrar yang telah tersepakati bahwa kelak kita akan bertemu kembali pada masa, tempat dan keadaan yang diketahui berdua saja, agar rahasia akan tetap menjadi sebuah tabir yang tak akan terungkap.
Satu setengah jam sudah berlalu, tapi anginpun belum memberi tanda-tanda akan kehadirannya. Aku sudah tak lagi muda, tubuh rentaku tak mampu lagi menopang waktu dalam rentang yg cukup lama. Namun kerinduanku, keingintahuanku, rasa penasaranku pada perempuan itu memaksaku untuk bertahan menunggu. Ku genggam erat tongkatku, kegelisahanku terbaca oleh rerumputan hijau yang terhampar disekitarku, degup jantungku menjadi gunjingan burung2 yang hinggap dipucuk-pucuk angsana. Semangatku naik turun seiring kian dekatnya sang raja siang menuju peraduannya.
Huh….kegelisahanku benar-benar memuncak dan perlahan berubah menjadi kekecewaan yang menyesakkan, mengapa dia tak datang? Sengajakah? Lupakah?....tak tahukah dia bahwa pertemuan ini begitu berarti buatku (begitu jugakah dengannya?)….harusnya kusadar perpisahan sudah membuatku tak lagi mampu membaca hatinya, kuyakin dia juga…jadi apa aku terlalu naif untuk semua ini?......
Dua jam berlalu sia-sia, ini memalukan dan entah mengapa aku merasa tercampakkan dan terkhianati. Aku menyerah…..aku bangun dari dudukku, kujentikkan selembar daun angsana berwarna kuning yang luruh dipangkuanku, ku gapai tongkatku dan kueratkan kembali pelukan syal dileherku, perlahan kulangkahkan kaki meninggalkan bangku tua dan pohon angsana yang menyaksikan kenaifanku, kemahatololanku dan betapa mudahnya aku tertipu oleh sesuatu yang bernama kenangan. Hatiku hancur, rasa yang sudah lama tak pernah kurasakan mulai timbul kembali satu persatu, dan itu memerihkan. Namun, pada hitungan langkah kesepuluh….tiba-tiba angin berdesir dan mendesau dibelakangku, langkahku terhenti, dengan ragu kubalikkan tubuh…..dan disanalah dia berdiri, dibawah angsana…. perempuan masa laluku…sama tuanya….dia datang dan tersenyum kepadaku, lalu ada sesuatu dihatiku yang tak mampu kujelaskan dengan kata……